Galakkan Perekonomian Digital untuk Mitigasi Iklim dan Pemulihan Ekonomi
Krisis ekonomi global membuat penanganan perubahan iklim dikebelakangkan. Padahal, ekonomi yang berkelanjutan sangat bergantung mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Terkait itu, UN ESCAP mendorong perekonomian digital.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi dunia yang memanas dari segi geopolitik menyebabkan mitigasi serta adaptasi krisis iklim tidak lagi menjadi agenda utama. Isu ekonomi menjadi perhatian karena menyangkut kesejahteraan serta keberlanjutan berbagai bangsa. Meskipun begitu, sebenarnya masih ada pintu masuk menuju adaptasi perubahan iklim karena isu lingkungan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi.
”Tantangan terbesar saat ini adalah stagflasi. Inflasi naik dan negara-negara maju bertahan dengan menaikkan suku bunga,” kata Sekretaris Eksekutif Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (UN ESCAP) Armida Alisjahbana dalam wawancara dengan Kompas dan The Jakarta Post di Jakarta, Selasa (18/10/2022).
Ia menjelaskan, hal tersebut memaksa negara-negara berkembang menaikkan jumlah utang mereka demi bisa membeli barang-barang yang secara umum turut naik harganya. Otomatis, dana yang dikucurkan untuk lingkungan, termasuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, menurun karena dialihkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari negara.
Armida mengatakan, sekeras apa pun sebuah lembaga internasional berusaha untuk imparsial, kinerja mereka dipengaruhi keadaan geopolitik global. Saat ini, belum pulih dunia dari pandemi Covid-19, pecah perang Ukraina-Rusia. Terdapat pula ketegangan antara Amerika Serikat dengan China, Iran, dan Korea Utara.
UN ESCAP merupakan badan komisi di PBB yang beranggotakan 53 negara di Asia dan Pasifik. Di dalamnya mencakup lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu AS, Inggris, Perancis, China, dan Rusia.
”Kami bekerja menggunakan pendekatan pragmatis sembari terus mengupayakan gencatan senjata maupun meredakan ketegangan global. UN ESCAP fokus membahas masalah-masalah yang tidak bisa terelakkan oleh semua negara, yaitu krisis iklim dan masalah sosial seperti hak penyandang disabilitas. Pada isu-isu ini, semua anggota umumnya satu visi,” jelas Armida.
Perekonomian digital
Terkait pemulihan ekonomi sekaligus mitigasi perubahan iklim, langkah yang didorong oleh UN ESCAP ialah menggalakkan perekonomian digital. Tidak hanya untuk dalam negeri, tetapi juga perdagangan luar negeri atau ekspor dan impor tanpa kertas.
Kendala utama dari metode itu ialah mengembangkan sistem verifikasi digital. Selama ini, urusan perdagangan masih mengandalkan dokumen fisik berupa kertas karena mudah memeriksa keabsahannya. Misalnya, dari jenis kertas yang dipakai, cap, dan tanda tangan.
Oleh sebab itu, UN ESCAP mengembangkan perjanjian ekspor-impor digital yang saat ini berupa titik masuk (entry point). Caranya ialah dengan ditandatangani oleh minimal lima negara. Mereka kemudian difasilitasi sistem dan standar untuk melangsungkan perdagangan digital lintas negara tersebut.
Di samping itu, negara yang meneken perjanjian tersebut diminta mengembangkan lingkungan ramah ekonomi digital di wilayah masing-masing, seperti aturan, tata cara, dan infrastruktur.
”Ekonomi digital ini merupakan jalan keluar dari persoalan ekonomi maupun lingkungan. Perdagangan digital berarti tidak lagi menggunakan kertas ataupun berbagai faktor fisik sehingga mengurangi jejak karbon. Dari sisi ekonomi, metode ini lebih efisien serta inklusif bagi semua lapisan masyarakat selama ada infrastruktur jaringan,” papar Armida.
Armida mengungkapkan, pada akhir tahun 2022, rencananya ada total sepuluh negara yang sudah menandatangani perjanjian perdagangan digital. Di luar itu, UN ESCAP sedang mendampingi negara-negara di Asia Tengah dan Timor Leste untuk membuat rencana perekonomian digital. Timor Leste, misalnya, pada tahun 2023 selesai membangun jaringan internet yang dibantu oleh Australia. Mereka ingin menyiapkan diri agar bisa langsung membangun sistem perekonomian digital.
Demikian pula dengan ekonomi berkelanjutan yang menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT). Ada 20 negara yang didampingi UN ESCAP membuat rencana peralihan energi dari bahan bakar fosil ke EBT, termasuk Indonesia.
Persoalan umum yang mereka hadapi ialah target peralihan masih di bawah 15 persen karena terhalang faktor teknologi. Ketersediaan baterai untuk menyimpan EBT dan jaringan transmisi adalah persoalan yang harus dicari jalan keluarnya.
Hasil nyata di G20
Armida mengatakan, UN ESCAP berharap banyak kepada Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, 15-16 November mendatang. G20 merupakan perkumpulan 19 negara berperekonomian terbesar dunia plus Uni Eropa. Secara pendapatan domestik bruto, G20 mencakup 80 persen PDB global.
G20 dibentuk pada krisis ekonomi 1998 untuk menghadapi dan mencari jalan keluar dari permasalahan ekonomi dunia. Permasalahan saat ini adalah krisis ekonomi akibat perang dan kerusakan lingkungan.
”Kami mengharapkan hasil yang nyata dan bisa diterapkan oleh semua anggota G20. Bukan hasil yang canggih, tetapi sukar untuk dipenuhi. Setiap langkah kecil berarti,” ujarnya.