Jika kelompok pendukung demokrasi bisa menjauhkan Khamenei dan IRGC dari pusat kekuasaan sekalipun, bukan berarti tidak akan ada masalah. Sejak 1953, Iran tidak mengenal demokrasi yang berlaku di banyak negara.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Bangsa-bangsa Arab belajar dalam 20 tahun terakhir, pergantian penguasa tidak selalu menghasilkan kebaikan. Kekacauan akibat pergantian rezim di Iran akan menciptakan sabuk ketidakstabilan sepanjang lebih dari 3.000 kilometer. Kekhawatiran atas ketidakstabilan menjadi persoalan pokok yang mendahului pertanyaan: akankah ada pergantian rezim di Iran?
Pertanyaan soal pergantian rezim di Iran semakin mengemuka seiring demonstrasi yang memprotes kematian Mahsa Amini. Hingga Jumat (28/10/2022), unjuk rasa masih terus terjadi. Media-media Arab Saudi begitu bergairah menyiarkan unjuk rasa di kota kecil yang diikuti puluhan orang sekalipun.
Sementara Reuters melaporkan, perangkat penghubung ke satelit Starlink mulai masuk ke Iran. Dengan Starlink, mustahil bagi Teheran membatasi akses internet. Akibatnya, para pengunjuk rasa bisa tetap bebas berkoordinasi dan merancang aksi.
Sayangnya, setelah lebih sebulan, unjuk rasa itu bertahan pada skala paling besar ribuan orang. Meski terjadi di sejumlah kota, peserta utamanya adalah etnis Kurdi dan para pelajar serta sebagian kelas menengah Iran. Belum ada unjuk rasa yang melibatkan jutaan orang seperti kala Shah Reza Pahlevi digulingkan pada 1979. Penduduk kelas bawah dan suku terbesar di Iran, Persia, nyaris tidak terlibat unjuk rasa memprotes kematian Amini, perempuan beretnis Kurdi.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Ali Munhanif menyebut, sulit menduga unjuk rasa saat ini akan berujung pada pergantian rezim. Harapan tertinggi yang mungkin dalam situasi ini adalah pemerintah Iran sedikit berkompromi dengan memberikan lebih banyak ruang ekspresi kepada warga.
Dalam The Economist edisi pekan ketiga Oktober 2022 diungkap, sebagian orang Iran cemas pada arah unjuk rasa. Warga Iran tahu, alih-alih sekadar memprotes polisi moral yang disebut memukuli Amini, unjuk rasa berkembang menjadi tuntutan pergantian rezim. Masalahnya, warga Iran tidak tahu apakah pergantian rezim akan menghasilkan hal yang lebih baik?
Terlepas dari citranya, Irak di bawah Saddam Hussein, Libya di masa Moammar Khadafi, dan Yaman di era Ali Abdullah Saleh lebih stabil dibandingkan masa kini. Demikian pula Suriah sebelum perang saudara untuk menggulingkan Bashar Asaad meletus sejak 2011. Sama-sama dilanda Musim Semi Arab, Tunisia sudah bertahun-tahun tenggelam dalam ketidakstabilan politik. Sementara di Mesir, militer kembali berkuasa. Demikian pula di Sudan selepas Omar Bashir digulingkan.
Peran kawasan
Selama puluhan tahun, Iran membangun pengaruh di kawasan. Mendiang Raja Abdullah bin Abdulaziz al Saud menyebut Iran sebagai kepala ular. Sementara badannya adalah kelompok bersenjata yang berada di Afghanistan hingga Lebanon.
Tanpa bantuan Teheran, sulit bagi Asaad di Suriah bertahan dari gempuran pemberontak dan kelompok teror yang disokong koalisi Amerika Serikat dan sekutunya serta Arab Saudi dan mitranya di kawasan. Iran membantu Houthi di Yaman menjadi lawan tangguh pasukan pemerintah yang disokong Arab Saudi, AS, dan Inggris.
Di Lebanon, Hezbollah menjadi kelompok penting secara politik dan militer karena sokongan penuh Iran. Di Gaza, Hamas bisa terus bertahan karena bantuan Teheran. Iran juga berpengaruh amat kuat di Irak. Kelompok milisi dan partai Irak yang disokong Teheran menjadi kekuatan penting di Irak.
Sokongan Teheran pada berbagai kelompok di luar Iran menjadi salah satu isu dalam rangkaian protes terkait Amini. ”Tidak ke Gaza. Tidak ke Lebanon,” demikian salah satu slogan unjuk rasa.
Sokongan itu juga memicu kecemasan atas potensi ketidakstabilan geopolitik kawasan. Jika sampai terjadi perubahan rezim di Teheran, kelompok-kelompok di sejumlah negara akan kehilangan patron. Akibatnya, ada peluang mereka akan semakin sulit dikendalikan.
Warga Iran, menurut The Economist, memandang dengan getir kondisi di Irak, Suriah, dan Afghanistan yang bersebelahan dengan Iran. Selama bertahun-tahun terakhir, tiga negara itu tidak stabil dan jadi arena persaingan negara lain. Iran pun terlibat dalam persaingan di tiga negara itu. Kekeruhannya bertambah jika mempertimbangkan perang Azerbaijan-Armenia di dekat perbatasan Iran-Turki.
Kekhawatiran orang Iran beralasan. Mereka tahu, banyak negara mengincar Iran. Selama puluhan tahun, orang-orang Kurdi berusaha memisahkan diri dari Irak, Iran, Suriah, dan Turki.
Karena di dalam negeri terkendali, Iran bisa menangkal limpahan dampak kelompok bersenjata di Irak, Afghanistan, atau Suriah. Di antara kaki Himalaya dan pesisir Laut Tengah, hanya Iran yang masih stabil. Jika Teheran ikut kacau, akan tercipta sabuk ketidaksbilan yang membentang dari Lebanon sampai Afghanistan.
Selama ini, Iran langsung ikut menanggung arus pengungsi karena ketidakstabilan di Afghanistan hingga Lebanon. Jika Iran ikut kacau, berkurang satu kekuatan penanggung persoalan itu. Beban kawasan akan semakin berat.
Pengganti
Tunisia, Libya, dan Irak mengajarkan orang-orang Timur Tengah dan Afrika Utara bahwa demokrasi tidak selalu baik bagi mereka. Sementara Mesir dan Sudan mengajar warga kawasan bahwa militer bisa menyalip di tikungan lalu menggenggam kekuasaan.
Bagi kawasan, amat penting mengetahui jawaban atas pertanyaan: siapa yang akan menjadi penguasa pengganti? Kini, Garda Revolusi Iran (IRGC) menjadi kelompok terkuat nyaris dalam semua sisi. Jika Ayatolah Khamenei digulingkan, ada peluang para komandan IRGC mengambil alih kekuasaan. ”Sejumlah perwira dan anggota IRGC bersimpati pada pengunjuk rasa. Sebagian komandan IRGC mendukung pemberangusan unjuk rasa,” kata pengamat politik Iran, Sadegh Zibakalam.
Bagi kawasan, cengkeraman IRGC pada puncak kekuasaan di Teheran tidak akan mengubah struktur geopolitik kawasan. Sebab, selama ini jaringan pengaruh Iran di berbagai negara dikelola oleh IRGC. Jika kelompok pendukung demokrasi bisa menjauhkan Khamenei dan IRGC dari pusat kekuasaan sekalipun, bukan berarti tidak akan ada masalah.
Sejak 1953, Iran tidak mengenal demokrasi yang berlaku di banyak negara. Di masa Shah Reza Pahlevi, Iran hidup dalam monarki absolut sokongan AS-Inggris. Polisi rahasia Iran, Savak, menangkapi setiap orang kritis.
Selepas Shah digulingkan, kondisi Iran tidak lebih baik. Polisi moral sibuk menangkapi dan memukuli perempuan yang bepergian sendirian atau tidak memakai kerudung. Salah satu korbannya adalah Amini.
Dalam unjuk rasa terkait Amini saja, sudah lebih dari 10.000 orang ditangkap. Pengawasan warga diperketat lewat pemasangan kamera pengawas dan jaringan intelijen. Hidup puluhan tahun dalam pembatasan bisa memicu euforia. Irak dan Tunisia sudah menunjukkan itu kepada kawasan. Jangankan mengurus dan membangun negara, membentuk pemerintahan saja para elite Irak dan Tunisia tidak mampu. (AFP/REUTERS)