Cemas Menghadapi Kebebasan Berekspresi Twitter Ala Elon Musk
Elon Musk bilang Twitter akan menjadi wadah kebebasan berekspresi, tetapi tidak seperti tanah tak bertuan. Sementara itu, warganet terbelah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Elon Musk resmi menjadi pemilik Twitter pada hari Jumat (28/10/2022) dan reaksi di media sosial itu langsung heboh. Musk mengatakan dirinya adalah pembela kebebasan berekspresi yang absolut. Tidak ada hal tabu ataupun disensor bagi dia untuk diunggah ke media sosial. Begitu ia mengumumkan kepemilikan Twitter, unggahan yang bersifat rasialis dan diskriminatif naik hingga 500 persen.
Musk memang mencuit bahwa kebebasan berekspresi absolut bukan berarti segala sesuatu menjadi tak terkendali seperti tanah tidak bertuan. Akan tetapi, ia tidak menjelaskan ucapan ini lebih lanjut. Sebagian pengguna Twitter pun kadung mengunggah kalimat, foto, dan meme yang bersifat rasialis dan kebencian. Simbol-simbol Nazi misalnya, muncul di berbagai foot profil maupun konten Twitter.
Tidak lama setelah itu, beberapa orang terkenal yang selama ini aktif sebagai pengguna Twitter mengumumkan bahwa mereka akan “bercerai” dengan media sosial ini. Nama terbesar yang memutuskan keluar adalah Shonda Rhimes. Ia adalah produser dari berbagai serial televisi yang laku di pasaran, antara lain adalah Bridgerton, Grey’s Anatomy, dan How To Get Away With Murder.
“Saya tidak akan menunggu apapun rencana Elon. Dah.” Demikian cuitan terakhir Rhimes.
Produser serial televisi This Is Us, Ken Olin, juga mengucapkan perpisahan. Demikian pula dengan aktris sekaligus pegiat kesetaraan jender asal Inggris, Jameela Jamil. Padahal, Jamil termasuk pengguna Twitter yang sangat rajin. Ia selalu mengunggah pesan-pesan kritis mengenai ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial terhadap perempuan dan anak-anak.
Pelawak dan aktor Josh Gad yang terkenal sebagai pengisi suara tokoh Olaf di film kartun Frozen mengunggah bahwa ia masih berpikir-pikir untuk meninggalkan Twitter. Gad mengatakan menunggu perkembangan lebih lanjut. Adapun megabintang olahraga bola basket, LeBron James mewanti-wanti agar Twitter segera mengelola unggahan yang diperbolehkan.
James mengacu kepada laporan surat kabar The Washington Post hari Sabtu (29/10/2022). Berdasarkan analisis lembaga penelitian Network Contagion Research Institute (NCRI), hanya dalam 12 jam Musk mengambil alih Twitter, ujaran kebencian dan riasialisme terhadap anggota masyarakat berkulit hitam naik 500 persen.
“Saya tidak kenal dengan Musk. Jujur saja, saya tidak peduli dengan siapa pemilik Twitter. Tapi, jika ini semua benar, saya harap Musk dan timnya menangani ini dengan serius karena sangat menakutkan. Terlalu banyak orang yang mengatakan bahwa ujaran kebencian itu kebebasan berekspresi,” cuit James.
Musk mengatakan, ia hendak mengaktifkan lagi akun Presiden AS 2017-2021 Donald Trump yang diblokir gara-gara menyerukan pengikutnya untuk menyerang Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Terdapat pula tokoh konservatif sekaligus pembuat teori konspirasi Alex Jones. Ia diblokir dari Twitter setelah mengatakan penembakan di SD Sandy Hook pada tahun 2012 yang menewaskan 20 siswa dan enam tenaga kependidikan adalah rekayasa. Jones baru divonis bersalah oleh pengadilan setelah digugat oleh keluarga para korban.
Apabila Trump, Jones, dan tokoh-tokoh penyebar teori konspirasi dibiarkan merajalela di Twitter. Masyarakat mengkhawatirkan dampaknya kepada pemilihan umum sela tanggal 8 November nanti. Apalagi, Musk mengunggah artikel disinformasi mengenai penyerangan terhadap Paul pelosi, suami dari Ketua DPR AS Nancy Pelosi. Paul diserang dengan palu oleh seseorang yang membobol kediamannya.
Musk membagikan teori konspirasi yang diterbitkan di Santa Monica Observer yang mengatkan bahwa penyerangan itu adalah rekayasa. Unggahan ini kemudian dihapus oleh Musk. Akan tetapi, warganet sudah terlanjur membaca dan semakin mempertanyakan kebijakan atau tepatnya ketiadaan kebijakan pengelolaan Twitter oleh Musk.
Bias
Selama ini, Musk memandang Twitter sebagai media sosial pro kubu liberal dan sering memblokir pengguna-pengguna berhaluan konservatif. Tuduhan ini kemudian memicu penelitian Paul Barrett dan J Grant Sims dari Pusat Bisnis dan Hak Asasi Manusia Universitas New York yang terbit pada Februari 2021. Mereka menemukan bahwa pemblokiran hanya dilakukan kepada orang-orang yang mengutarakan ujaran kebencian, terlepas haluan politik mereka.
Lebih lanjut, pada Desember 2021, jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) menerbitkan makalah Ferenc Huszar et al. ini adalah tim peneliti gabungan antara lain dari Universitas Cambridge di Inggris dan Universitas California Berkeley. Mereka meneliti 6,2 juta unggahan dari AS, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Kanada, dan Jepang.
Terungkap bahwa unggahan berhaluan konservatif justru berjumlah di atas 50 persen di negara-negara tersebut. Selain lebih banyak, unggahan konservatif juga merupakan konten yang paling banyak diteruskan dan disebarluaskan oleh pengguna. Unggahan ini kritis terhadap pemerintah negara-negara tersebut ataupun kritis terhadap pandangan moderat maupun liberal. Akan tetapi, mereka tidak diblokir selama tidak mengandung unsur seks, rasialisme, dan agama.
“Kebebasan berekspresi memiliki makna yang jelas dan mendukung pemikiran kritis. Bias merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, tetapi ini tidak berarti ujaran kebencian adalah sah,” kata pakar informasi dan ilmu komputer Universitas Indiana Filippo Menczer di majalah The Conversation.