G20 memiliki mekanisme hierarkis dalam pembahasan agenda, mulai dari kelompok kerja, forum tingkat menteri, hingga konferensi tingkat tinggi. Ada pula ”engagement group”, forum nonpemerintah dari setiap anggota G2.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
Presidensi G20 adalah jatah kepemimpinan tahunan bergilir di antara anggota G20, yakni 19 negara berperekonomian terbesar di dunia dan Uni Eropa. Menerima estafet itu dari Italia pada 1 Desember 2021, Indonesia mengembannya sampai dengan 30 November 2022. Peristiwa ini bersejarah tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga G20. Pertama kalinya negara berkembang memimpin kelompok ini.
Presiden Joko Widodo sejak awal 2021 sudah mewanti-wanti jajaran kabinet maupun sejumlah lembaga di Tanah Air agar G20 kali ini bisa menetes hingga ke akar rumput. Salah satu perwujudannya berupa berbagai kelompok kerja dan kelompok inisiatif yang menggaet berbagai lembaga sipil untuk terlibat dalam pembahasan isu perekonomian, kesejahteraan, energi, hingga kesehatan global.
Di samping kelompok-kelompok yang sudah ada sejak beberapa tahun terdahulu, misalnya Women20 untuk pembahasan isu kesetaraan jender dan Youth20 untuk pelibatan generasi muda, pada presidensi Indonesia muncul pula beberapa kelompok baru. Total jumlahnya 11 kelompok.
Sebut saja misalnya, Religion20, yaitu forum para tokoh agama untuk membahas isu keagamaan dan pembangunan bangsa. Ada pula Music20 yang mengumpulkan para pemusik lintas negara. Munculnya kelompok-kelompok baru tidak masalah selama setiap pertemuan kelompok menghasilkan sesuatu.
Co-sherpa G20 dari Kementerian Luar Negeri, Dian Triansyah Djani, berkali-kali menekankan, keberadaan dan peran kelompok-kelompok kerja yang membahas persoalan nyata sekaligus mencari solusi yang nyata menjadi sangat penting. Ini merupakan ikhtiar untuk membuat agenda G20 relevan bagi masyarakat luas.
Ekonom dari Centre for Strategic Studies (CSIS), Dandy Rafitrandi, di Jakarta, Selasa (1/11/2022), menyatakan, agenda dalam kelompok pembahasan dituntut untuk ditindaklanjuti dalam langkah konkret. ”Setiap kelompok memiliki komunike, tapi ini tidak boleh cuma sebatas dokumen. Harus ada rencana penerapan dari setiap negara dan lembaga yang terlibat,” katanya.
Dandy menjelaskan, T20 unik karena terdiri dari sejumlah lembaga penelitian, baik pemerintah maupun swasta. Wadah ini sebagai tempat dialog antara pembuat kebijakan, peneliti, dan pakar, dengan menyasar setiap topik secara terperinci.
T20 sejatinya tidak memiliki topik prioritas karena tujuan utamanya adalah mendukung agenda G20 dengan menghadirkan berbagai hasil kajian berbasis fakta sebagai landasan pembuatan kebijakan. Sebagai bank ide, T20 juga bertugas mengemukakan penemuan-penemuan terbaru, mulai dari persoalan hingga potensi jalan keluar yang tersedia.
”Selama ini, kebijakan G20 condong berpihak ke negara-negara maju sehingga anggota yang merupakan negara berkembang tertatih-tatih mengikuti,” kata Dandy. Di sini Indonesia berusaha agar suara dan pilihan solusi dari negara berkembang bisa diperhatikan dan dipakai sebagai bagian dalam pembuatan kebijakan.
Dandy mencontohkan pembahasan permasalahan ekonomi hijau dan peralihan dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Negara-negara maju telah memiliki infrastruktur canggih dan berbagai pembangkit listrik EBT. Tujuannya ialah secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sepenuhnya pada 2030.
Namun, tujuan ini tidak masuk akal bagi negara-negara berkembang. Sebab, tidak hanya perekonomian kelompok ini masih sangat tergantung kepada energi fosil, tetapi penyediaan energi yang bisa diakses oleh setiap lapisan masyarakat saja masih terkendala.
”Kadang-kadang, negara-negara maju tidak menyadari bahwa masih ada banyak lokasi di negara berkembang yang sama sekali belum tersentuh aliran listrik. Kondisi ini belum memungkinkan negara tersebut membahas ketersediaan dana, teknologi, dan sumber daya manusia untuk peralihan ke EBT,” tutur Dandy.
Di sini, negara-negara berkembang dan terutama Indonesia selaku presidensi G20 2022 bertindak sebagai penengah dan penduduk perkara. Indonesia memberi panggung kepada lembaga-lembaga riset dari negara berkembang untuk menampilkan hasil kajian mereka beserta berbagai alternatif yang dapat dipertimbangkan.
Menurut Dandy, lembaga-lembaga riset negara berkembang memiliki data dan persepsi yang lebih kaya. Hal ini karena di tengah segala keterbatasan, mereka mencari pokok permasalahan dan perkiraan solusi yang lebih membumi.
”Memang salah satu kendala adalah G20 masih cenderung memilih mendengar lembaga-lembaga internasional yang besar-besar. Padahal, lembaga riset dari negara berkembang umumnya memiliki metode dan hasil yang lebih nyambung dengan negara berkembang lain karena menghadapi persoalan serupa,” ujarnya.
T20, Dandy melanjutkan, juga mendorong agar sanksi ataupun kebijakan unilateral ditiadakan. Contohnya ialah kebijakan Uni Eropa (UE) menerapkan pajak karbon. Ini memberatkan negara-negara berkembang ketika mengekspor komoditas ke UE. Mereka harus membayar pajak tambahan. Analisis T20 mengkhawatirkan risiko munculnya perang pajak karbon, yaitu ketika negara-negara seenaknya menerapkan pajak karbon masing-masing.
”Apalagi sekarang ada perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan krisis pangan. Di sini negara-negara berkembang menunjukkan wujud ketika masyarakat benar-benar tidak punya makanan. Berbagai sanksi unilateral harus dibahas di level multilateral agar adil,” kata Dandy.
Penanggung jawab kelompok kerja bidang kesehatan G20, Hasbullah Thabrany, turut mengemukakan hal serupa. Di bidang ini, negara berkembang meminta sistem pembagian data kesehatan global, layanan digital, dan akses setara kepada semua jenis vaksin serta alat kesehatan.
Pandemi Covid-19 membuktikan negara-negara berkembang terlambat menerima informasi sehingga tindakan mitigasi tidak tepat waktu. Selain itu, berbagai kebijakan negara maju seperti pelarangan kedatangan warga dari negara-negara tertentu serta ketidakadilan akses vaksin menghantam perekonomian G20.
Indonesia terus mendorong penghimpunan dana kesehatan global agar didasarkan pada pendapatan domestik bruto setiap anggota. Dana perwalian global ini harusnya dipakai membiayai riset dan pembuatan vaksin serta obat-obatan yang bermitra dengan lembaga maupun perusahaan swasta.
”Tujuannya agar tidak ada satu negara ataupun perusahaan yang memegang sendiri hak cipta vaksin ataupun obat penyakit-penyakit dengan potensi mewabah,” ujar Hasbullah.
Direktur Institut Smeru Asep Suryahadi yang bertanggung jawab atas pembahasan di bidang kesejahteraan sosial menerangkan, umumnya setiap negara yang terlibat dalam T20 memiliki kesadaran mengenai keadilan. Perbedaannya ialah tolok ukur dan titik awal permasalahan. Hal ini tampak di pembahasan isu pekerja migran. Negara maju dan berkembang sepakat kesejahteraan dan perlindungan pekerja migran adalah keniscayaan. ”Pembahasannya rumit karena negara berkembang sebagai pengirim tenaga kerja memiliki pandangan yang belum tentu sesuai dengan negara maju sebagai penerima pekerja migran,” ucapnya. Di G20 kali ini, Pemerintah Indonesia tengah merundingkan pembuatan kelompok pembahasan baru, yaitu Music20 (M20). Direktur Artistik Orkestra G20 Ananda Sukarlan mengungkapkan, gagasan itu tebersit setelah pertunjukan orkestra di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada 12 September. Ia mengatakan, musik dibahas lebih serius sebagai aset budaya maupun alat diplomasi yang halus. Di samping itu, dari pihak industri musik tampaknya ada pembahasan musik sebagai salah satu sektor ekonomi. ”Informasi sejauh ini katanya ada pembahasan agar isu hak cipta menjadi landasan pembuatan M20, tapi kami para pemusik masih menunggu keputusan pemerintah mengenai kelompok baru ini,” kata Ananda.