Studi Bank Dunia menunjukkan Arab Saudi didera masalah obesitas pada tingkat yang sudah mengkhawatirkan. Pemerintah Arab Saudi bergerak cepat mendorong perubahan gaya hidup di kalangan warganya menuju hidup lebih sehat.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Asim al-Shammari (28), analis keuangan di Arab Saudi, ikhlas melupakan makanan cepat saji dan ”berat”, seperti burger, shawarma, dan kabsa yang lengkap dengan nasi dan daging dalam piring atau nampan besar untuk makan siang. Baru-baru ini ia beralih ke makanan lebih ringan dan lebih sehat yang dipesannya dari restoran diet.
Ia takut kegemukan atau obesitas. Hasil studi Bank Dunia tahun lalu menyebutkan, satu dari lima orang dewasa Arab Saudi mengalami obesitas. Persoalan obesitas di Arab Saudi, menurut Bank Dunia, sudah di tingkat ”mengkhawatirkan”. Observatorium Obesitas Global menempatkan Arab Saudi di peringkat ke-17 dalam prevalensi obesitas internasional, tiga peringkat di bawah Amerika Serikat, Qatar, dan Kuwait.
”Saya biasa makan burger, shawarma, atau kabsa untuk makan siang di kantor. Katanya ini membuat obesitas, terutama bagi orang yang bekerja di kantor 8 jam dan kurang bergerak,” kata Shammari. Kini ia mengganti makan siangnya dengan sepiring nasi, sepotong ayam, dan sayur wortel.
Harian Saudi Gazette, 23 Juli 2022, menyebutkan, hasil survei Asosiasi Sharik untuk Penelitian Kesehatan pada 7.000 laki-laki dan perempuan di Arab Saudi memperlihatkan, lebih banyak perempuan mengalami obesitas ketimbang laki-laki. Sekitar 24,5 persen perempuan Arab Saudi obesitas dan mengalami kelebihan berat badan di kuartal I-2022. Pada laki-laki, persentase obesitasnya 19 persen.
Meski tingkat obesitasnya lebih rendah, jumlah laki-laki penderita penyakit kronis lebih tinggi ketimbang perempuan. Ada lima jenis penyakit kronis utama, yakni diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, dan kanker.
Wilayah Riyadh menduduki posisi teratas dalam kasus obesitas dan penyakit kronis selama 2021. Riyadh mencatat tingkat obesitas 26,8 persen tahun lalu, diikuti Provinsi Timur dengan 25,8 persen, wilayah Mekkah (24 persen), Hail (23,5 persen), Al-Jouf (23,3 persen), wilayah Perbatasan Utara (20,6 persen), Madinah (20,2 persen), Jazan 19,8 persen, dan Tabuk 19,7 persen, sedangkan Al-Baha paling sedikit mengalami obesitas dengan 14,2 persen.
Memahami persoalan genting di masa depan tersebut, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman memasukkan target menurunkan obesitas dan diabetes pada akhir dekade ini dalam agenda Visi 2030. Upayanya terbantu banyaknya restoran baru yang menawarkan makanan alternatif lebih sehat untuk beberapa makanan tradisional Saudi.
Selama puluhan tahun, orang Arab Saudi menghabiskan banyak waktu luang mereka di restoran dan pusat perbelanjaan. Santap makan menjadi hiburan mereka satu-satunya. Mayoritas mereka menghabiskan waktu di dalam ruangan karena di luar suhu sangat panas sepanjang tahun.
Selama puluhan tahun, orang Arab Saudi menghabiskan banyak waktu luang mereka di restoran dan pusat perbelanjaan. Santap makan menjadi hiburan mereka satu-satunya.
Guna mengatasi obesitas, pada 2019, Kementerian Kesehatan mulai mewajibkan restoran memasukkan informasi kalori pada menu demi mendorong pola makan sehat. Namun, meski ada gerakan pola makan sehat, restoran makanan cepat saji, McDonald’s atau Albaik, ada di mana-mana. Untunglah, restoran-restoran yang menyajikan makanan sehat juga mulai banyak.
Saad al-Hader (25), seorang dokter, mengatakan, biasanya dirinya membawa bekal makanan dari rumah supaya tak perlu jajan makanan cepat saji. Kini ia tak perlu membawa bekal lagi. Ia tinggal beli di restoran yang menjual makanan sehat.
”Restoran-restoran baru ini jadi populer dan banyak yang dekat dengan tempat kerja sehingga lebih mudah untuk tetap makan sehat,” ujar Hader sambil menyantap salmon dan kentang panggang.
Semakin banyak restoran yang menawarkan paket makanan salad dan makanan sehat lainnya yang dikirimkan ke rumah dan tempat kerja. Salah satu paket yang ada menyediakan paket makan sehari selama sebulan dengan harga 120 dollar AS.
Permintaan tinggi
Basil Chehayeb, warga Lebanon yang membuka restoran bernama Reshape di ibu kota Arab Saudi, Riyadh, mengatakan, dirinya sudah membuka dua cabang baru dalam 18 bulan terakhir untuk memenuhi permintaan yang tinggi. Restorannya menyediakan makanan setiap hari kepada sekitar 500 pelanggan yang sebagian besar warga Arab Saudi.
”Warga Arab Saudi telah mengubah gaya hidup mereka. Sekarang lebih banyak warga (Saudi) yang datang ke klub olahraga dan makan makanan sehat,” ujar Chehayeb.
Untuk lebih mendorong gaya hidup sehat, Federasi Olahraga untuk Semua Saudi kini mengadakan acara reguler, seperti Riyadh Marathon. Tahun ini, ajang itu berhasil menarik ribuan pelari yang berkompetisi di jalanan kota Riyadh.
Pemerintah setempat juga sudah mulai membangun Sports Boulevard sepanjang 135 kilometer di Riyadh. Jalur ini dikhususkan untuk pejalan kaki, pesepeda, dan penunggang kuda.
Langkah yang lebih agresif lagi dilakukan Kementerian Kesehatan Arab Saudi. Mulai tahun akademik ini, kementerian itu melarang penjualan minuman ringan atau bersoda di sekolah-sekolah.
Konsultan kesehatan masyarakat, Lamia al-Brahim, mengingatkan bahwa obesitas ini persoalan kesehatan yang serius. Tampaknya masyarakat menyadari hal ini, terutama di kalangan generasi muda.
”Perubahan perilaku masyarakat memang butuh waktu yang lama dan upaya itu harus dimulai dari rumah atau keluarga lalu berlanjut ke sekolah dan instansi pemerintah,” ujar Brahim.
Studi baru yang diterbitkan Jurnal Kesehatan Inggris ”Kesehatan Global”, yang mensurvei delapan negara, menemukan obesitas merugikan Arab Saudi hingga 19 miliar dollar AS per tahun. Angka ini bisa meroket pada 2060 jika masalah ini tidak segera ditangani.
Studi Federasi Obesitas Dunia dan RTI Internasional pada 2021 menemukan bahwa dampak obesitas di Arab Saudi diperkirakan menggerus sekitar 2,4 persen produk domestik bruto (PDB) negara itu. Jika tidak ada tindakan, dampak ekonomi tersebut diproyeksikan meningkat 4,1 persen pada 2060 atau setara 78 miliar dollar AS. Kerugian itu artinya Pemerintah Arab Saudi harus mengeluarkan anggaran lebih besar untuk perawatan kesehatan, kematian dini, hingga ketidakhadiran kerja karena sakit.
Johanna Ralston, CEO Federasi Obesitas Dunia, mengatakan kepada media Arab News bahwa Arab Saudi dipilih sebagai bagian dari penelitian karena Arab Saudi memiliki tingkat obesitas orang dewasa dan anak-anak tertinggi di dunia. Penyebab tingginya tingkat obesitas itu kompleks karena merupakan gabungan dari banyak hal, kebiasaan makan, kebiasaan tidur, dan tingkat aktivitas yang kurang menjadi faktor penyebabnya.
Masalah ini sebenarnya bukan hanya di Arab Saudi, tetapi juga di sebagian besar negara-negara Teluk. ”Kita tidak bisa hanya meminta orang mengubah perilaku hidup mereka sehari-hari, tetapi harus ada kebijakan komprehensif yang meningkatkan akses ke makanan yang murah, sehat, bergizi, perawatan kesehatan yang terjangkau, dan memungkinkan warga menjalani kehidupan seimbang yang bebas dari stres,” ujar Ralston. (AFP)