Jelang Ramadhan, Palestina dan Israel Sepakat Cegah Eskalasi Kekerasan
Menjelang bulan suci Ramadhan, Pemerintah Mesir memfasilitasi pertemuan Palestina dengan Israel untuk meredam kekerasan yang meningkat drastis sejak awal tahun ini.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
KAIRO, SENIN — Pejabat Palestina dan Israel, Minggu (19/3/2023), menyepakati pembentukan sebuah mekanisme guna mengekang kekerasan dan hasutan dalam pertemuan yang dimediasi Mesir, Jordania, dan Amerika Serikat di Sharm el-Sheikh, Mesir. Pertemuan ini digelar untuk mencegah tindakan-tindakan yang mengganggu ketenteraman di kota suci Jerusalem saat memasuki bulan Ramadhan pekan ini.
Dalam pernyataan bersama yang dirilis selepas pertemuan, semua pihak mengonfirmasi ulang komitmen-komitmen yang dibuat pada pertemuan sebelumnya di Aqaba, Jordania, 26 Februari 2023. Salah satu komitmen itu adalah janji Israel untuk menghentikan pembahasan tentang pembangunan permukiman baru di wilayah pendudukan selama empat bulan.
Para pejabat Palestina dan Israel, demikian petikan pernyataan bersama tersebut, ”sepakat membentuk sebuah mekanisme guna mengekang dan menangani kekerasan, hasutan, serta pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan hasutan”, yang akan dilaporkan pada pertemuan lanjutan di Sharm el-Sheikh, April mendatang. Tidak disebutkan detail mekanisme yang dimaksud.
Semua pihak juga ”menekankan perlunya Israel dan Palestina secara aktif mencegah tindakan-tindakan yang akan mengganggu kesucian” tempat-tempat suci di Jerusalem selama bulan suci Ramadhan.
Pemerintah Mesir menginisiasi pembicaraan antara Otoritas Palestina dan Pemerintah Israel untuk meredam gelombang kekerasan di wilayah pendudukan Tepi Barat, Palestina. Pertemuan yang juga didukung oleh Amerika Serikat dan Jordania berlangsung di tengah perlawanan warga Palestina yang terus berlanjut, termasuk mengirimkan roket ke Nahal Oz, wilayah Israel yang terletak di timur kota Gaza, Sabtu (18/3/2023).
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Ahmed Abu Zaid, Sabtu, mengatakan, pertemuan Minggu (19/3/2023) adalah bagian dari upaya mencapai dan mendukung ketenangan antara Israel dan Palestina. Dia mengatakan, partisipasi regional dan internasional dalam pertemuan itu adalah untuk membangun mekanisme dan mengaktifkan apa yang telah disepakati para pihak.
”Pembicaraan hari Minggu adalah bagian dari upaya untuk mendukung dialog antara pihak Palestina dan Israel untuk bekerja menghentikan tindakan dan eskalasi sepihak, dan untuk memutus siklus kekerasan yang ada dan mencapai ketenangan,” katanya. Dia tidak memerinci lebih lanjut soal mekanisme yang telah disepakati.
Bulan Ramadhan menjadi masa yang sensitif dalam linimasa konflik Palestina-Israel. Pada saat yang bersamaan, umat Muslim Palestina dan warga Yahudi Israel berbondong-bondong mengalir ke Kota Tua Jerusalem untuk melaksanakan ibadah. Umat Islam akan melaksanakan salat Tarawih di kompleks Masjid Al-Aqsa, sementara warga Yahudi akan merayakan hari Paskah Yahudi. Gesekan kecil antara keduanya bisa berdampak luas dan cenderung mematikan bagi warga Palestina.
Pada 2021, bentrokan di situs tersebut menjadi pemicu perang 11 hari antara kelompok Hamas dan Israel. Tahun 2022, bentrokan antara warga Palestina dan aparat keamanan Israel di lokasi yang sama membuat ratusan warga Palestina terluka dan sekitar 400-an orang ditahan.
Upaya meredam kekerasan pada bulan Ramadhan dinilai menjadi sebuah hal yang perlu dilakukan, terutama setelah Pemerintah Israel dipimpin oleh politisi garis keras pendukung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Dua politisi utama pendukung Netanyahu, yaitu Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, adalah dua politisi garis keras yang tidak sungkan untuk mengambil sikap keras, termasuk mengusir warga Palestina dari tanahnya dan membumihanguskan lahan serta rumah warga Palestina. Caranya adalah dengan mempersenjatai warga sipil Israel.
Sejak Netanyahu berkuasa kembali, aparat keamanan Israel hampir setiap malam melancarkan serangan ke wilayah Tepi Barat.
Sejak Netanyahu berkuasa kembali, aparat keamanan Israel hampir setiap malam melancarkan serangan ke wilayah Tepi Barat. Mereka beralasan, tindakan itu diperlukan untuk membendung serangan dan membongkar jaringan kelompok-kelompok pejuang Palestina.
Sejak awal tahun, 85 warga Palestina tewas di tangan aparat keamanan Israel. Sebanyak 23 orang di antaranya tewas dalam gelombang kekerasan yang terjadi setelah pertemuan pertama Palestina-Israel di Aqaba, Jordania, 26 Februari 2023.
Pertemuan yang berlangsung di kota peristirahatan Mesir Sharm el-Sheikh itu, seperti dilansir laman media Israel, Haaretz, adalah kelanjutan dari pertemuan bulan lalu di Aqaba. Hasil pertemuan Aqaba, seperti dilaporkan dua media Israel, yaitu Times of Israel dan Haaretz, Pemerintah Israel sepakat menghentikan pembangunan permukiman warga Yahudi selama tiga hingga enam bulan mendatang.
Tidak hanya itu, dalam pertemuan tersebut, Palestina berharap Israel mengurangi operasi aparat keamanan Israel di Area A wilayah pendudukan Tepi Barat yang berada di bawah kendali Palestina. Selain itu, Israel diharap menghentikan penghancuran rumah di Jerusalem dan Area C serta agresi terhadap para pemukim Palestina.
Sebaliknya, dari sisi Israel, seperti dikutip Haaretz, otoritas keamanan Israel mendesak Otoritas Palestina untuk mengendalikan organisasi perlawanan yang ada di wilayahnya, seperti Hamas dan Jihad Islam.
Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Otoritas Palestina Hussein al-Sheikh mengulangi desakannya agar aparat keamanan Israel menghentikan agresinya terhadap warga dan wilayah Palestina, menindaklanjuti pertemuan di Aqaba, Jordania. Akan tetapi, ketidakseriusan kabinet Netanyahu melaksanakan hasil pertemuan membuat Sheikh juga meragukan apakah komitmen yang dihasilkan pada pertemuan kali ini akan dilaksanakan oleh Israel atau sebaliknya. Tidak ada komentar langsung dari Israel mengenai pertemuan tersebut dan desakan Sheikh.
Di tengah upaya Mesir memediasi Palestina-Israel, pemerintahan Abdel Fatah el-Sisi bersama Pemerintah Turki mencoba memperbaiki hubungan bilateral mereka yang buruk sejak satu dekade lalu. Hubungan kedua negara menjadi sangat tegang setelah El-Sisi memimpin penggulingan Presiden Muhammad Mursi pada 2013. Mursi, yang juga didukung oleh kelompok Ikhwanul Muslimin, adalah sekutu dekat Ankara.
Dalam konferensi pers bersama, Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry dan Menlu Turki Mevlut Cavusoglu, Sabtu (18/3/2023), sepakat untuk menormalisasi hubungan ke tingkat duta besar sesegera mungkin. Ini adalah langkah lanjutan untuk menormalisasi penuh hubungan kedua negara.
”Saya sangat senang kami mengambil langkah konkret untuk menormalisasi hubungan dengan Mesir. Kami akan melakukan yang terbaik untuk tidak memutus hubungan lagi di masa depan,” kata Cavusoglu.
Sementara Shukry mengatakan, kemauan politik pemimpin kedua negaralah yang akhirnya membuat hubungan kedua negara kembali normal. ”Ada kemauan politik dan arahan dari presiden kedua negara ketika mereka bertemu di Doha untuk membuka jalan menuju normalisasi penuh hubungan,” kata Shoukry.
Konsultasi antara pejabat senior Kemenlu kedua negara dimulai pada 2021, di tengah dorongan Turki untuk meredakan ketegangan dengan Mesir, UEA, Israel, dan Arab Saudi. Pertemuan Erdogan dan Sisi saat upacara pembukaan Piala Dunia 2022 membulatkan tekad kedua negara untuk menormalisasi hubungannya.
Hubungan diplomatik kedua negara yang buruk tidak hanya soal penggulingan Mursi. Kedua negara juga pernah bersitegang ketika mereka memilih berhadap-hadapan di Libya karena mendukung faksi yang berlawanan satu sama lain. Ankara dan Kairo juga memiliki sikap yang berbeda soal pengelolaan cadangan gas di Laut Tengah bagian Timur. (AP/REUTERS/SAM)