Tak Ada Restu bagi Netanyahu
Keinginan pemerintahan PM Benjamin Netanyahu mendorong reformasi lembaga peradilan di Israel mendapat penolakan keras di dalam negeri. Tidak ada kekuatan regional maupun internasional yang memberi restu kepada Netanyahu.
Kisruh di Israel saat ini, antara kubu pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di satu pihak dan publik serta elemen militer di pihak lain terkait isu reformasi peradilan, berdampak besar terhadap masa depan perdamaian Palestina-Israel.
Kepentingan regional maupun internasional saat ini adalah bagaimana menghentikan atau menggagalkan agenda reformasi peradilan Israel versi pemerintahan PM Netanyahu itu. Seperti diketahui, pemerintahan Netanyahu berintikan partai kanan dan agama.
Jika agenda reformasi peradilan Israel berhasil lolos, perdamaian Palestina-Israel yang sudah macet sejak tahun 2014 akan semakin gelap masa depannya. Inilah yang dibaca Amerika Serikat. Maka, Presiden AS Joe Biden pada Minggu (26/3/2023) meminta Netanyahu membatalkan agenda reformasi peradilan itu atau minimal kedua kubu mencapai solusi kompromi.
Baca juga: Reformasi Hukum Netanyahu Akibatkan Ketegangan dengan AS
Isu agenda reformasi peradilan Israel tersebut kini memicu hubungan cukup tegang antara Israel dan AS. Ini membuat posisi Netanyahu sangat dilematis. Di satu pihak, agenda itu merupakan ambisi pribadi Netanyahu dan kubunya dalam koalisi pemerintahan, seperti Ketua Partai Shas, Aryeh Deri, dan ketua partai ultranasionalis kanan Otzma Yehudit, Itamar Ben-Gvir. Bahkan, Ben-Gvir mengancam keluar dari koalisi jika Netanyahu membatalkan agenda reformasi peradilan. Apabila Ben-Gvir melaksanakan ancamannya, pemerintahan Netanyahu bisa ambruk.
Namun di pihak lain, agenda reformasi peradilan mendapat penolakan keras dari publik dan elemen pemerintahan serta militer. Publik Israel menggelar unjuk rasa besar-besaran berjilid-jilid di sejumlah kota, khususnya kota Tel Aviv dan Jerusalem, menolak agenda pemerintahan Netanyahu itu. Serikat pekerja Israel pun mogok kerja. Pemerintah AS juga mengintervensi ikut menolak agenda reformasi peradilan Israel itu.
Kubu kontra-reformasi peradilan menyebut agenda tersebut sebagai agenda meruntuhkan sendi demokrasi di Israel dan sekaligus menggiring negara Israel ke arah kultur diktator karena akan mengubur sistem independensi lembaga peradilan. Prinsip trias politika yang membagi kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif akan dikerdilkan oleh agenda Netanyahu.
Pertarungan identitas
Para pengamat memandang, apa yang terjadi di Israel saat ini adalah pertarungan soal identitas negara, apakah Israel memilih negara sekuler demokrasi atau negara diktator zionis ultrakanan-ortodoks.
Penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat Israel itu memaksa Netanyahu, Senin (27/3/2023), menyerukan digelarnya dialog nasional dengan kubu oposisi dan membekukan sementara proses reformasi lembaga peradilan hingga sesi parlemen musim panas nanti.
Yang terjadi di Israel saat ini adalah pertarungan soal identitas negara, apakah Israel memilih negara sekuler demokrasi atau negara diktator zionis ultrakanan-ortodoks.
Reformasi peradilan Israel adalah paket perubahan sistem di lembaga peradilan di Israel, meliputi antara lain ingin disahkan undang-undang (UU) yang membebaskan perdana menteri Israel dari kewajiban membayar pajak serta UU yang mencegah penasihat hukum pemerintah bisa mengumumkan bahwa perdana menteri tidak dapat menjalankan tugasnya dan harus berhenti sebagai perdana menteri.
Baca juga: Tekanan Rakyat Israel Memuncak, Pemerintahan Koalisi Netanyahu Goyah
Netanyahu melalui reformasi peradilan itu juga menginginkan hukum syariah Yahudi menjadi sumber hukum sipil di Israel guna memenuhi aspirasi partai-partai agama yang bergabung dalam koalisi pemerintahan. Netanyahu juga ingin membebaskan siswa-siswa sekolah agama dari wajib militer.
Ia juga ingin disahkan UU yang mengizinkan sahabatnya dalam koalisi pemerintahan, yaitu Ketua Partai Shas, Aryeh Deri, bisa menjabat menteri lagi. Mahkamah Agung Israel melarang Deri menjabat menteri terkait tuduhan terlibat beberapa kasus kriminal, termasuk pengemplangan pajak.
Netanyahu dan kubunya sangat percaya diri, agenda reformasi peradilan Israel itu bisa berjalan mulus tanpa hambatan politik. Hal ini karena hegemoni kubu kanan Israel di pentas politik dalam beberapa dekade terakhir ini.
Baca juga: Netanyahu Pimpin Pemerintahan Berhaluan Paling Kanan dalam Sejarah Israel
Netanyahu sudah tiga kali menjabat PM Israel, yakni pada 1996-1999, kemudian 2009-2021, dan lalu menjabat lagi mulai Desember 2022 sampai saat ini. Pada 29 Desember 2022, Netanyahu membentuk pemerintah koalisi yang terdiri enam partai dengan latar belakang ideologi kanan dan agama, yaitu Likud, Shas, United Torah Judaism, Religious Zionist Party, Otzma Yehudit, dan Noam.
Balas dendam
Keenam partai itu menguasai 64 dari 120 kursi di Knesset. Posisi mereka dinilai cukup kuat di pentas politik Israel saat ini. Di luar koalisi pemerintahan itu, masih ada tiga partai kubu kanan yang memilih di luar pemerintahan, yaitu Yisrael Beiteinu, National Unity, dan Yesh Atid.
Dengan modal kepercayaan diri yang sangat kuat itu, Netanyahu dan kubunya melihat saat inilah waktu yang tepat untuk balas dendam terhadap lembaga peradilan yang selama ini banyak merugikan dirinya dan mitra politiknya. Netanyahu dan lembaga peradilan Israel sudah lama berseteru.
Jaksa Penuntut Umum Israel, Avichai Mendelblit, pada 28 Februari 2019 mengumumkan tiga dakwaan pidana terhadap Netanyahu terkait korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penerimaan suap. Tiga dakwaan pidana itu merupakan kasus lama yang dikenal di media Israel dengan nama kasus 1000, 2000, dan 4000.
Kasus 1000 adalah kasus Netanyahu dan istrinya menerima hadiah barang-barang berharga senilai 240.000 dollar AS dari produser film warga Israel yang bermukim di AS dan senilai 72.000 dollar AS dari pengusaha Australia. Barang mewah itu berupa berlian, sampanye, dan rokok kuba yang diterima dari 2007 hingga 2016.
Baca juga: Mantan PM Israel Benjamin Netanyahu Diadili dalam Kasus Korupsi
Kasus dokumen 2000 adalah kasus Netanyahu meminta pemilik harian Yedioth Ahronoth, Arnon Mozes, memperbaiki pemberitaan terkait Netanyahu, dengan imbalan Netanyahu akan menggembosi oplah harian Yisrael Hayom, saingan Yedioth Ahronoth.
Kasus 4000 adalah kasus Netanyahu memberi fasilitas dan kemudahan bagi perusahaan media dan telekomunikasi Israel, Bezeq-Walla, dengan imbalan perusahaan media itu mengharumkan citra Netanyahu di pemberitaan.
Ketua Partai Shas, Aryeh Deri, juga punya rasa dendam terhadap Mahkamah Agung yang menolaknya menjabat menteri dalam negeri, merangkap menteri kesehatan. Adapun partai-partai agama di Israel menaruh dendam pula pada lembaga peradilan karena mewajibkan siswa-siswa sekolah agama ikut wajib militer.
Bisa digambarkan, jika agenda reformasi peradilan bisa berjalan mulus, tokoh-tokoh seperti Netanyahu, Deri, dan Ben-Gvir akan mengontrol lembaga eksekutif dan yudikatif sekaligus. Arah ini ditentang keras oleh berbagai elemen masyarakat Israel yang secara terang-terangan didukung AS.
Baca juga: Politisi Sayap Kanan di Israel Kuasai Kementerian Pertahanan dan Keamanan
AS sangat berkepentingan atas gagalnya agenda reformasi peradilan Israel. Washington ingin mencegah kubu kanan radikal dan agama di Israel memegang hegemoni lebih besar yang akan semakin mematikan solusi dua negara Palestina-Israel.
AS dan masyarakat internasional masih memperjuangkan solusi dua negara Palestina-Israel, meskipun peluangnya semakin lemah seiring dengan kian berkuasanya kubu kanan radikal dan agama di Israel.
Selain itu, jika agenda reformasi peradilan Israel berhasil, pamor Israel dan sekaligus AS akan semakin redup di mata negara-negara Arab moderat yang selama ini menjalin hubungan damai dengan Israel melalui kesepakatan Abraham pada tahun 2020.
Kesepakatan Abraham makin tidak bermakna pula, apabila kubu kanan radikal dan agama di Israel semakin hegemonik. Hal ini bisa pula melemahkan posisi AS di Timur Tengah, apalagi setelah China tampil menjadi mediator normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi pada 10 Maret lalu. Posisi AS semakin terancam dengan makin bersinarnya bintang China pascanormalisasi tersebut.
Maka kepentingan AS, dunia Arab, dan Palestina adalah kandasnya agenda reformasi peradilan Israel.