Perang Dagang oleh Trump-Biden Ikut Terbangkan Inflasi (2)
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi faktor politik ekonomi yang ikut menyumbang inflasi stabil tinggi. Selama kebijakan itu berlanjut, sulit bagi bank sentral menjinakkan inflasi.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Tugas Bank Sentral AS atau Fed menurunkan inflasi tergolong berat. Ini bukan semata-mata karena ada indikasi pada lemahnya independensi Fed, singkatan Federal Reserve. Perang dagang, kebijakan luar negeri AS sejak era Donald Trump yang berlanjut ke Joe Biden, memiliki efek terhadap inflasi. Ini adalah faktor yang luput dari perang melawan inflasi di AS.
Mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk China, David Adelman, 20 Juni 2022, kepada CNBC, mengatakan, penghapusan tarif impor asal China akan bisa menurunkan inflasi 1 persen seiring dengan berjalannya waktu. ”Banyak ekonom mengatakan, jika tarif dihapus, akan ada efek positif berupa penurunan 1 persen inflasi,” katanya.
Trump gencar mengenakan tarif terhadap impor China sejak 2018. Presiden Biden belum terpikir menghapus kebijakan tersebut. Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF), Pierre-Olivier Gourinchas, dalam artikelnya per 19 April 2022, berpendapat, inflasi di banyak negara naik akibat gangguan pasokan barang global. Ini menyebabkan aksi pengetatan moneter terjadi di banyak negara, terutama AS.
Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 turut menambah tekanan inflasi. Rusia adalah pemasok utama minyak dan gas bumi, logam, gandum, serta jagung. Berkurangnya pasokan komoditas ini telah menaikkan harga secara tajam. Namun menurut Gourinchas, inflasi sudah terjadi sebelum invasi Rusia, yakni sejak Trump mengenakan bea masuk terhadap barang-barang dari China pada 2018.
Berpikir untuk hapus tarif
Berdasarkan informasi yang dituliskan di Fortune, 26 April 2022, Wakil Penasihat Keamanan Nasional, Daleep Singh, mengatakan, AS mungkin berpikir menurunkan tarif produk non-strategis China. Menteri Keuangan AS Janet Yellen menambahkan, penurunan tarif impor mungkin bermanfaat untuk menurunkan inflasi.
Pada Maret 2022, para ekonom dari lembaga Peterson Institute of International Economics (PIIE) memperkirakan liberalisasi perdagangan lewat penurunan tarif bisa menurunkan inflasi 1,3 persen. Saat itu mantan Menteri Keuangan AS, Lawrence Summers, mengomentari laporan PPIE. Summers mengatakan, penurunan tarif akan meningkatkan persaingan dan berefek pada penurunan inflasi.
Michael Pettis, profesor keuangan di Peking University dan salah satu penulis buku Trade Wars Are Class Wars turut nimbrung. ”Salah satu cara menekan inflasi adalah dengan menaikkan pasokan barang, atau juga bisa dengan menurunkan permintaan. Melakukan hal sebaliknya juga akan berefek sebaliknya,” katanya.
Permintaan bisa diturunkan dengan kenaikan suku bunga, seperti terjadi sekarang. Kelancaran pasokan barang juga turut berperan menurunkan inflasi lewat sikap legawa AS terhadap China.
Balkanisasi perekonomian global
Akan tetapi, debat positif ini tidak berkembang. Situasi justru berkembang makin parah. Unsur perseteruan geopolitik China-AS telah menghilangkan dengan sendirinya efek positif dari debat ini. Hal yang terjadi adalah balkanisasi perekonomian global, seperti dikatakan Guru Besar Emeritus pada Stern School of Business di New York University, Nouriel Roubini (Fortune, 13 April).
Perang Dingin AS-China telah membuat dunia berpotensi terkotak-kotak (balkanisasi) ke dalam blok AS dan blok China. Ada sanksi AS terhadap Rusia, yang dibalas dengan penghentian aliran migas Rusia ke Eropa. Ada penghentian ekspor chips AS ke China, yang dibalas dengan tekanan pada perusahaan-perusahaan chips AS di China.
Globalisasi dengan aliran barang yang selama ini bebas menjadi terganggu karena balkanisasi. ”Hal-hal seperti ini berbiaya, mengurangi potensi pertumbuhan global, dan menaikkan biaya produksi,” kata Roubini.
”Efeknya adalah stagnasi dan inflasi (stagflasi) yang menyakitkan di Barat," kata Roubini. Barat sedang terkena tekanan inflasi tinggi dan penurunan pertumbuhan.
Bahaya “dedolarisasi”
Beijing sebaliknya merencanakan dedolarisasi atau mengurangi penggunaan dollar AS dalam transaksi internasional. Ini telah dilakukan Rusia. Pengembangan yuan untuk berstatus sebagai bentuk cadangan devisa global akan membuat China terlindungi dari retaliasi ekonomi oleh AS.
Kenaikan status yuan merupakan kabar buruk bagi AS. Sebab AS selama ini menikmati dan mendapatkan manfaat dari kesediaan negara-negara lain membeli obligasi Pemerintah AS. Jika status yuan meningkat, kebutuhan global akan permintaan dollar AS lewat pembelian obligasi AS bisa turun. Padahal, obligasi inilah yang turut berperan menutupi defisit anggaran pemerintah dan defisit perdagangan AS dengan seluruh dunia.
Obligasi Pemerintah AS secara efektif tidak bernilai jika bukan karena dukungan Pemerintah AS. Akan lebih tidak berguna lagi jika negara-negara berbondong-bondong menerapkan program dedolarisasi walau hal ini sulit dilakukan.
Niat China mengurangi penggunaan dollar AS dalam transaksi internasional akan menggoyang kemapanan AS. China dan negara-negara yang akan mengikuti langkah China tersebut sedang dalam posisi memiliki cadangan devisa kuat. ”Biaya pinjaman di AS akan meningkat dan AS tidak akan bisa menikmati gaya hidup yang sama lagi,” kata Roubini.
Rencana dedolarisasi ini turut membuat China menurunkan kepemilikan obligasi Pemerintah AS. Pada Januari 2022, nilainya 1.033,8 miliar dollar AS. Pada Januari 2023, nilainya menjadi 859,4 miliar dollar AS.
Defisit dan inflasi
Bukan hanya itu, baik Presiden Donald Trum maupun Biden juga dengan sendirinya membebani tugas Fed dalam perang melawan inflasi. Dua pemerintah dengan periode berbeda ini tampak tidak hirau akan efek defisit anggaran terhadap inflasi. Dua pemerintah ini lebih suka menaikkan defisit dengan ditutup dengan utang ketimbang menggenjot penerimaan pajak.
Dalam wawancara dengan Yahoo Finance, 14 April 2023, Direktur IMF untuk Urusan Fiskal Vitor Gaspar mengatakan, sebaiknya pemerintahan Biden memikirkan komposisi pengeluaran negara untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akan kenaikan utang dan kepentingan Fed dalam tugasnya menurunkan inflasi.
”Tampaknya jelas bagi saya, dari sudut pandang jangka menengah dan panjang, ada keperluan akan penyesuaian fiskal di AS. Tampaknya ini juga merupakan kesempatan untuk membantu Fed dalam memerangi inflasi, dan dengan demikian menurunkan desakan akan kenaikan suku bunga,” katanya.
Inflasi di AS terbukti lebih persisten dalam dua tahun terakhir. Inflasi per Maret 2023 mencapai 5,6 persen. Ini inflasi dengan tidak mengikutkan efek kenaikan harga pangan dan energi. Jika mengikutkan dua faktor itu, inflasi di AS mencapai 5 persen.
Namun seruan ini tampaknya tidak ditanggapi Washington. Utang Pemerintah AS yang kini 31 triliun dollar AS akan naik. Persentase utang Pemerintah AS akan mencapai 135 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), melampaui rata-rata tingkat negara-negara maju.
Defisit anggaran Pemerintah AS juga naik 6,8 persen terhadap PDB. Ini juga melampaui rata-rata tingkat negara-negara maju. Idealnya, defisit anggaran pemerintah maksimal 3 persen terhadap PDB.
The Bank for International Settlement (BIS) pada 1 Juli 2022 menuliskan hal menarik. Disebutkan, negara-negara dengan dominasi fiskal longgar dalam penambahan utang, dan abai terhadap tugas bank sentral, inflasi bisa lima kali lebih tinggi dibandingkan rezim dengan dominasi moneter.
Dan akan lebih berbahaya lagi jika defisit anggaran pemerintah ini dibayai bank sentral. Sebab, hal ini sama saja dengan mencetak uang. (REUTERS/AP/AFP)