Pemerintah tengah bekerja untuk mempersiapkan evakuasi warga negara Indonesia di Sudan. Kementerian Luar Negeri berkoordinasi dengan PBB dan misi asing untuk evakuasi tersebut.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KHARTOUM, MINGGU – Sejumlah pemerintah asing mulai mengevakuasi warga negara mereka dari Sudan yang telah memasuki hari kedelepan konflik bersenjata antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat atau RSF. Kedua pihak yang bertikai menyetujui gencatan senjata selama 72 jam demi jalur kemanusiaan.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha, Minggu (23/4/2023) di Jakarta, mengatakan, pemerintah tengah bekerja untuk mempersiapkan evakuasi warga negara Indonesia di Sudan. “Kami sedang berkoordinasi dengan PBB dan beberapa misi asing di Sudan,” katanya.
Belanda dan Swedia mengumumkan akan mengungsikan warga negara mereka yang berada di Sudan pada Minggu. Belum ada pengumuman rinci mengenai metode evakuasi dan jumlah warga yang akan mereka angkut meninggalkan negara terbesar ketiga di Afrika itu.
Pasukan RSF di bawah Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo melalui akun resmi Facebook mereka mengumumkan bahwa akses ke Bandara Internasional Khartoum dan juga bandara di Nyala, Provinsi Darfur yang dikuasai RSF akan dibuka selama gencatan senjata tersebut. Selain melalui jalur udara, mayoritas evakuasi dilakukan melalui Pelabuhan Sudan yang terletak di pinggir Laut Merah. Pelabuhan ini bisa diakses melalui mobil dan jaraknya 800 kilometer di utara Khartoum.
Perancis adalah negara pertama yang mengungsikan seluruh warga negara mereka dari Sudan, baik diplomat maupun sipil. Korea Selatan mengikuti langkah Perancis dan mengevakuasi seluruh warga mereka yang berjumlah 25 orang. Mesir memiliki 10.000 warga yang tinggal di Sudan.
Pemerintah Mesir menyediakan jalur evakuasi dari bandara dan pelabuhan. Akan tetapi, mayoritas warga Mesir memilih mengevakuasi diri sendiri untuk menyeberangi perbatasan Sudan. Negara ini berbatasan dengan Mesir di utara, Libya di barat laut, Chad di barat, Sudan Selatan di selatan, serta Etiopia dan Eritrea di timur.
Adapun negara-negara lain mengungsikan warga mereka sesuai permintaan. Amerika Serikat baru mengungsikan para diplomat mereka. Kedutaan Besar AS di Khartoum dikelola oleh staf lokal. Bagi warga negara AS nondiplomat, Gedung Putih mengarahkan mereka tetap tinggal di kediaman masing-masing dan menunggu arahan selanjutnya.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengabarkan, 140 orang dari 300 warga mereka di Sudan minta diungsikan. Moskwa tengah menyusun rencana evakuasi tersebut. Demikian pula dengan Arab Saudi, Kuwait, Inggris, dan Jordania. Evakuasi baru tersedia bagi warga yang meminta kepada pemerintah mereka. Meskipun demikian, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak mengatakan telah berkoordinasi dengan AS, China, Perancis, dan Uni Emirat Arab untuk membentuk jalur evakuasi khusus warga asing di Sudan.
RSF dan militer Sudan setuju untuk menghentikan pertempuran selama 72 jam. Akan tetapi, surat kabar Al Hadath dan Al Arabiya melaporkan, baku tembak tetap terjadi di beberapa titik di Khartoum dan dua kota yang bersisian, yaitu Omdurman dan Bahri. Warga bertahan di rumah tanpa aliran listrik dan air bersih.
Beberapa orang terpaksa mengambil bahan-bahan kebutuhan pokok yang tersisa dari toko-toko yang dijarah. Baik militer maupun RSF saling menuduh satu sama lain sebagai pelaku penjarahan. Semakin sedikit toko yang buka sehingga warga khawatir mereka akan kehabisan bahan makanan.
Banyak orang yang berusaha meninggalkan Khartoum. Ahmed Mubarak (27) nekat angkat kaki hanya membawa dompet. Ia harus berjalan kaki hingga keluar Khartoum karena tidak ada lagi angkutan umum yang beroperasi di kota itu. Baru ketika di luar Khartoum ia bisa naik bus ke Atbarra yang terletak 280 kilometer dari Khartoum.
“Kerabat di kampung kaget saya datang tidak membawa koper, tapi mereka senang saya bisa keluar dari pertempuran,” katanya. Setidaknya, sudah 400 orang yang tewas dan 3.000 orang luka-luka akibat konflik tersebut.
Kalau kami mengungsi ke kampung, nanti jangan-jangan rumah kami di Khartoum ditempati oleh tentara. Kami bisa-bisa tidak punya rumah lagi.
Ada pula warga yang memikirkan untuk pergi ke kota lain, tetapi mengkhawatirkan rumah mereka akan diduduki oleh milisi RSF apabila ditinggalkan. Salah satunya Alia Mutawakkil (26) arsitek dan desainer interior. “Kalau kami mengungsi ke kampung, nanti jangan-jangan rumah kami di Khartoum ditempati oleh tentara. Kami bisa-bisa tidak punya rumah lagi,” ujarnya.
Al Arabiya memperoleh kesempatan wawancara eksklusif dengan pemimpin RSF Jenderal Dagalo dan Panglima Militer Sudan Abdul Fattah Burhan dalam dua kesempatan berbeda. Wawancara dengan Dagalo dilakukan melalui sambungan telepon. Dagalo mengatakan, ia sudah berada di dalam Khartoum meskipun lokasi pastinya dirahasiakan. “Saya mendukung transisi Sudan ke pemerintahan demokratis,” tuturnya.
Sementara itu, Burhan menuduh justru Dagalo yang menentang transisi demokrasi. Apabila pemerintahan dikembalikan ke tangan sipil, RSF harus dilebur ke dalam militer Sudan dan rencana ini ditolak oleh Dagalo.
Para pengamat politik Sudan mengatakan, perang ini terjadi akibat egoisme kedua jenderal. Keduanya menginginkan dirinya yang menjadi panglima angkatan bersenjata apabila militer dan RSF digabung. Salah satu tawaran untuk perundingan perdamaian dari pihak-pihak pengamat dan mediator yang tediri dari AS, Inggris, UEA, dan Arab Saudi adalah mekanisme berbagi kekuasaan dan hak veto bagi kedua jenderal terhadap keputusan-keputusan tertentu. (Reuters)