Sejak dulu pendidikan mendekatkan Indonesia-Sudan. Selain itu sektor ekonomi juga mencatatkan torehan positif.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Sejatinya, hubungan antara Sudan dan Indonesia telah terjalin jauh sebelum kedua negeri itu merdeka. Kedatangan Syekh Ahmad Surkati dan Syekh Muhammad bin Abdul Hamid, dua ulama dari Sudan, pada Oktober 1911 menjadi awal kedekatan Indonesia-Sudan. Syekh Surkati dan Syekh Muhammad merupakan ulama asal Sudan yang diundang Jamiatul Khair untuk mengajar di Batavia.
Belakangan, Syekh Surkati menjadi salah satu pendiri Al-Irsyad yang diresmikan Pemerintah Hindia Belanda pada 1915. Surkati dikenal sebagai salah satu pembaru pendidikan Islam di Hindia Belanda.
Ia juga menjadi salah satu pintu Presiden pertama RI, Soekarno, mengenal Sudan. Sejumlah tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia juga belajar dari Syekh Surkati. H Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto juga bersahabat dekat Syekh Surkati.
Ulama asal Sudan itu akhirnya meninggal dan dimakamkan di Batavia pada 1943. ”Almarhum ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia” kata Bung Karno kala Syekh Surkati wafat.
Meski Syekh Surkati wafat, tidak berarti relasi Indonesia-Sudan lewat pendidikan terhenti. Berpuluh tahun sejak Syekh Surkati mulai mengajar di Batavia, ribuan mahasiswa Indonesia belajar ke Sudan. Bahkan tidak hanya lewat pendidikan, Indonesia juga menjalin hubungan politik dan ekonomi yang erat dengan Sudan.
Dosen
Pada Maret 2023, Duta Besar RI di Khartum, Sunarko, menerima dua dosen Sudan yang menyelesaikan tugas mengajar di Indonesia. Sebelum mereka, banyak dosen asal Sudan dikirim ke sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Bahkan, Wakil Presiden RI Hamzah Haz pernah menggagas pendirian Universitas Islam Indonesia Sudan (UIIS). Hamzah mengusulkan pendirian itu kepada Presiden Bashir dan disetujui. Sayangnya, aturan Indonesia tidak memungkinkan pendirian perguruan tinggi oleh dua negara. Kini, UIIS dikenal sebagai Universitas Islam Negeri Malang. Sebagian akademisi Sudan rutin mengajar di UIN Malang dan sejumlah perguruan tinggi lain di Indonesia.
Selain mengirimkan dosen, Sudan juga menerima mahasiswa asal Indonesia. Seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kala mengumumkan evakuasi, banyak mahasiswa Indonesia belajar di Sudan. Setiap tahun sejak berdekade lalu, ribuan mahasiswa Indonesia belajar di Sudan.
Sejumlah sekolah dan perguruan tinggi Indonesia rutin mengumumkan seleksi beasiswa belajar di Sudan. Selain Mesir dan Arab Saudi, Sudan jadi salah satu tujuan mahasiswa Indonesia yang ingin mendalami bahasa Arab dan ilmu Quran. Setelah lulus, sebagian alumnus Sudan menjadi pengajar di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi, sebagian lagi menjadi ulama terkenal di Indonesia.
Sudan punya salah satu cara membaca Quran yang unik, disebut langgam Al-Duuri. Sebagian Muslim Indonesia gemar menyimak video Syaikh Nourin Siddiq, ulama Sudan yang kerap melantunkan ayat Quran dengan langgam itu.
Di Sudan, Quran banyak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan yang dikenal sebagai khalwat. Karena itu, sebagaimana lazimnya negara penutur Arab, Sudan juga dikenal sebagai salah satu pusat penghafal Quran. Selain ke sejumlah kampus, sebagian mahasiswa Indonesia juga mengulang belajar di khalwat-khalwat itu.
Sebagian mahasiswa Indonesia juga belajar hukum Islam atau fikih di Sudan. Sebab, sudah puluhan tahun Sudan menerapkan hukum Islam sebagai hukum nasionalnya. Faktor lain yang mendekatkan Muslim Indonesia dan Sudan adalah tradisi sufi. Ada banyak tarekat sufi di Sudan. Seperti di Sudan, tradisi sufi juga mengakar dan menyebar di Indonesia. Sudan-Indonesia tetap dekat meski Khartum mayoritas Hanafi, sementara Indonesia mayoritas pengikut mazhab Syafii.
Politik
Secara politis, Indonesia juga sudah lama akrab dengan Sudan. Indonesia mengundang Sudan ikut Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955. KAA sudah selesai 7,5 bulan kala Sudan akhirnya merdeka pada 1 Januari 1956. Meski demikian, Perdana Menteri yang lalu menjadi Presiden pertama Sudan, Ismail al-Azhari, diundang menghadiri KAA. Panitia KAA sampai membuat bendera sendiri karena Sudan tidak mengirimkan bendera resminya menjelang KAA berlangsung. Bendera Sudan di KAA hanya kain putih yang ditulis kata ”Sudan”.
Meski kala itu Sudan berstatus jajahan Mesir, Indonesia sebagai tuan rumah KAA menempatkan Sudan di kursi terpisah dari Mesir. Hal itu bentuk dukungan Indonesia pada kemerdekaan Sudan. Jakarta mendukung Khartum meski hubungan Indonesia-Mesir amat baik.
Butuh empat tahun sejak Sudan merdeka sampai akhirnya Kuasa Usaha Indonesia ditunjuk memimpin kantor perwakilan diplomatik RI di Khartum. Sayangnya, kantor itu ditutup pada 1967 karena alasan keuangan di Indonesia. Kantor perwakilan RI di Khartum baru dibuka lagi pada 1995 dan dipimpin duta besar. Sementara Sudan menempatkan duta besarnya hampir tanpa henti di Jakarta sejak 1973.
Indonesia-Sudan juga dekat karena masalah ekonomi. Selama bertahun-tahun, Indonesia mendapatkan surplus jutaan dollar AS dari berdagang dan berinvestasi di Sudan. Retno dengan jelas menyebut, sebagian warga Indonesia yang dievakuasi dari Sudan pada Minggu (22/4/2023) adalah karyawan pabrik mi instan. Salah satu dari enam pabrik mi instan asal Indonesia di Afrika memang berada di Sudan.
Pabrik yang memproduksi mi sejak 2011 itu adalah salah satu jejak relasi ekonomi Indonesia-Sudan. Kala Sudan diperintah Omar Bashir, Indonesia mengimpor banyak minyak dari Sudan. Bahkan, nilainya mencapai 194 juta dollar AS pada 2018. Sebaliknya, Indonesia mengekspor banyak minyak sawit ke Sudan.
Dari berdagang dengan Sudan, Indonesia mendapat surplus jutaan dollar AS per tahun. Stabilitas Sudan amat penting bagi Indonesia. (AFP)