Studi WNI di Sudan Mandek
Studi ratusan warga negara Indonesia di Sudan terpaksa mandek akibat perang di antara dua faksi militer di negara itu. Saat ini, proses evakuasi bertahap sedang berlangsung.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pelajar Indonesia terpaksa meninggalkan studi mereka dalam waktu yang tidak menentu akibat perang di antara dua faksi militer di Sudan. Demi keselamatan dan situasi yang tak memungkinkan, mereka dievakuasi ke Tanah Air.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha melalui pesan singkat kepada Kompas pada Selasa (25/4/2023) malam menyebutkan, 542 WNI sedang dalam perjalanan laut dari Port Sudan menuju Jeddah, Arab Saudi. ”Evakuasi tahap kedua sedang dilaksanakan dari Khartum ke Port Sudan,” katanya.
Sejak Sabtu (15/4), Sudan diguncang pertempuran bersenjata di antara dua faksi militer, yakni Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok milisi Pasukan Pendukung Cepat (RSF). SAF pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, sedangkan RSF dipimpin Jenderal Hamdan Dagalo.
Keduanya bersama-sama melakukan kudeta militer pada Oktober 2021. Namun, perbedaan pendapat di antara keduanya soal transisi kepemimpinan politik dari militer kepada sipil menyulut pertempuran bersenjata di sejumlah daerah, terutama di Khartum, ibu kota Sudan.
Sampai dengan Selasa (25/4), lebih dari 400 orang dilaporkan tewas. Situasi rawan ini memaksa ribuan warga asing keluar dari Sudan. Gelombang evakuasi oleh pemerintah masing-masing kepada warganya dari Sudan terus berlangsung sejak pekan lalu.
Berdasarkan data KBRI Khartum, 1.209 WNI tinggal di Sudan. Mereka adalah pekerja dan pelajar. Sebanyak 827 orang di antaranya sudah pasti akan dievakuasi dalam dua gelombang. Sebanyak 382 WNI lainnya belum ada informasi.
Muflih Hariman (22), salah satu WNI pelajar di Sudan, saat dihubungi dari Indonesia, mengatakan, dirinya dan pelajar Indonesia lainnya telah berada di bus evakuasi. Bus itu berangkat dari tempat Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Sudan di Arkaweet menuju Port Sudan.
”Perjalanannya sekitar 12 jam ke Port Sudan. Di sana, menurut rencana, nanti naik pesawat militer ke Jeddah,” ucap mahasiswa di International University of Africa ini.
Menurut dia, terdapat tujuh bus yang membawa sekitar 200 mahasiswa dan pekerja migran Indonesia. Bus dengan fasilitas penyejuk ruangan itu tiba di Arkaweet sekitar pukul 12.30 waktu setempat.
Muflih dan pelajar lain sempat menunggu bus itu beberapa jam. ”Di sini, bus agak susah karena semua kedutaan juga ingin mengevakuasi warganya. Alhamdulillah, kami bisa dievakuasi,” kata mahasiswa Jurusan Studi Al Quran itu.
Muflih sudah menanti evakuasi sejak dua hari lalu. Ketika Pemerintah Indonesia menginformasikan evakuasi pada Minggu (23/4), ia pun bersiap meninggalkan Sudan.
Berdasarkan arahan petugas Kedutaan Besar RI di Khartum, pelajar diminta membawa barang secukupnya karena tempat terbatas untuk evakuasi. ”Saya hanya bawa satu ransel. Isinya, tiga pasang pakaian dan lima buku. Buku-buku dan barang lain saya tinggal,” ucapnya.
Logistik, menurut Muflih, juga terbatas selama masa perang. Banyak toko yang tutup. Dua hari terakhir, ia hanya mengonsumsi mi dan nasi.
Anak pertama dari tiga bersaudara ini menyayangkan studinya harus terhenti hingga waktu yang belum ditentukan. Padahal, ia telah menginjak semester tujuh dan akan menjadi sarjana pada Agustus ini. Bahkan, ia sudah diterima di Universitas Islam Madinah.
Muflih yang bercita-cita memperdalam ilmu Al Quran dan mengajarkannya di kampungnya di Makassar berharap perang di Sudan segera berakhir sehingga pelajar Indonesia bisa kembali melanjutkan studi. ”Belum ada pengumuman resmi dari kampus. Tapi, informasi yang saya dengar, yang penting kami pulang dulu dan selamat,” katanya.
Kewajiban negara
Menjawab pertanyaan wartawan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, keselamatan WNI menjadi kewajiban negara.
”Kami menyelamatkan WNI merupakan suatu kewajiban. Saya terus memantau perkembangannya dari waktu ke waktu dan berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi,” ujar Mahfud seusai pertemuan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Jakarta.
Mahfud mengatakan, pertemuannya dengan Prabowo tidak membahas soal evakuasi WNI dari Sudan, tetapi bersilaturahmi. Kendati demikian, ia menekankan, pemerintah saat ini berupaya mengevakuasi WNI keluar dari Sudan.
Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menuturkan, penjemputan WNI dari Sudan merupakan tugas mulia. Oleh karena itu, tim evakuasi yang dikirimkan harus melaksanakannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
”Misi evakuasi WNI bukan pertama kali dilakukan. Hal ini juga pernah dilaksanakan beberapa kali oleh TNI, yakni di Afghanistan pada 2021 dan Ukraina tahun 2022,” tuturnya.
Analis militer dari Semar Sentinel, Fauzan Malufti, berpendapat, langkah evakuasi yang ditempuh pemerintah sudah tepat. Arab Saudi yang berbatasan langsung dengan Sudan bahkan baru mengevakuasi warganya pada Sabtu pekan lalu.
”Pemerintah suatu negara tidak bisa ujug-ujug mengirim tim dan pesawat evakuasi. Diperlukan penyusunan rencana, persiapan personel dan logistik, hingga koordinasi, baik dengan pihak lokal maupun negara lain. Di samping itu, pertimbangan mengenai ketersediaan jeda kemanusiaan atau gencatan senjata juga perlu,” katanya.
Upaya evakuasi ini, menurut Fauzan, bisa menjadi catatan bahwa TNI AU membutuhkan pesawat angkut dengan kapasitas lebih besar dan cepat. Hal ini penting untuk memperkuat kemampuan serta mempercepat proses evakuasi.
Sementara itu, gencatan senjata di Sudan diperpanjang tiga hari lagi. Ini terhitung sejak hari Senin (24/4) tengah malam atau Selasa (25/4) pukul 05.00 WIB.
Kesepakatan oleh dua pihak yang bertikai itu dicapai melalui mediasi pihak penengah, yakni Amerika Serikat, Inggris, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Selain membuka jalur kemanusiaan untuk evakuasi warga asing dan penyaluran bantuan kepada masyarakat lokal, periode ini diharapkan membawa dua pihak yang bertikai ke meja perundingan
Sebelumnya, kedua kubu sepakat gencatan senjata selama tiga hari, 21-23 April, untuk menghormati Idul Fitri. Namun, konflik bersenjata dilaporkan tetap berlangsung.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Khartum menghadapi risiko bahaya biologis tinggi setelah salah satu pihak yang bertikai merebut laboratorium nasional yang menyimpan patogen campak dan kolera. Pihak itu juga mengusir teknisi atau operator.
Informasi soal pengambilalihan laboratorium milik negara itu disampaikan perwakilan WHO di Sudan, Nima Saeed Abid, melalui telekonferensi dari Sudan kepada sejumlah jurnalis di Geneva, Swiss, Selasa. Selain patogen campak dan kolera, laboratorium itu menyimpan persediaan darah nasional.
”Selain bahaya akibat zat kimia, bahaya biologi juga sangat tinggi karena genset tidak berfungsi dengan baik,” kata Abid.
WHO menyebut bahwa para pihak bertikat tidak memperhatikan hukum humaniter internasional yang melarang serangan terhadap fasilitas kesehatan, seperti klinik dan rumah sakit. PBB menyebut para pihak bertikai melakukan serangan 14 kali terhadap berbagai fasilitas kesehatan dan mengakibatkan delapan orang tewas serta melukai dua orang.(IKI/MHD/Z11)