2030, Sepertiga Eksekutif Perusahaan Jepang Harus Perempuan
Pemerintah Jepang ingin lebih banyak perempuan berkiprah di dunia kerja. Namun, pendekatan yang diambil belum menyasar persoalan di akar rumput masyarakat Jepang.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengumumkan target bahwa per tahun 2030, sebanyak 30 persen profesional perempuan harus menduduki posisi eksekutif di perusahaan-perusahaan besar negara tersebut. Peningkatan keragaman di dalam korporasi ini sangat penting untuk membuat perekonomian Jepang tumbuh karena variasi sama dengan meningkatnya kerativitas serta inovasi.
Kishida mengumumkannya di dalam rapat Diet atau parlemen Jepang di Tokyo pada Kamis (27/4/2023). ”Kita targetkan dulu untuk perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Tokyo,” katanya.
Jepang menghadapi masalah kependudukan yang serius dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi mereka. Angka kelahiran di negara ini semakin turun karena tekanan ekonomi dan budaya kerja yang tidak sehat membuat masyarakat memilih tidak berkeluarga. Pada saat yang sama, keterlibatan perempuan di bursa tenaga kerja juga menjadi tantangan.
Jepang adalah negara berlandaskan falfasah patriarki, yaitu posisi perempuan yang harus tunduk kepada laki-laki. Perempuan secara adat istiadat setempat diwajibkan untuk tinggal di rumah dan mengasuh anak. Akan tetapi, biaya hidup yang tinggi membuat satu penghasilan dari suami tidak akan cukup untuk menafkahi keluarga. Perempuan Jepang yang mayoritas memiliki pendidikan tinggi tidak bisa meniti karier untuk aktualisasi diri dan meningkatkan kesejahteraan keluarga akibat kuatnya tekanan budaya tersebut.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi Dunia (OECD) tahun 2022 menyebutkan bahwa 53 persen dari 64 juta penduduk perempuan Jepang bekerja. Sebanyak 77 persen di antaranya bekerja paruh waktu. Alasannya, perempuan wajib mengasuh anak sehingga tidak bisa bekerja purnawaktu. Pekerjaan paruh waktu ini mengikuti jadwal sekolah anak dan jadwal kerja suami.
Kita harus menaikkan target minimal perempuan eksekutif berjumlah 30 persen pada 2030. Selain itu, kita juga harus mengupayakan semakin banyak perempuan yang memiliki pekerjaan purnawaktu.
Sisa 23 persen perempuan terdaftar sebagai pekerja formal di kantor. Akan tetapi, mereka merupakan pekerja ”kerah merah jambu”. Ini adalah istilah perempuan yang terdaftar sebagai pegawai kantor, tetapi tidak memegang tugas yang memerlukan keahlian profesional. Pekerjaan mereka sebatas melakukan tugas-tugas yang dikategorikan feminin oleh masyarakat Jepang, seperti menyediakan makanan dan minuman untuk pegawai lain, menyalin dokumen, dan bersih-bersih.
Data Kementerian Tenaga Kerja Jepang yang dikutip oleh harian Mainichi menyebutkan, di tingkat manajemen level menengah ke atas, jumlah perempuan baru 15 persen. ”Kita harus menaikkan target minimal perempuan eksekutif berjumlah 30 persen pada 2030. Selain itu, kita juga harus mengupayakan semakin banyak perempuan yang memiliki pekerjaan purnawaktu,” tutur Kishida.
Yukiko Motomura, redaktur sekaligus kolumnis di Mainichi, mengatakan, sekali lagi pemerintah menetapkan target tanpa mengakui permasalahan mendasar di masyarakat Jepang. Sejatinya, ini soal budaya yang memengaruhi cara berpikir publik dan akhirnya berimbas kepada budaya kerja yang negatif. ”Berdasarkan data laporan kesetaraan jender WEF (Forum Ekonomi Dunia), Jepang berada di peringkat ke-139 dari 146 negara. Kita terendah di G7 (kelompok negara-negara terkaya dunia),” ujarnya.
Secara perekonomian dan teknologi, Jepang kuat. Akan tetapi, Motomura menggarisbawahi perbedaan Jepang dengan anggota-anggota G7 lain ialah kebudayaan yang tidak memberi ruang bagi perempuan untuk mengaktualisasi diri. Bahkan, perempuan yang meniti karier kerap dipandang negatif oleh publik.
Lembaga survey McKinsey pada 2021 menerbitkan laporan bahwa, apabila semakin banyak perempuan yang berpartisipasi di bursa tenaga kerja Jepang secara substantif─bukan sekadar paruh waktu, pendapatan domestik bruto negara itu bisa tumbuh 6 persen. Di atas kertas, 99 persen dari perusahaan Jepang berkaryawan 500 orang ke atas telah memberi cuti hamil dan melahirkan. Kenyataannya, ini tidak meningkatkan gairah perempuan untuk meniti karier lebih lanjut.
”Perempuan responden mengungkapkan, mereka dibebani pikiran tidak bisa membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Pandangan ini pula yang membuat perusahaan kerap melewati perempuan setiap kali ada kesempatan promosi,” tulis laporan McKinsey.
Hal serupa juga terjadi di bidang politik. Persatuan Antarparlemen (IPU), perhimpunan parlemen-parlemen di seluruh dunia, mencatat Jepang baru memiliki 9,96 persen wakil rakyat perempuan pada 2022. Secara formal, tidak ada aturan yang menghalangi perempuan untuk berpolitik, tetapi permasalahannya inheren di kehidupan sosial masyarakat.
”Perundungan terhadap perempuan legislator banyak terjadi, dari oposisi, masyarakat awam, dan rekan sesama partai. Paling sering ialah kami dituduh bisa mencapai suatu posisi karena merayu atasan atau menggunakan pendekatan tidak senonoh. Setiap kali kami dikritik, isinya bukan soal kinerja, tetapi soal penampilan dan kehidupan pribadi. Suami dan anak kami juga jadi bulan-bulanan,” kata anggota Aliansi Wakil Rakyat Feminis Jepang (AFR), Yoshiko Maeda, kepada harian The Guardian edisi 27 Oktober 2021. (AFP)