Tidak Ada Ketegangan, Tembakan Itu Terjadi Begitu Saja
Bagi para mahasiswa Indonesia, hidup di Sudan selama ini tenang-tenang saja. Tiba-tiba, konflik bersenjata meletus. Mereka terpaksa meninggalkan bangku kuliah untuk dievakuasi.
Gelombang kedua warga negara Indonesia yang diungsikan dari Sudan telah bertolak dari Arab Saudi menuju Jakarta. Masih ada 20 orang lagi yang menunggu giliran untuk diberangkatkan dari Port Sudan ke Jeddah. Meskipun demikian, para WNI beserta staf Kedutaan Besar Republik Indonesia Khartum telah bisa bernapas lega.
“Rasanya sedih meninggalkan kuliah saya di semester terakhir, tapi pikiran sudah tenang sekarang karena kondisi saya sudah aman dan bisa segera bertemu dengan keluarga,” kata Muflih Hariman, mahasiswa Indonesia di Sudan. Ia dihubungi di Jeddah, Arab Saudi pada Jumat (28/4/2023) pukul 23.00 waktu Indonesia Barat atau pukul 19.00 waktu Arab Saudi.
Muflih datang ke Khartum, Sudan pada tahun 2019 untuk berkuliah ilmu agama Islam di Universitas Internasional Afrika. Menurut dia, mayoritas mahasiswa di perguruan tinggi ini berasal dari luar Sudan sehingga pada umumnya mereka awam terhadap dinamika politik di negara tersebut.
Baca juga: Penjara Dibobol, Tahanan di Sudan Bebas Berkeliaran
“Waktu tahun 2019 itu, baru ada kudeta Presiden Sudan (Omar Bashir). Tetapi, semua aman-aman saja. Memang, sesekali ada demo mahasiswa. Ini enggak beda dengan demo mahasiswa di Indonesia,” kata Muflih.
Ia beserta tujuh mahasiswa Indonesia mengekos di dekat sebuah masjid yang berjarak 20 menit naik bus dari kampus. Selama empat tahun tinggal di Khartum, pengalaman hidup mereka relatif tenang. Bahkan, hingga hari Sabtu (16/4/2023) subuh, situasi di Khartum masih seperti biasa. Warga menunaikan ibadah salat tarawih menyambut akhir bulan Ramadhan dan pasar masih buka.
Muflih dan kawan-kawan dari Jumat (15/4/2023) malam hingga Sabtu Subuh berada di masjid untuk beribadah menyambut Hari Raya Idul Fitri yang akan datang kurang dari sepekan. Setelah selesai salat subuh, baru mereka pulang ke kos untuk beristirahat.
“Sekitar jam 09.00 saya terbangun karena ada suara letusan seperti petasan, tapi suara petasan ini beruntun. Setelah itu, ada suara ledakan beberapa kali,” ujarnya.
Baca juga: Indonesia Sambut Warga Yang Mengungsi Dari Sudan
Menurut dia, suara ini terdengar dekat dari kos mereka. Kos ini berada di dalam kawasan permukiman, sekitar tiga menit berjalan kaki dari jalan raya yang oleh Muflih diduga sebagai asal suara letusan tersebut. Ia dan teman-teman satu kos langsung mencari informasi di internet. Ternyata, di media-media daring Sudan ramai diberitakan pecah konflik bersenjata antara militer Sudan dengan Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
“Benar-benar enggak ada tanda-tanda. Enggak ada ketegangan, tahu-tahu pagi itu di sekitar kos ribut dengan suara tembakan,” ujarnya.
Ia dan teman-teman selama satu hari penuh tidak berani keluar dari kos. Ketika itu, mereka mengira keributan ini sama seperti keributan unjuk rasa di Indonesia yang bisa dipadamkan setelah beberapa jam dan aparat keamanan menangkap para pelaku kerusuhan. Ternyata, sampai keesokan hari, suara pertempuran itu tidak selesai. Muflih mengatakan, tiga hari pertama itu ia dirundung perasaan takut.
Baca juga: Di Sudan, Muflih Masih Meninggalkan Harapan
Di hari keempat, beberapa mahasiswa Indonesia memberanikan diri keluar pagar kos untuk melihat keadaan di permukiman. Mereka menemukan suasana sepi dan warung-warung tutup. Walhasil, mereka harus bertahan dengan persediaan yang ada di dapur kos. Untung masih ada beras, telur, dan daging ayam.
Selama bertahan di kos itu, mereka terus berkomunikasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Khartum dan perkumpulan mahasiswa Indonesia. Ada arahan untuk evakuasi ke rumah aman yang disediakan oleh KBRI. Permasalahannya, kos Muflih berada di zona merah, yaitu salah satu titik konflik. Mereka tidak bisa keluar dan tim KBRI tidak bisa masuk ke daerah itu untuk menjemput mereka.
Akhirnya, satu hari menjelang Lebaran, kedelapan mahasiswa itu memberanikan diri untuk keluar. Sesuai dengan arahan KBRI, setiap orang hanya boleh membawa satu tas ransel berisi paspor, dompet, telepon genggam, barang-barang berharga, dan pakaian seadanya. Mereka memutuskan berjalan kaki ke rumah aman.Berbekal aplikasi peta di telepon, mereka mencari jalan-jalan permukiman dan jalan tikus. Tujuannya ialah menghindari jalan raya yang menjadi lokasi konflik.
“Waktu meninggalkan kos deg-degan sekali. Ternyata, setelah jalan enggak jauh, warga lokal sudah berkegiatan seperti biasa lagi di permukiman yang jauh dari jalan raya. Memang, orang Sudan itu santuy banget,” kata Muflih sambil terkekeh mengenang kejadian itu.
Baca juga: Prahara Sudan
Suasana warga berbelanja ke warung dan lansia masih nongkrong sambil mengobrol dengan sesama di depan rumah ini membantu emosi Muflih dan kawan-kawan. Mereka tidak tegang lagi dan bisa berjalan dengan tenang, walaupun tetap berhati-hati. Setelah satu jam, mereka pun tiba di rumah aman.
Mereka menginap di rumah aman hingga tanggal 24 April ketika semua WNI di sana diangkut oleh KBRI menuju Port Sudan, kota pelabuhan berjarak 800 kilometer dari Khartum. Mereka menaiki bus dan menyaksikan Khartum maupun daerah-daerah lain yang mereka lewati menjadi kota mati. Padahal, biasanya, hingga malam hari pun kota itu selalu ramai oleh pedagang kaki lima dan warga yang menikmati suasana di bantaran Sungai Nil.
“Selama lebih dari 12 jam perjalanan itu suasana di dalam bus sunyi senyap. Saya sendiri bingung mikirin nasib teman-teman kuliah sama dosen. Terakhir dapat kabar di kampus waktu mereka mengirim pesan supaya mahasiswa mengamankan diri. Urusan kuliah nanti diurus kampus kalau suasana sudah tenang,” kata Muflih.
Ia menginap semalam di Port Sudan dan setelah itu diberangkatkan ke Jeddah dengan menaiki pesawat milik TNI. Pada hari Sabtu (29/4/2023), Muflih kembali ke Tanah Air. Akan tetapi, ia tidak bisa langsung menuju kampung halaman di Sulawesi Selatan. Muflih harus dipantau dulu di Jakarta untuk beberapa hari.
Baca juga: Meniti Ilmu Hingga ke Negeri Syekh Surkati
Krisis politik
Duta Besar Indonesia untuk Sudan Sunarko masih berada di Port Sudan untuk mengawasi keberangkatan WNI. Ketika ditelepon pada Jumat sore dari Jakarta, ia mengungkapkan bahwa masih ada sekitar 20 WNI yang masih tinggal di Port Sudan. Mereka adalah satu WNI yang baru menjalani operasi akibat kecelakaan tunggal bus yang ditumpanginya dalam proses evakuasi dan beberapa keluarga pernikahan campur antara WNI dengan warga Sudan. Pastinya, di Khartum maupun kota-kota lain sudah tidak ada WNI.
Sunarko yang bertugas sejak tahun 2022 menjelaskan, KBRI Khartum telah melaporkan kepada Kementerian Luar Negeri sejak tanggal 16 April bahwa status di Sudan adalah Siaga 1, yaitu harus dilakukan upaya pengungsian sesegera mungkin. “Memang Sudan selama ini aman dan tenang, tapi dari konteks diplomatik, krisis politik ini telah menjadi krisis keamanan serius karena konflik bersenjata pecah di tengah–tengah ibu kota negara yang menyasar obyek-obyek vital dan di hari pertama sudah melibatkan serangan udara,” ujarnya.
Pandangan serupa ternyata juga dimiliki oleh kedutaan-kedutaan besar negara lain. Melalui grup komunikasi diplomat, analisis mereka menyimpulkan bahwa konflik ini tidak akan selesai dalam waktu cepat dan terlalu berisiko membiarkan warga mereka tetap berada di Sudan. Pasukan RSF guna menghindari serangan militer, terutama serangan udara, kerap masuk ke wilayah permukiman. Mereka bersembunyi di gang-gang atau di belakang rumah warga. Para diplomat membaca situasi ini bisa bereskalasi dengan membawa pertempuran masuk ke daerah hunian.
Baca juga: Sudan, Merana Sejak Merdeka
KBRI Khartum dan Jakarta menyusun rencana evakuasi. Sementara itu dilakukan, tim KBRI mendatangi pusat-pusat berkumpulnya WNI untuk memberi bahan pangan. Itu dilakukan dengan diam-diam dan di tengah malam ketika pertempuran sudah reda. Walaupun begitu, risiko tetap ada karena salah satu mobil tim KBRI tertembak peluru nyasar. Bahkan, kantor KBRI dan Wisma Duta yang merupakan tempat tinggal resmi Sunarko juga terkena.
Jakarta meminta melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa agar dilakukan gencatan senjata kedua demi jalur kemanusiaan. Gencatan senjata pertama pada 16 April gagal karena militer maupun RSF tetap berseteru. Amerika Serikat dan Arab Saudi akhirnya berhasil membujuk militer dan RSF melakukan gencatan senjata selama tiga hari yang langsung dimanfaatkan semua kedutaan besar untuk mengevakuasi warga mereka.
“Kami kesulitan mencari bus dan bahan bakar karena semua negara dan lembaga internasional melakukan evakuasi serentak. Akhirnya, dapat sembilan unit bus,” kata Sunarko.
Perjalanan ke Port Sudan memakan waktu 15 jam karena mereka harus melewati 15 titik pemeriksaan. Ada titik yang dibuat oleh militer dan ada yang dari RSF. Sunarko mengenali dari perbedaan seragam yang digunakan oleh para tentara di setiap titik itu.
“Sejak awal, KBRI meminta WNI mengenakan atribut Nusantara seperti baju batik, peci, dan bendera Indonesia. Setiap kali harus berhenti di checkpoint, mereka kami minta bersikap tenang. Di depan bus juga dipasangi bendera Merah Putih. Syukur semuanya berjalan lancar, meskipun ada satu bus terkena kecelakaan tunggal gara-gara kondisi jalanan buruk,” ucapnya.
Baca juga: Gencatan Senjata Sudan Diperpanjang 72 Jam
Sekarang, menurut Sunarko, kurang dari 20 WNI yang tinggal di Port Sudan. Semua diusahakan dibawa ke Jeddah secepatnya. Sunarko dan staf KBRI sendiri tetap tinggal di Port Sudan. Mereka berencana kembali ke Khartum apabila suasana sudah memungkinkan guna menindaklanjuti diplomasi Sudan-Indonesia.
---------
KOREKSI:
Ada pembetulan pada teks foto paling atas dalam artikel ini. Sebelumnya tertulis: "Para mahasiswa Indonesia di Sudan bisa bersantai sejenak di kota Khartum, Rabu (26/4/2023) sebelum berangkat mengungsi ke Port Sudan yang berjarak 800 kilometer atau 15 jam perjalanan darat." Muflih Hariman, pembuat foto, mengoreksi bahwa lokasi pengambilan foto adalah di Sawakin, sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan dari Port Sudan, bukan di kota Khartum. Pembetulan ini dilakukan pada Senin, 1 Mei 2023, pukul 06.15 WIB. Terima kasih - Editor