Memahami Aspirasi China dalam Perjalanan Menuju ”Zhongguo Meng”
China negara yang sangat yakin dengan langkahnya. Di luar China, ”Hampir tidak ada negara kuat yang mampu menyusun tujuan ambisius itu,” seperti dituliskan ”The Global Times”.
Nasionalisme akut merupakan salah satu karakter kuat di China. Kegelisahan dan ambisi tokoh-tokohnya tentang kenegaraan tidak pernah mereda. Dialektika tentang kenegaraan berlanjut, kadang menorehkan benturan besar secara internal. Komunisme menjadi hasil dialektika yang memanggungkan sosok Chen Duxiu hingga Mao Zedong, lewat berdirinya negara komunis China pada 1949.
Sejak 1921, para tokoh dengan dominasi komunisme sekaligus menggusur pemerintahan semikolonialisme dan feodalisme. Pasalnya, para tokoh nasionalis kecewa dengan sejarah dipermalukan oleh asing lewat kolonialisme dan gelisah dengan para ningrat korup yang tak berdaya menghadapi kolonialis.
Namun, Mao juga pernah ”sangat silap” dengan lompatan besarnya, great leap forward. China kehilangan energi penting satu dekade akibat Revolusi Kebudayaan. Akademisi dikirim ke desa untuk bertani dan memiskinkan negara secara ekonomi.
Deng Xiaoping muncul sepeninggal Mao. Deng sangat sabar dan taktis menanti akhir era Mao demi mencegah konflik besar. Barulah pada 1978, disertai dukungan Amerika Serikat berkat visi menteri luar negerinya kala itu, Henry Kissinger, China menjalankan reformasi ekonomi. Hasilnya, satu negara besar tetapi miskin dan sangat terbelakang telah meraih status xiaokang, merujuk pada kemakmuran moderat dalam banyak hal pada 2021.
Long march baru untuk seabad ke depan sedang dimulai.
Setelah seabad perjalanan China, sejak 1921, dunia menyaksikan kemakmuran bersejarah tanpa preseden. Namun, saat menuju xiaokang, dialektika berlangsung hingga Presiden saat ini, Xi Jinping. Di bawah Deng, China tidak hirau dengan kapitalisme, entah itu bagai kucing putih atau hitam, hal terpenting bisa menangkap tikus.
Ada sedikitnya pengumbaran nilai-nilai Barat yang mengancam fondasi nasionalisme, sosialis komunis. China menyaksikan individualisme, ketamakan, korupsi, termasuk oleh princeling yang mengancam fabrikasi sosial. Keadaan ini membuat Wang Huning, seorang akademisi brilian, menjadi teknokrat dari era Presiden Jiang Zemin, Hu Jintao, hingga Xi. Wang salah satu penegak nilai sosialisme China dengan fokus pada kediktatoran pemerintahan, demi menjamin kemakmuran bersama. Individualisme yang nihilisme dikikis.
Mantap dengan nilai itu, sejak 2022, Xi memulai long march menuju Zhongguo meng, impian China. ”Long march baru untuk seabad ke depan sedang dimulai,” demikian harian The Global Times, 15 Oktober 2022, lewat artikel berjudul ”New march begins-How will CPC lead China to next centenary goal?”.
Xi membuka jalan China menuju kemakmuran, kemajuan, kehebatan lebih besar dari xiaokang. Misi Zhongguo meng akan membuat China menjadi negara sosialis, ”demokratis”, maju secara budaya, harmonis dan menjalani hidup indah.
Baca juga: Perombakan Besar Pemerintahan China
Faktor internasional mengkristal
Dengan Zhongguo meng, Presiden Xi meminta warga berkeringat. Bagian long march terpenting adalah fase awalnya menuju 100 tahun Komunis China pada 2049. Dalam long march ini, China tidak lagi memikirkan sisi domestiknya semata.
China berpikir tentang reformasi tatanan internasional. Seabad pertama yang lalu, China melebur dengan tatanan dunia yang ada, kata Wang Yiwei, Direktur Institute of International Affairs di Renmin University. ”Khususnya sejak akhir Perang Dingin (1991), dunia pada umumnya stabil. Kekuatan utama dunia masih mampu meraih konsensus tentang pembangunan dan keamanan global,” kata Wang.
Dalam pandangan China, situasi internasional seperti itu tidak muncul sekarang ini. China melihat tatanan dunia yang ada semakin tidak kondusif untuk Zhongguo meng. ”Situasi telah berubah. Globalisasi dengan dominasi Barat memiliki banyak masalah dan potensi risiko meningkat,” kata Wang Yiwei.
China mulai semakin berani unjuk gigi. Kemiskinan di China telah terkikis, menaikkan rasa percaya diri. Lebih jauh, China melihat kemakmurannya juga sangat bergantung pada relasi internasional sehubungan dengan perekonomiannya yang sudah lama terbuka. Keterbukaan ini makin besar lagi.
China tidak lagi semata-mata mendambakan masuknya investasi asing, tetapi ingin berinvestasi keluar. Dengan demikian, aliran barang dan jasa, khususnya minyak, harus leluasa masuk ke China.
Baca juga: Cerdik Memanfaatkan China
Argumentasi solidaritas
China juga ingin memakmurkan negara-negara yang termarginalkan dalam tatanan dunia lama seperti Asia tengah, Asia Selatan, Afrika dan Amerika Latin, serta Eropa Timur. Sebagai negara yang pernah mengalami marginalisasi, China merasa terpanggil untuk mendukung yang lemah.
”Dunia mengharapkan China, sebuah kekuatan yang bertanggung jawab dengan kekuatan bijaksana, memberi solusi bagi dunia yang sedang bermasalah,” kata Zhang Shuhua, Direktur The Institute of Political Sciences, Chinese Academy of Social Sciences.
Namun, China tidak pernah mau terjadi decoupling dengan Barat. China sekaligus merasa, dunia sedang membutuhkannya. Kembali lagi, bagi China, tatanan dunia juga tidak kondusif bagi non-China. Uni Eropa, misalnya, telah menderita akibat sanksi yang dimotori AS terhadap Rusia, yang menyebabkan kenaikan harga pangan dan energi. Sanksi unilateral AS menyebabkan kerusakan terhadap sistem perdagangan internasional.
Kerja sama di antara negara maju gagal memunculkan terobosan. Konfrontasi antarblok mengemuka, mentalitas zero-sum semakin menjadi-jadi dan mengganggu relasi internasional dan terbawa ke arah yang lebih akut.
Sanksi unilateral AS telah menyasar 20 negara dan kawasan, menyasar pemerintahan, individu, lembaga nonpemerintahan, perusahaan, universitas. AS dan Barat meluncurkan langkah unilateral yang akut. Ini menjadi tantangan serius pada solidaritas, universalisme, pembangunan, dan perlindungan hak asasi.
Dunia mengharapkan China, sebuah kekuatan yang bertanggung jawab dengan kekuatan bijaksana, memberi solusi bagi dunia yang sedang bermasalah.
Untuk dirinya sendiri, China merinci berbagai tekanan AS mulai dari perang dagang sejak era Presiden Donald Trump. Kemudian muncul sanksi AS pada perusahaan teknologi informasi asal China hingga penghentian ekspor cip AS ke China. Untuk misi itu, Presiden Joe Biden mengajak sekutunya memblokade China.
AS mengulangi provokasi dan tantangan terhadap kedaulatan China termasuk isu Taiwan, Xinjiang, Hong Kong. Ini membahayakan perdamaian dan stabilitas di Asia Pasifik. Shen Yi, profesor di School of International Relations and Public Affairs, Fudan University, berkata bahwa AS dan sejumlah aliansi Barat yang masih mendominasi sistem internasional telah meluncurkan penekanan menyeluruh terhadap China. ”Ini risiko terbesar dan tantangan yang sedang kita hadapi,” keta Shen.
Xi melihat, tantangan eksternal terbesar China terjadi karena hegemoni dan politik kekuasaan. Hegemoni AS dan aksi unilateralnya tidak hanya mengancam China, tetapi juga dunia.
Baca juga: Antara China dan AS
Cara mengatasi tantangan
Sebenarnya, tatanan dunia dengan hegemoni AS tidak berubah. Hal yang berubah adalah perubahan sikap dan pandangan China. Negara ini tidak lagi memegang prinsip yang pernah didengungkan Deng pada 1980 soal diplomasi, ”tao guang yang hui”. Tetaplah merunduk.
Kini China tidak lagi mau merunduk. Perubahan ini memiliki landasan teoretis kuat dan kerap disampaikan pakar geopolitik dari University of Chicago, John Merasheimer. Karakter negara bisa berubah jika ekonomi menguat dan akan menantang kekuatan lama.
Namun, bisa dikatakan pula tantangan China pada kekuatan lama akan sarat dengan perhitungan. Dalam tulisan almarhum mantan Ketua Penasihat Keamanan Nasional AS, Zbigniew Brzezinski, ”Make Money, Not War” pada 2009 di situs Foreign Policy, disebutkan bahwa China meminta pendapat pakar Barat tentang sejarah kekuatan global sejak era 1500. Pakar diminta menjelaskan ”mengapa negara kuat bangkit dan mengapa jatuh”.
Menurut Brzezinski, sikap ini menarik karena datang dari sebuah negara besar dan kompleks. Kesimpulan para pakar itu adalah hukum besi dari teori politik dan sejarah menunjukkan ledakan dan kadang konflik tak terhindarkan. Namun, tentang China, Brzezinski mengantisipasi segala hal terkait kekuatannya akan ditangani secara saksama.
Dari sisi ini muncul kelegaaan. Negara-negara yang sedang ketakutan dengan perseteruan AS-China, bisa terelakkan dalam posisinya sebagai para pelanduk.
Baca juga: Kepercayaan Diri China
Penuh keyakinan
Lepas dari itu, China tetap harus memastikan kelancaran Zhongguo meng. ”Kini saatnya China mengaktifkan arah reformasi dan perbaikan globalisasi,” kata Wang Yiwei.
Untuk itu, China terlihat menyusun langkah saksama. Di dalam negeri, China memperkuat diri agar terus tumbuh. ”Jika terus tumbuh dan berkembang, perbandingan kekuatan internasional pasti akan berubah,” kata Shen Yi.
Untuk bidang sains dan teknologi, China harus mengatasi kelemahan dan memanfaatkan keuntungan dengan mengatasi sanksi AS dalam bidang teknologi pada area tertentu, kata Shen. China telah mencanangkan periode 2020 hingga 2035, ekonomi dan kekuatan teknologi akan meningkat pesat, menjadikan China sebagai pemimpin dalam inovasi global.
Untuk menghadapi pembendungan oleh AS, China harus menemukan solusi lebih efektif. Reunifikasi nasional, termasuk tentang Taiwan, walau jadwalnya belum jelas, Chen mengatakan hal itu tetap dilakukan.
Untuk mencapai misi itu, Partai Komunis dan negara membutuhkan kekuatan militer modern, kuat, dan loyal. Kekuatan ini akan memiliki kemampuan perang yang tidak diragukan, serta mampu mencegah, mengalahkan musuh dan ancaman luar, sekaligus mengamankan kedaulatan dan integritas teritorial. Dengan kata lain, kekuatan ini menjadi dukungan strategis untuk rejuvenasi.
Untuk relasi internasional, Zhang Shuhua menambahkan, ”China tidak akan mendominasi tatanan dunia seperti layaknya sebuah kekuatan hegemoni, tetapi dapat berkontribusi untuk menstabilkan kekacauan dan turbulensi global karena China sedang mendekati pusat arena internasional.”
Untuk tujuan itu, kata Wang, China membutuhkan tidak saja model pembangunan baru, tetapi juga model yang didorong inovasi dan visi global lebih luas. ”Reformasi China akan mendorong reformasi dunia. Pembangunan berkualitas tinggi China akan mendorong pembangunan kualitas di sepanjang rute Sabuk dan Jalan (Belt and Road), dan juga akan mengarah pada penciptaan aturan baru demi masa depan globalisasi dan integrasi kawasan.
Ini tantangan yang dihadapi China sekaligus menjadi sebuah misi yang harus diraih dalam tahap berikutnya. ”Dunia memerlukan sistem distribusi yang lebih maju, lebih adil, dan lebih tepat,” kata Shen.
Baca juga: China Pamer Kekuatan Militer
Pemerintahan yang kuat
China negara yang sangat yakin dengan langkahnya. Di luar China, ”Hampir tidak ada negara kuat yang mampu menyusun tujuan ambisius itu,” seperti dituliskan The Global Times.
Mengapa begitu yakin? Ada alasan mendasar, yakni pemerintahannya yang kuat dengan pemimpin yang juga kuat. ”Inilah yang juga menjadi alasan mengapa China meraih tujuan luar biasa dalam sepuluh tahun terakhir dan juga satu abad silam,” lanjut The Global Times.
Kekuatan negara dan kepemimpinan membuat China mampu melakukan long march pada dekade 1930-an serta meraih kemenangan atas agresi AS dan Perang Korea pada dekade 1950-an. Kekuatan pemimpin juga membuat China berani terbuka secara ekonomi pada 1978.
Baca juga: Dinamika Pandemi China
Pemimpin kuat seperti Mao Zedong dan Deng Xiaoping menjamin kemenangan Komunis. Tradisi kekuatan itu tertularkan sampai sekarang. Kekuatan itu juga yang membuat China mampu melewati pandemi Covid-19.
Kekuatan itu, lanjut The Global Times, mampu membuat China melewati perang dagang AS sejak 2018, menekan provokasi AS di Laut China Selatan dan isu Taiwan. Kekuatan itu juga membuat China mampu memulihkan stabilitas Hong Kong pada 2019.
Terlihat, China melewati berbagai tantangan dengan kekuatan yang sejauh ini tidak menyebabkan perang besar. Ada optimisme. Kekuatannya membuat AS juga tidak bisa semena-mena memperlakukan China sebagaimana telah dilakukan ke Irak, sebagai contoh. (REUTERS/AP/AFP)