Berbagai Kiat China Memikat Warganya agar Mau Berkeluarga
Selain berbagai kebijakan berbasis tunjangan, juga harus ada pembenahan dalam hal-hal substantif, seperti pembagian tanggung jawab yang adil jender. Ini yang dilakukan Pemerintah China agar warganya mau berkeluarga.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Menghadapi persoalan penurunan jumlah penduduk, Pemerintah China berusaha menempuh berbagai cara agar rakyat mereka tetap mau berkeluarga dan memiliki anak. Setelah mengeluarkan berbagai kebijakan yang lebih condong kepada pembiayaan, muncul wacana yang lebih substantif untuk meningkatkan mutu kehidupan rakyat sehingga mereka mau berkeluarga.
Hal itu mengemuka di laporan surat kabar nasional, People’s Daily, Selasa (16/5/2023). Intinya, pemerintah hendaknya meningkatkan ragam dan mutu pendidikan di sektor sains, teknologi, keinsinyuran, seni, dan matematika guna menghasilkan generasi yang bermutu.
Konteks mutu ini ialah semakin berpendidikan masyarakat, semakin maju dan modern pandangan mereka dalam mengembangkan konsep keluarga yang bermutu. Hal ini dijelaskan oleh Wang Peian, Ketua Program Keluarga Berencana China, kepada surat kabar Economic Daily.
”Pernikahan dalam konteks modern ini ialah keluarga dengan ikatan emosi dan komunikasi yang baik. Masyarakat memerlukan arahan karena memang ada banyak aspek tradisional yang harus diterobos akibat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat modern,” tutur Wang.
Wang mencontohkan nilai-nilai yang harus ditinjau ulang ialah mengenai pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Budaya tradisional China membebankan pengasuhan anak sepenuhnya kepada perempuan. Akibatnya, setinggi apa pun pendidikan perempuan, ketika menikah dan memiliki anak, ia harus berhenti berkarier demi menjadi ibu rumah tangga. Peran suami pun terbatas menjadi pencari nafkah yang kerap bekerja hingga larut malam demi memenuhi kebutuhan materiil keluarga.
”Keluarga modern sejatinya menerapkan pembagian tanggung jawab yang adil. Anak adalah tanggung jawab ayah dan ibu sehingga harus ada perumusan ulang mengenai peran kedua orangtua agar tidak berat pada satu sisi saja. Aktualisasi diri kedua orangtua juga harus dijamin,” tutur Wang.
Proyek yang dirintis oleh Program Keluarga Berencana ini diuji coba di 20 kota, antara lain Beijing, Guangzhou, Shenzhen, dan Shanghai. Ini adalah kota-kota besar yang untuk pertama kalinya mengalami penurunan populasi. Beberapa aspek yang disasar oleh proyek ini adalah penerapan jam kerja yang lentur bagi laki-laki dan perempuan sehingga ayah dan ibu bisa bahu-membahu mengasuh anak.
Guna mendukung hal tersebut, China akan menambah jumlah layanan tempat penitipan anak. Stasiun televisi nasional CCTV melaporkan, pada 2022 jumlah penitipan anak adalah 2,5 per 1.000 penduduk. Pada 2025, direncanakan bertambah menjadi 4,5 penitipan anak per 1.000 penduduk. Harapannya, orangtua yang bekerja bisa mencari nafkah dengan lega. Pada saat yang sama, ini juga membuka lapangan pekerjaan bagi para pengasuh anak.
Ringankan mahar
Dari segi tradisi, proyek tersebut juga ingin merombak pemikiran masyarakat China bahwa mahar yang harus dibayar oleh keluarga calon mempelai laki-laki harus mahal. Rata-rata mahar yang harus dibayar oleh laki-laki adalah 20.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 296,5 juta. Ini merupakan simbol bahwa suami mampu menafkahi istri.
”Konsekuensinya justru banyak keluarga jatuh miskin gara-gara harus membayar mahar demi pernikahan putra mereka,” kata sosiolog Universitas China Hong Kong, Tong Yuying, kepada surat kabar New York Times.
Tong menjelaskan, dampak negatif mahar mahal ini ialah apabila ada perempuan yang mas kawinnya di bawah rata-rata, masyarakat akan bergunjing bahwa perempuan itu tidak beres dan ini memengaruhi dinamika keluarga tersebut. Terdapat pula kasus kekerasan domestik dan rumah tangga dari keluarga laki-laki terhadap istri dengan alasan mereka telah membayar mahar yang mahal. Ada juga kasus ketika calon istri meminta mahar yang sangat tinggi dengan alasan bahwa perempuan terpaksa menjadi perawat keluarga satu-satunya, mulai untuk anak hingga anggota keluarga lansia.
”Intinya, sistem mahar ini merugikan perempuan dan secara lebih lanjut merugikan keluarga. Satu-satunya cara bagi pemerintah untuk menghapus sistem ini tidak dengan propaganda, tetapi memberi berbagai tempat layanan yang bisa meringankan beban pengasuhan keluarga,” kata Tong.
Kebijakan lain yang akhirnya diresmikan oleh Pemerintah China ialah mengizinkan perempuan lajang untuk hamil dan memiliki anak melalui program bayi tabung. Akan tetapi, para perempuan yang tertarik pada program ini tetap sangsi. Salah satunya ialah Theresa Xu (35). Ia mengaku ingin memiliki anak dan tidak keberatan menjadi orangtua tunggal, tetapi masyarakat masih memberi stigma kepada orangtua tunggal sehingga ia meragukan bisa membina keluarga yang sehat dengan anaknya.
Peneliti di Pusat Kajian China dan Globalisasi, Huang Wenzheng, menulis di media daring NetEasy bahwa perubahan pola pikir masyarakat dan pemberian tunjangan keluarga harus berjalan berdampingan. Bagaimana pun, mengasuh keluarga membutuhkan biaya dan, jika ingin keluarga memiliki hubungan harmonis, tidak bisa dibebankan kepada satu sumber nafkah saja. Kota Hangzhou di Provinsi Zhejiang, misalnya, memberi tunjangan 20.000 yuan (sekitar Rp 42,5 juta) per bulan untuk keluarga dengan tiga anak dan 5.000 yuan (sekitar Rp 10,6 juta) untuk keluarga dengan dua anak. (REUTERS)