Dokter Lintas Batas: Dunia Belum Sukarela Berbagi
Bencana tidak kunjung usai, tetapi manusia kian enggan bekerja sama. Rasa kemanusiaan harus terus diutamakan.
Dokter Lintas Batas atau yang dalam bahasa Perancis disebut Medecins Sans Frontieres (MSF) adalah organisasi kemanusiaan yang bergerak di seluruh penjuru dunia. Lembaga pemenang Nobel Perdamaian 1999 ini memastikan adanya bantuan kesehatan di daerah-daerah yang tidak memperoleh keadilan dan kesetaraan dalam akses kesehatan.
MSF ada mulai di wilayah terdampak perang hingga daerah pelosok yang tidak diperhatikan pemerintah setempat. Di Indonesia, MSF hadir sejak tahun 1995, yaitu ketika terjadi bencana gempa bumi di Kerinci, Provinsi Jambi. MSF meninggalkan Indonesia pada 2009 setelah program bantuan tersebut berakhir, lalu kembali pada 2017 dan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan.
Baca juga: Dokter Lintas Batas Minta ASEAN Buka Jalur Kemanusiaan ke Myanmar
Delegasi MSF yang dipimpin Presiden Internasional MSF Christos Christou berkunjung ke Redaksi Kompas, Kamis (6/7/2023). Ia berkunjung ke Indonesia mengemban misi untuk mengajak semua pihak meningkatkan kesadaran diagnosis tuberkulosis, terutama untuk anak. Selain itu, MSF juga ingin berbicara kepada Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengenai akses layanan kesehatan di Myanmar ataupun kelompok etnis Rohingya.
Dokter bedah asal Yunani ini menerangkan berbagai kegiatan MSF yang tengah berjalan, sekaligus mengungkapkan bahwa terlepas berbagai permasalahan yang dilalui, termasuk pandemi Covid-19, dunia secara umum belum belajar untuk berbagi secara adil. ”Pandemi Covid-19 adalah pukulan telak bagi dunia karena setiap orang terdampak. Akan tetapi, segala omongan mengenai kemanusiaan dan bangkit bersama ini tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Negara-negara kaya masih menguasai vaksin, obat-obatan, dan teknologi diagnostik,” kata Christou.
Menurut dia, semestinya lahir kemitraan antara negara maju dan berkembang ataupun miskin. Ini kerja sama membangun kapasitas di semua negara di dunia dan berbagi ilmu untuk menangani pandemi saat ini sekaligus menyiapkan masyarakat menghadapi berbagai risiko pandemi di masa depan.
Christou menjelaskan, MSF terus menangani berbagai bantuan untuk masyarakat terdampak bencana alam ataupun bencana buatan manusia. Selain itu, juga ada berbagai wilayah yang dilanda kekurangan pangan serta gizi, minim layanan kesehatan, ataupun pendidikan kesehatan reproduksi, dan tengah membangun kesiapsiagaan bencana. Ada pula pemberian bantuan untuk para imigran yang jumlahnya kini semakin bertambah akibat situasi keamanan yang kian terkikis, baik di Asia, Amerika, Afrika, maupun Eropa.
Baca juga: Otoritas Nauru Desak MSF Hentikan Misi Mereka di Negara Itu
Perhatian dunia masih tersedot pada perang di Ukraina. ”Tanpa mengurangi pentingnya perhatian ke sana, MSF ingin mengingatkan bahwa terjadi pula krisis kemanusiaan di Afghanistan, Yaman, Republik Demokratik Kongo (RDK), dan Sudan Selatan. Butuh bantuan penduduk dunia untuk mengulurkan tangan dan membantu mereka,” ujarnya.
Dana untuk Yaman, RDK, dan Afghanistan ini menurun drastis. Bahkan, banyak sekali lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang menarik diri dari negara-negara ini.
Ia menerangkan, MSF tidak menerima bantuan dari pemerintah mana pun. Alasannya, prinsip keterbukaan dan penegakan hak asasi manusia. Organisasi ini tidak bisa mengambil risiko apabila hibah dari pemerintah tertentu ternyata berasal dari dana yang bermasalah. Oleh sebab itu, MSF bergantung pada sumbangan masyarakat. Sejauh ini, ada 7 juta individu ataupun lembaga yang menjadi penderma.
Meski demikian, MSF menerima sumbangan dari Pemerintah Swiss, Kanada, dan Jepang karena mereka relatif memiliki tata kelola pemerintahan yang baik. Dana itu diterima dengan catatan pemerintah negara penyumbang tidak boleh menentukan ataupun campur tangan dalam penggunaannya oleh MSF. ”Dana untuk Yaman, RDK, dan Afghanistan ini menurun drastis. Bahkan, banyak sekali lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang menarik diri dari negara-negara ini,” kata Christou.
LSM yang tinggal kekurangan dana sehingga tidak bisa memberi pelayanan yang optimal. Di Yaman, misalnya, setelah gencatan senjata 2022, berbagai sarana dan prasarana tidak kunjung diperbaiki. Jarang ditemukan sarana mandi, cuci, dan kakus yang berfungsi.
Baca juga: Perjuangan Ibu-ibu Afghanistan untuk Melahirkan di ”Pabrik Bayi” Area Taliban
Nyaris tidak ada layanan kesehatan dasar dan ini sangat merugikan para perempuan hamil. Anak-anak menghadapi risiko kematian menghadapi penyakit campak dan diare. Padahal, ini penyakit-penyakit yang sudah memiliki obat.
Lebih dari 100 juta warga dunia telah kehilangan tempat tinggal gara-gara konflik, gagal panen akibat krisis iklim, atau terimbas kedua persoalan itu sekaligus. Apabila konflik selesai, masalah kemanusiaan belum usai karena butuh bertahun-tahun bagi suatu wilayah untuk pulih dan bangkit.
Di Afghanistan, komunitas internasional banyak yang angkat kaki karena diusir oleh Taliban selaku penguasa de facto. MSF merupakan satu dari segelintir lembaga yang diizinkan tinggal. Mereka kadang-kadang bertindak sebagai penghubung antara Taliban dan komunitas internasional. Serupa di Myanmar yang mengalami krisis keamanan. MSF, tanpa terlibat di dalam politik, menjadi penghubung antara junta militer dan komunitas internasional.
”Ada pola para penderma semakin memilih menyumbang untuk konflik-konflik terkini dan menghebohkan dunia, yang membuat penderma ini ikut terkenal. Makanya, negara-negara yang telah lama dilanda masalah kemiskinan dan krisis dianggap kurang mengangkat pamor,” kata Christou.
Baca juga: Tingkatkan Akses Diagnosis Tuberkulosis pada Anak
Memburuk
Christou mengatakan, situasi perang kini semakin memburuk. Negara-negara seolah tidak ingat lagi akan Konvensi Geneva yang mengatur tata laksana peperangan, antara lain tidak boleh menyerang permukiman sipil, fasilitas kesehatan, dan sekolah. Sekarang, justru titik-titik itu menjadi sasaran penyerangan yang terencana dan disengaja. Ini dilihat dari pola yang ditangkap oleh MSF di lapangan.
”Rumah sakit MSF di Khunduz, Afghanistan dibom oleh pasukan Amerika Serikat. Mereka mengakui itu kesalahan, tetapi menolak penyelidikan. Arab Saudi mengebom rumah sakit di Yaman dan Rusia menyerang rumah sakit di Ukraina,” ujarnya. Keamanan tenaga kesehatan tidak terjamin sehingga semakin sulit memberi layanan kepada warga yang sudah tertimpa musibah.
Ia menuturkan, ketika MSF didirikan 50 tahun lalu, persoalan penyaluran bantuan kemanusiaan adalah akses transportasi. Umumnya, pemerintah ataupun penguasa wilayah yang berkonflik sekalipun menyadari bahwa MSF meringankan beban mereka membantu warga yang tidak bisa mereka tangani karena ketiadaan biaya dan sarana.
Baca juga: MSF: Sebulan Sekitar 6.700 Warga Rohingya Dibunuh
Sekarang, semuanya dijadikan alat politik. Mulai dari penyerangan fasilitas kesehatan sampai tidak memberi akses. Di perbatasan AS, contohnya, MSF dilarang beroperasi karena dituduh memfasilitasi para migran yang ingin menyeberang ke Negara Paman Sam walau sudah dilarang. Ada pula negara yang melarang MSF masuk membantu kelompok tertentu dengan alasan antiterorisme.
”Pengalaman terburuk saya ataupun MSF adalah ketika tidak diizinkan membantu manusia yang membutuhkan. Sekarang, ini tidak lagi terjadi di medan perang, tetapi juga di wilayah-wilayah yang kekurangan penanganan medis. Saya tidak bisa menoleransi penghalangan membantu orang-orang yang sudah dalam kondisi memprihatinkan,” ucap Christou.
Harapan
Penghalangan itu, lanjut Christou, juga berupa kegagalan dunia membangun kerja sama kesehatan ketika menangani pandemi Covid-19. Padahal, dunia tidak boleh bergantung pada negara-negara maju dan industri farmasi raksasa. Harus ada kemitraan di kawasan yang dimulai dengan membangun hub diagnostik. Perusahaan ataupun lembaga penelitian harus didorong untuk berbagi ilmu, teknologi, dan informasi. Amerika Selatan dan Afrika sedang mengupayakan sistem ini.
Menurut dia, ini lebih masuk akal dibandingkan terjebak di dalam perdebatan penangguhan hak cipta vaksin (TRIPS waiver). Bekerja sama meningkatkan kapasitas adalah kunci dari kesiapan dunia menghadapi bencana medis mendatang. Di dalamnya mencakup mitigasi perubahan iklim karena ini faktor besar dalam penyebab penyakit, kemiskinan, konflik, dan migrasi manusia.
”Pengalaman terbaik saya adalah di situasi paling genting sekalipun masih banyak orang yang dengan senang hati bahu-membahu saling menolong. Manusia memang memiliki pengetahuan terbatas, tetapi kita berusaha saling membantu dengan segala keterbatasan masing-masing. Kemanusiaan itu nyata dan harus dikedepankan,” ujarnya.