Sashimi Ulat Sutera dan Kari Jangkrik Populer di Jepang
Belalang, ulat sutera, dan tawon lazim dimakan di daerah yang langka daging dan ikan. Saat Perang Dunia II, memakan serangga lumrah karena kekurangan pangan.
Oleh
LUKI AULIA
·3 menit baca
Tokyo
Sudah pernahkah Anda mencicipi jangkrik goreng, camilan khas Gunung Kidul, Yogyakarta? Atau iseng mengemil kalajengking, kecoak, belalang, dan ulat sutera yang serba digoreng di penjual makanan kaki lima di Bangkok, Thailand? Jika membayangkan makanan yang termasuk kuliner ekstrem ini saja sudah bikin Anda mual, apalagi makanan serba serangga di Jepang.
Ketika berlibur ke Tokyo, ibu kota Jepang, Takumi Yamamoto (26), memilih makan siang dengan menu khusus yang diidam-idamkannya, yakni kari jangkrik dan sashimi ulat sutera dengan sari kutu air. Pekerja kantoran dari Perfektur Hyogo itu tertarik pada entomophagy atau mengonsumsi serangga sebagai makanan. Ketika masih kecil, Yamamoto mengaku sering mengemil belalang yang diolesi kecap.
Begitu sampai di Tokyo, ia segera mendatangi kafe Take-Noko yang menyajikan masakan segala jenis serangga. “Menyenangkan bisa memilih banyak serangga dalam beragam variasi hidangan,” kata Yamamoto. Di kafe berlantai dua itu juga penuh dengan barang seni serangga serta terarium kumbang, semut, dan kecoak. “Semua makanan di sini lezat. Lebih enak lagi, sari kutu air yang menyegarkan. Rasanya seperti apel hijau,” ujarnya.
Entomophagy mulai dianggap serius di dunia setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikan serangga sebagai sumber protein berkelanjutan yang bisa memberi makan penduduk dunia yang diperkirakan akan membengkak menjadi 9,7 miliar pada tahun 2050. Dampak industri peternakan terhadap perubahan iklim, ditambah dengan masalah ketahanan pangan global akibat cuaca ekstrem dan konflik, juga meningkatkan minat terhadap nutrisi ekonomis berkualitas tinggi yang disediakan oleh serangga.
Sebagian orang menganggap memakan serangga itu menjijikkan, tetapi Jepang memiliki sejarah kuliner yang kaya dan panjang akan serangga sebagai makanan. Manajer kafe Take-Noko, Michiko Miura, menjelaskan, belalang, ulat sutera, dan tawon secara tradisional dimakan di daerah yang langka daging dan ikan. Memakan serangga juga sudah menjadi hal biasa ketika terjadi kekurangan pangan selama dan setelah Perang Dunia II. “Baru-baru ini ada kemajuan dalam beternak jangkrik dan ulat bambu untuk makanan. Jadi, serangga sebagai bahan makanan ini berkembang pesat,” ujarnya.
Ada sejumlah perusahaan, termasuk jenama roti nasional Pasco, yang sudah menjual kue buatan dan makanan ringan dari tepung jangkrik. Produsen makanan olahan Nichirei serta perusahaan telekomunikasi Nippon Telegraph dan Telepon telah berinvestasi dalam usaha serangga pada tahun lalu. Istilah "jangkrik" juga mulai menjadi tren di media Jepang baru-baru ini setelah ada laporan yang menyebutkan bubuk serangga digunakan untuk makan siang dan makanan ringan di sekolah.
Minat konsumen meluas ke kafe Take-Noko yang sering penuh dipesan pada akhir pekan. Menu masakan andalan yang juga menjadi favorit konsumen adalah kari jangkrik dengan taburan bakso dan pugasan kering. "Sashimi" yang lembut adalah selubung sisa ulat sutera dan kuah sarinya diresapi dengan ekstrak kutu air. Pada bagian atasnya ditaburi serangga utuh yang rasanya seperti udang.
Restoran ini adalah gagasan dari Takeo Saito yang mendirikan perusahaan Takeo Inc, sembilan tahun lalu. Usaha Takeo Saito kemudian dikembangkan ke bisnis makanan kemasan yang menawarkan 60 jenis makanan artropoda, mulai dari kalajengking hingga tarantula. “Kami ingin serangga bisa dinikmati di meja yang sama dengan sayuran dan lauk seperti ikan dan daging,” kata Saito. (REUTERS)