Blusukan di Pasifik, Macron Promosi Indo-Pasifik ala Perancis
Perancis menawarkan narasi Indo-Pasifik yang melawan neo-imperialisme AS dan China.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
PORT VILA, JUMAT — Presiden Perancis Emmanuel Macron berada di Port Vila, Vanuatu, sebagai bagian dari rangkaian safari diplomasi di wilayah Pasifik. Perancis menawarkan pandangan Indo-Pasifik mereka yang dikatakan melawan prinsip neo-imperialisme akibat persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan China.
”Neo-imperialisme ini sangat terasa di Oseania. Padahal, kawasan ini terdiri dari negara-negara kecil yang rentan. Oleh sebab itu, Perancis menawarkan strategi Indo-Pasifik yang berlandaskan kerja sama pertahanan antarnegara yang merdeka dan berdaulat,” kata Macron di Post Vila, Jumat (28/7/2023).
Macron adalah presiden Perancis pertama yang mengunjungi kawasan Pasifik setelah Charles de Gaulle (1959-1969). Di dalam pidatonya, Macron mengakui andil Perancis dalam sejarah kolonialisme di Pasifik.
Vanuatu merdeka pada 1980. Akan tetapi, Perancis masih memiliki 1,6 juta warga yang tersebar di protektorat mereka di Pasifik, antara lain di Caledonia Baru, Polinesia Perancis, dan Wallis, dan Futuna.
Fakta ini dimanfaatkan Macron di dalam turnya. Sebelum mengunjungi Vanuatu, ia berada di Caledonia Baru. Ketika tiba di Port Vila, Macron meminta agar rakyat Vanuatu tidak melihat dia sebagai orang asing, melainkan sebagai tetangga sebelah dari Noumea, ibu kota Caledonia Baru.
”Perancis tidak akan lupa sejarah kelam mengeksploitasi bangsa lain ini dan menjadi dasar membangun hubungan untuk sama-sama bangkit dari hal itu seperti Vanuatu juga bangkit melawan eksploitasi,” tuturnya.
Selama ini, hubungan Perancis dengan Pasifik Selatan relatif stabil. Akan tetapi, hal ini berubah dengan bergabungnya Australia bersama Aliansi Keamanan Australia-Inggris-AS alias AUKUS pada 2021. Apalagi, Australia membatalkan perjanjian membeli kapal selam dari Perancis demi membeli kapal selam bertenaga nuklir dari AS dan Inggris.
Pada Mei 2023, AS juga menandatangani perjanjian pertahanan dengan Papua Niugini. Isinya adalah Port Moresby memiliki akses pada satelit milik AS. Sebagai balasan, Washington bisa mengakses lapangan udara, pelabuhan, dan pangkalan militer Papua Niugini apabila diperlukan.
Menanggapi kejadian ini, Perancis semakin berusaha memperkuat kehadiran di Pasifik Selatan. Apalagi, China melalui Menteri Luar Negeri Wang Yi melakukan tur ke sepuluh negara di Pasifik. Sembilan negara menolak kerja sama pertahanan yang ditawarkan Beijing, kecuali Kepulauan Solomon.
Pakta itu bersifat rahasia dan banyak pihak mengkhawatirkan China akan membangun pangkalan militer di negara itu. Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare menampik tuduhan tersebut.
Macron bersama Presiden Vanuatu Nikenike Vurobaravu dan Perdana Menteri Vanuatu Ishmael Kalsakau memberikan pernyataan bersama bahwa kerja sama kedua negara ini fokus kepada hal-hal nyata, bukan persaingan geopolitik. Mereka mengupayakan penanganan krisis iklim dan pencegahan pemakaian senjata nuklir.
Kawasan Pasifik trauma dengan senjata nuklir karena sampai 1990-an, berbagai kepulauan di wilayah ini dipakai untuk percobaan senjata nuklir oleh negara-negara Barat, termasuk AS dan Perancis. Bahkan, sejumlah negara di Pasifik masih menyerukan ganti rugi atas kerusakan alam mereka akibat uji coba nuklir ini.
Masyarakat adat Vanuatu yang diwakili oleh Ketua Dewan Nasional Kepala Suku Malvatu Mauri, Jean Pierre Tom, mengatakan kepada media lokal Daily Post, Perancis harus menyelesaikan sengketa wilayah Vanuatu dengan Caledonia Baru dulu. Mereka memperebutkan Pulau Mathew dan Pulau Hunter.
”Masyarakat Vanuatu tidak berminat dengan Indo-Pasifik ini. Bagi kami, yang penting kedaulatan wilayah dulu bagi Vanuatu yang merdeka dengan Caledonia Baru yang bagian dari Perancis,” ujarnya. (AFP)