Papua Niugini di Tengah Tarikan Pengaruh AS-China di Pasifik Selatan
Pasifik Selatan terus menjadi wilayah strategis yang diperebutkan oleh negara-negara adidaya. Posisi negara-negara di kawasan itu, seperti Papua Niugini dan Kepulauan Solomon menjadi kian strategis.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Kawasan Pasifik Selatan semakin disorot di panggung geopolitik global. Tahun lalu, kehebohan ada di Kepulauan Solomon karena menandatangani perjanjian keamanan dan pertahanan dengan China. Kerja sama itu memunculkan kekhawatiran adanya pangkalan militer China di negara itu. Kini, giliran Papua Niugini menandatangani perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat yang memberi mereka akses ke berbagai pangkalan militer di tetangga timur Indonesia.
Perjanjian pertahanan dengan AS ini mengatakan bahwa AS bisa mengakses pangkalan udara maupun pelabuhan Papua Niugini jika dibutuhkan dan atas izin parlemen Papua Niugini. Sebagai balasan, Papua Niugini bisa mengakses satelit AS untuk memantau perairan mereka yang seluas 2,7 juta kilometer persegi.
Awal pekan ini, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan bahwa kerja sama itu juga mencakup: AS bisa secara rutin menurunkan kapal penjaga lepas pantai secara rutin di perairan Papua Niugini. Bahkan, atas nama Port Moresby, kapal-kapal AS itu bisa mencegat hingga menangkap awak kapal asing yang memasuki perairan Papua Niugini secara ilegal.
China menanggapinya dengan sinis. Kepada surat kabar terafiliasi pemerintah, Global Times edisi Kamis (27/7/2023), Ketua Asosiasi Kajian Australia di China Chen Hong mengatakan, AS menerapkan perilaku seperti mafia. “AS membagi-bagi kawasan Pasifik Selatan menjadi geng-geng kecil yang diturunkan sewaktu-waktu dibutuhkan. Papua Niugini menjadi pusat penyebaran pengaruh politik dan militer AS di kawasan itu,” katanya.
Menurut Chen, pendekatan yang dilakukan AS kepada negara-negara di Pasifik Selatan bukan seperti mitra, melainkan bagaikan bidak-bidak catur yang dimainkan di dalam persaingan geopolitik melawan China. Pada intinya, ia meragukan bahwa kerja sama pertahanan ini bisa memberi hasil yang produktif bagi kesejahteraan masyarakat di sana.
Melihat Papua Niugini, wajar jika banyak pihak skeptis apabila negara-negara adidaya ini memang benar-benar memprakatikkan kemitraan setara. Papua Niugini adalah negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam. Beberapa yang terkenal adalah gas alam dan beragam logam untuk membuat batere litium, termasuk nikel. Industri batere litium sangat penting mengingat peralihan dunia dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
Letaknya juga strategis karena bisa mengakses Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru. Papua Niugini adalah negara yang paling dekat dengan Guam, wilayah kekuasaan AS tempat pangkalan militer mereka berada.
Tur Pasifik
Sebelum Austin mengumumkan kerja sama kapal penjaga pantai, Presiden Perancis Emmanuel Macron melakukan lawatan ke Papua Niugini. Bahkan, bersama dengan Perdana Menteri James Marape ia meresmikan Puncak Emmanuel Jean-Michel Frederic Macron di Taman Nasional Varirata. Di dalam kunjungannya, Macron menawarkan kerja sama yang menurut dia jauh lebih relevan, yaitu penanganan krisis iklim karena negara-negara di Pasifik Selatan adalah yang pertama terdampak dengan pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut.
Macron melakukan blusukan di Pasifik Selatan, yaitu ke Caledonia Baru, Vanuatu, dan Pasifik Selatan. Ia mengatakan bahwa di kawasan itu sangat terasa aura neo-imperialisme, maksudnya menyitir persaingan AS dan China yang saling berebut pengaruh.
Negara-negara Pasifik Selatan memang banyak yang mengandalkan China sebagai asal investasi asing langsung. Tidak hanya dari Pemerintah China, investasi dari perusahaan-perusahaan swasta China juga jamak ditemukan. Pada saat yang sama, juga ada keluhan mengenai intrusi kapal-kapal asing─yang diduga dari China─melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Pasifik Selatan. Selama itu pula AS dan sekutunya di Barat tidak tampak peduli.
Keadaan berubah ketika Menteri Luar Negeri China Wang Yi melakukan tur ke sepuluh negara Pasifik Selatan tahun lalu yang berakhir dengan berbagai perjanjian kerja sama kelautan. Bahkan, Kepulauan Solomon mengambil langkah lebih jauh dengan mencanangkan pakta pertahanan dan keamanan. Baru Barat seperti kebakaran jenggot.
Australia adalah sekutu Barat yang pertama memulai tur Pasifik. Meskipun sama-sama anggota Forum Kepulauan Pasifik (PIF), di bawah pemerintahan Perdana Menteri Scott Morrison yang konservatif, Pasifik Selatan dianggap tidak lebih dari “pekarangan belakang”. Ketika Antony Albanese menjadi perdana menteri, ia mengutus Menlu Penny Wong untuk menegaskan kembali komitmen Australia kepada Pasifik Selatan.
AS mengikuti. Presiden Joe Biden semestinya berkunjung ke Papua Niugini bulan Juni, tetapi batal gara-gara harus mengurusi pagu utang pemerintah. Sebagai gantinya, Menlu Antony Blinken menggelar tur. AS pada Januari 2023 membuka kembali kedutaan besar di Honiara, ibu kota Kepulauan Solomon setelah ditutup sejak 1993. Mei lalu AS membuka kedutaan di Tonga. Rencananya, Vanuatu dan Kiribati menyusul.
Bagi negara-negara di Pasifik Selatan itu sendiri, perhatian kepada mereka membawa keuntungan. Ini membuka kesempatan untuk negara-negara kecil tersebut memulai kerja sama dengan negara-negara besar. Tajuk rencana surat kabar Papua Niugini Post Courier mengatakan bahwa bagi para politikus negara mereka, sorotan ini mengasyikkan karena bisa bertemu dengan politikus-politikus global, mulai dari Perdana Menteri India Narendra Modi hingga Presiden Indonesia Joko Widodo.
Di saat yang sama, muncul dugaan ada maksud terselubung yang ujung-ujungnya adalah jebakan utang, penguasaan aset negara, monopoli sumber daya alam, dan pengaruh politik di pemerintahan dalam negeri. “Di zaman internet yang serba cepat ini sebenarnya tidak ada lagi yang bisa dikatakan sebagai agenda rahasia. Asumsi-asumsi ini lebih baik diserahkan ke setiap individu, karena pada dasarnya, Papua Niugini bersahabat dengan semua dan tidak bermusuhan dengan siapa pun,” tulis tajuk itu.