Modal Vs Moral, Duel China-Rusia Melawan Barat di Wilayah Bekas Kolonial
China dan Rusia memakai bahasa modal. AS dan sekutunya sibuk berceramah soal nilai dan moral. Pertarungan mereka bisa dilihat dalam panggung global, terutama di negara-negara bekas kolonial.
Perang Dingin tidak pernah benar-benar selesai dan malah beradaptasi di masa kini. Negara-negara yang disebut sebagai dunia ketiga menjadi ladang pertarungannya. Perebutan pengaruh berlangsung sengit dan memicu kekhawatiran pada pecahnya perang terbuka.
Laporan Asia Society pada 1 Agustus 2023 merupakan salah satu dokumen terbaru yang merekam kesengitan persaingan tersebut. Lembaga nirlaba yang berpusat di Amerika Serikat itu memaparkan sejumlah kesalahan strategi diplomasi AS di Asia Tenggara. Mereka juga merekomendasikan solusi atas kesalahan-kesalahan Washington.
Asia Society sepakat, Asia Tenggara adalah faktor penting dalam persaingan geopolitik antara AS dan China. Walakin, lembaga itu tidak setuju jika AS hanya memandang Asia Tenggara semata sebagai alat dalam persaingan geopolitiknya. Seharusnya AS memperlakukan Asia Tenggara karena potensi kawasan itu.
AS, menurut Asia Society, harus berhenti mengampanyekan soal pertarungan antara demokrasi dan otokrasi. Bagi Asia Tenggara dan kawasan lain, pertarungan itu bukan isu penting. Masalah lebih pokok bagi kawasan-kawasan itu adalah memacu perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Baca juga : AS Perlu Hentikan Kemunafikan dan Kebijakan Salah di Asia Tenggara
Kala menemui para menteri luar negeri ASEAN dan mitranya di Jakarta pada pertengahan Juli 2023, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan hal serupa. ”Kami, negara-negara ASEAN, negara yang sedang berkembang butuh pengertian, butuh kearifan, dan juga butuh dukungan, baik dari negara-negara maju dan negara-negara sahabat, untuk meninggalkan pendekatan zero sum dan mengambil pendekatan saling menguntungkan,” ujarnya.
Lewat pesan tersebut, Indonesia ingin mengajak semua pihak berkolaborasi untuk kemajuan bersama. Pesan itu juga menunjukkan kegerahan Indonesia pada persaingan negara-negara besar dari luar kawasan.
Bayang-bayang kolonial
Sayangnya, seperti tercantum dalam laporan Asia Society, strategi negara-negara besar dalam mendekati negara kecil dan menengah tidak selalu tepat. AS dan sekutunya di Eropa sibuk menawarkan gagasan dan pembahasan norma. Dalam tiga forum diplomatik besar untuk merangkul Asia, Afrika, dan Amerika Latin, inti pembicaraan AS-Eropa fokus pada moral.
Pola itu terjadi dalam pertemuan Uni Eropa (UE) dengan perwakilan negara Amerika Latin (EU-CELAC) pada 17-18 Juli 2023. Dalam forum ini, Brussels berusaha mengajak bangsa-bangsa Amerika Latin mengecam serangan Rusia ke Ukraina. Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyebut EU-CELAC sebagai mitra untuk menegakkan tatanan internasional berbasis aturan.
Ajakan itu tidak ditanggapi serius oleh CELAC karena berbagai faktor. EU-CELAC 2023 berlangsung kala Spanyol menjadi ketua bergilir UE. Selama ratusan tahun, Spanyol menjadi aktor utama kolonialisme di Amerika Latin. Delegasi CELAC di forum itu membawa pesan jelas: hubungan masa kini harus diikuti dengan penyelesaian aneka ketidakadilan masa lalu.
Ketua CELAC yang juga Perdana Menteri Saint Vincent and the Grenadine, Ralph Gonsalves, menegaskan pesan keharusan penyelesaian aneka ketidakadilan masa lalu tersebut. ”Kekayaan dari perdagangan budak dan perbudakan menjadi modal penting revolusi industri yang memberikan banyak kemakmuran kepada Eropa Barat,” katanya.
Gonsalves menegaskan, pembahasan soal kompensasi kepada bangsa-bangsa Amerika Latin dan Karibia harus dituntaskan sebelum UE mengajak kawasan itu bekerja sama. Apalagi, kini kondisi UE membutuhkan aneka sumber daya dari kawasan itu untuk aneka agenda Brussels. Aneka mineral dari Amerika Latin dan Karibia dibutuhkan untuk menyukseskan agenda transisi energi yang diidamkan UE.
Baca juga : Indonesia Menggugat
Soal mineral, Presiden Argentina Alberto Fernandez bersikap sama dengan Presiden RI Joko Widodo. Intinya, Argentina dan negara-negara lain di Amerika Latin ingin hilirisasi seperti yang dilakukan Indonesia. Argentina dan mitranya tidak mau terikat kemitraan berupa penambangan mineral, lalu diekspor dalam bentuk mentah ke negara lain, sementara negara pemilik sumber daya mengalami kerusakan lingkungan dan kemiskinan karena upah pekerja dari industri itu rendah.
”Ini kesempatan bagi kami membahas syarat jelas penambangan di Amerika Latin,” ujar Fernandez.
Soal mineral, Presiden Argentina Alberto Fernandez bersikap sama dengan Presiden RI Joko Widodo. Intinya, Argentina dan negara-negara lain di Amerika Latin ingin hilirisasi seperti yang dilakukan Indonesia.
Sementara Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva membahas isu lingkungan hidup dan hutan. Seperti Indonesia, Brasil merasa UE memaksakan kehendak soal penjagaan lingkungan dan hutan. Lula menuding, UE mengancam lewat sanksi sembari mengharapkan Brasil dan tetangganya mau merundingkan perjanjian dagang.
”Kemitraan tidak bisa dibangun dan dirundingkan dengan ancaman sanksi dan ketidakpercayaan,” tegas Lula.
Lula menuding, UE menolak ide hilirisasi sumber daya alam di Amerika Latin. UE hanya mau mengimpor aneka sumber daya alam Amerika Latin dalam bentuk mentah. Seperti sikap Fernandez, Lula mau sumber daya alam itu diolah di Amerika Latin sebelum diekspor ke sejumlah negara.
Bersaing tawaran
Tentu UE tidak datang dengan tangan kosong. Brussels menawarkan 50,5 miliar dollar AS dalam program EU Global Gateway. Lewat program itu, UE berjanji terlibat dalam perekonomian Amerika Latin. Tawaran lebih besar diberikan kepada Afrika. UE menjanjikan 150 miliar dollar AS kepada benua yang kaya aneka sumber daya alam walau jutaan rakyatnya melarat itu.
Namun, bangsa-bangsa Afrika dan Amerika Latin kurang meminati tawaran tersebut. Sebab, sebagian tawaran diberikan dalam bentuk pelatihan atau pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Padahal, negara-negara menengah membutuhkan investasi untuk memacu pembangunan.
China memahami kebutuhan itu dan menggulirkan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). Sejak 2013, Beijing mengucurkan 962 miliar dollar AS untuk proyek BRI. Dari kucuran itu, 573 miliar dollar AS dibelanjakan untuk aneka proyek infrastruktur.
Hasilnya, menurut China Daily, volume perdagangan China dengan negara-negara penerima BRI melonjak. Dari 1 triliun dollar AS pada 2013 menjadi 2 triliun dollar AS pada 2022. Akumulasi volume perdagangan China dengan penerima BRI mencapai 10,8 triliun dollar AS dalam periode 2013-2023.
China kini menjadi mitra dagang mayoritas negara-negara Afrika dan Asia. Lebih dari 10.000 perusahaan China beroperasi di Afrika dengan nilai bisnis sekurangnya 2 triliun dollar AS. Dalam 20 tahun terakhir, Beijing mengucurkan 155 miliar dollar AS untuk aneka proyek infrastruktur di Afrika.
”China menyingkirkan AS sebagai mitra dagang utama Afrika sejak 2009 dan China masih terus berusaha meningkatkan volumenya,” kata Uche Igwe, ekonom Nigeria.
Baca juga : Di Forum Pemimpin G7, Jokowi Minta Monopoli dan Diskriminasi Dihentikan
Rusia, yang berusaha dikucilkan AS dan sekutunya, juga tidak kalah gesit. Dalam pertemuan dengan para pemimpin Afrika di St Petersburg, Rusia, Presiden Rusia Vladimir Putin menjanjikan ribuan ton gandum gratis kepada sejumlah negara Afrika. Putin, setidaknya dalam pernyataan yang disampaikan kepada umum, tidak meminta Afrika berpihak kepada Rusia.
Bukan hanya gandum, S&P Commodities Insight mencatat lonjakan ekspor bahan bakar minyak (BBM) Rusia ke Afrika dalam setahun terakhir. BBM dari Rusia mengurangi tekanan fiskal yang mendera Afrika sejak perang Ukraina meletus.
Rusia juga meningkatkan investasinya pada aneka lokasi penambangan mineral dan minyak di Afrika. BUMN dan perusahaan swasta Rusia mengalihkan modalnya ke Afrika, juga Asia dan Amerika Latin, di tengah deraan sanksi AS dan sekutunya. Suntikan modal itu menjadi salah satu sumber penggerak perekonomian Afrika.
Pendek kata, China dan Rusia memakai bahasa modal. Sementara AS dan sekutunya sibuk berceramah soal nilai dan moral. Hasilnya bisa dilihat dalam panggung global. (AFP/REUTERS)