Israel Punya Sistem Pertahanan Laser Parsial Mulai 2024
Iron Beam, sistem pertahanan udara baru Israel, akan mulai aktif beroperasi di wilayah selatan mulai 2024. Sistem pertahanan udara berbasis laser ini membuat Israel menjadi negara pertama yang menggunakannya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TEL AVIV, SELASA — Tahun depan, Israel akan melengkapi sistem pertahanan wilayahnya dengan sistem pertahanan laser parsial yang akan melindungi wilayah negara itu dari potensi serangan musuh. Sistem pertahanan ini akan bekerja maksimal dalam dua tahun mendatang.
Kabar itu disampaikan Yuval Steinitz, pimpinan Rafael Advanced Defense System (RADS), kepada radio Angkatan Darat Israel, Minggu (27/8/2023).
”Satu tahun dari sekarang Israel akan menjadi negara pertama yang memiliki perlindungan laser parsial. Dalam dua tahun, mungkin akan ada perlindungan penuh dari rudal, peluru, roket, atau apa pun. Ini akan melindungi kita bila ada serangan, baik dari selatan maupun utara,” kata Steinitz, dikutip dari laman The Jerussalem Post.
Satu tahun dari sekarang Israel akan menjadi negara pertama yang memiliki perlindungan laser parsial.
Sistem pertahanan laser yang disebut Iron Beam ini adalah hasil kerja sama penelitian dan pengembangan antara produsen teknologi persenjataan militer RADS dengan Kementerian Pertahanan Israel yang telah berlangsung lebih dari dua dekade.
Sistem ini akan melengkapi sistem pertahanan udara yang sudah ada selama ini. Sistem yang dimaksud meliputi Iron Dome untuk jarak pendek, David’s Sling untuk jarak menengah, dan Sistem Pertahanan Udara Arrow serta Rudal Patriot untuk jarak jauh.
Bila sistem pertahanan udara Iron Dome menggunakan roket kecil untuk mencegat rudal atau roket musuh, sistem Iron Beam ini memanfaatkan sinar laser yang diarahkan ke persenjataan musuh, memanaskannya hingga hancur.
Kementerian Pertahanan Israel menyebut, pengoperasian sistem ini jauh lebih murah karena setiap kali melakukan tembakan, biaya yang dikeluarkan hanya sekitar 3,5 dolar AS atau Rp 53.000. Jauh lebih hemat dibandingkan sistem Iron Dome yang mengharuskan Israel memiliki jumlah roket atau rudal kecil untuk mencegat persenjataan musuh yang mengarah ke wilayah mereka.
Uji coba sistem pertahanan ini berlangung sejak Maret 2022 lalu. Dikutip dari laman The New York Times, Ketua Tim Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Israel saat itu, Brigadir Jenderal Yaniv Rotem, menyebut, hasil uji coba memperlihatkan hasil yang cukup memuaskan.
Alasannya, sistem tersebut memiliki tingkat ketepatan dan keberhasilan sangat tinggi dalam menghancurkan senjata musuh. Hal lain yang dinilai sangat menjanjikan adalah meningkatnya kecepatan penghancuran senjata musuh.
Sebelumnya, proses itu butuh beberapa menit, tetapi kini hanya dalam hitungan detik. Ini dengan kondisi jarak target enam mil atau sekitar 9,6 kilometer. Menurut Kementerian Pertahanan Israel, selama sumber energi laser tersedia secara konstan, tidak ada risiko kehabisan amunisi.
Kelemahan dari sistem laser adalah tidak bisa berfungsi dengan baik pada saat jarak pandang rendah. Ini bisa terjadi, misalnya, jika terdapat awan tebal dan cuaca buruk lainnya.
Untuk mengatasi kelemahan itu, Kementerian Pertahanan Israel berencana memasang Iron Beam di jet-jet tempur Israel. Gagasan ini masih memerlukan waktu beberapa tahun lagi untuk bisa terwujud.
RADS, yang merupakan badan usaha milik negara, mendapatkan suntikan dana sekitar 100 juta dollar AS pada 2022. Dana itu untuk memperbaiki cara kerja Iron Beam di tengah situasi konflik yang belum mereda di kawasan.
Kelompok Hezbollah di Lebanon yang didukung Iran diyakini memiliki stok sekitar lebih dari 100.000 roket, rudal, dan mortir yang bisa digunakan untuk menyerang Israel jika konflik meletus menjadi perang terbuka di masa depan.
Dua kelompok perlawanan Palestina, yaitu Hamas dan Jihad Islam Palestina, masing-masing juga diyakini memiliki ribuan roket dan mortir sekalipun telah menembakkan lebih dari 4.000 proyektil ke Israel selama perang 11 hari pada 2022.
Alasan lain, percepatan penggunaan sistem pertahanan laser adalah melihat kecenderungan kemampuan negara-negara musuh Israel, dalam hal ini Iran, dalam memproduksi pesawat nirawak (UAV). Bahkan, Iran disebut-sebut telah memasok sejumlah UAV-nya bagi militer Rusia dan digunakan pada invasi negara itu ke Ukraina.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF) periode lalu, Aviv Kochavi, dikutip dari Jerussalem Post, mengatakan, mereka berencana menempatkan sistem pertahanan ini di sepanjang perbatasan Israel-Palestina di Jalur Gaza. ”JIka berhasil, kami akan menempatkannya di wilayah utara” kata Kochavi.
Rudal hipersonik baru Iran, Fattah, yang diperkenalkan pada publik, Selasa (6/6/2023).
Penggunaan laser sebagai senjata oleh Israel dimulai sejak era 1980-an. Mengutip The New York Times, pada 1983, Presiden AS saat itu Ronald Reagan menciptakan Inisiatif Pertahanan Strategis yang secara luas dipandang sebagai ”Star Wars” atau perang bintang.
Proyek ini bertujuan menemukan cara menembak jatuh rudal balistik nuklir. Salah satu gagasannya adalah menggunakan teknologi laser. Setelah menghabiskan lebih dari 200 miliar dollar AS dan tidak menghasilkan banyak hasil, proyek dihentikan pada 1993.
Namun, kemudian, penelitian dilanjutkan di bawah program lain. Pada akhir 1990-an, Israel dan AS mencoba memproduksi sistem laser eksperimental berenergi tinggi dengan jangkauan yang kurang ambisius. Tujuannya adalah untuk menghancurkan roket yang sedang terbang.
Upaya yang dikenal sebagai Nautilus itu dihentikan pada 2005. Pertimbangannya, antara lain, karena skala proyek yang besar dan kinerja yang dianggap buruk.
Teknologi tersebut kini telah beralih dari laser kimia menjadi laser solid. Laser kimia memerlukan bahan kimia korosif dan beracun untuk menghasilkan sinar serta mesin yang hampir seukuran laboratorium di lokasi. Sistem laser solid hanya membutuhkan listrik dalam jumlah besar. (MHD)