Waspadai Tantangan Ekstrem di Medsos, Peringatan Serius dari Massachusetts
Remaja mencari perhatian dan penghargaan. Secara alamiah, mereka lebih sering bertindak tanpa banyak mempertimbangkan dampaknya.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Anak-anak dan remaja yang cedera hingga kehilangan nyawa karena ikut tantangan di media sosial terus bertambah. Rasa ingin diterima dan diakui menjadi pemicu tren yang terjadi di Indonesia dan sejumlah negara itu.
Seperti dilaporkan Associated Press pada Sabtu (9/9/2023), pihak berwenang di Massachusetts, Amerika Serikat, sedang menyelidiki kematian Harris Wolobah. Remaja ini tewas setelah ikut tantangan makan keripik superpedas.
Insiden itu terjadi pada 1 September 2023. Kepolisian setempat menerima panggilan darurat dari keluarganya. Petugas tanggap darurat menemukan Wolobah pingsan dan sama sekali tidak bernapas. Saat tiba di rumah sakit, ia dinyatakan meninggal.
Wolobah bukan satu-satunya remaja yang cedera hingga kehilangan nyawa karena tantangan itu. Di berbagai penjuru Amerika Serikat, dilaporkan kasus-kasus sejenis dialami anak-anak dan remaja.
Pada kemasan keripik sudah dicantumkan bahwa produk itu hanya untuk orang dewasa. Meski demikian, banyak anak-anak dan remaja mengonsumsinya. Mereka mengikuti tantangan seberapa kuat mereka untuk tidak mengonsumsi makanan atau minuman lain setelah mengunyah keripik superpedas tersebut. Semua proses itu diunggah ke media sosial
Karena bahaya, keripik tersebut menghilang dari sejumlah supermarket besar di AS sejak Jumat (8/9/2023). Di sejumlah lokapasar, penjualan keripik itu dihentikan.
Kepala tanggap darurat anak-anak di Tufts Medical Center, Lauren Rice, mengatakan, keripik itu terindikasi bahaya untuk sebagian orang. ”Dampaknya bisa ringan, seperti rasa terbakar di bibir dan lidah. Bisa juga lebih parah, seperti sakit perut dan gangguan pernapasan hingga muntah-muntah,” katanya.
Pakar tanggap darurat pada Women’s Hospital Boston Peter Chai mengatakan hal senada. ”Keripik itu bisa mematikan untuk beberapa orang. Semua tergantung pada seberapa kuat toleransi pedas setiap orang. Kalau terlalu banyak, bisa melukai jantung,” jelas dia.
Faktor penyebab
Akademi Kedokteran Anak Amerika (AAP) sejak lama memperingatkan bahaya tantangan media sosial. Tantangan itu bisa jadi menyenangkan bagi remaja yang mencari perhatian dan tantangan.
”Otak remaja masih terus berkembang. Bagian yang mengurusi pemikiran rasional belum sempurna sampai setidaknya manusia berusia 25 tahun. Karena itu, remaja cenderung tidak banyak mempertimbangkan tindakannya,” demikian pernyataan AAP.
Otak remaja masih terus berkembang. Bagian yang mengurusi pemikiran rasional belum sempurna sampai ia setidaknya berusia 25 tahun.
Dokter spesialis anak Purva Grover menyebut, sebagian remaja merasa mendapat dukungan dari sosial media. Jika banyak orang menyukai unggahannya, remaja merasa diterima. Jika tantangan dipelopori pemengaruh, remaja akan merasa lebih diterima dan menjadi bagian dari lingkungan pemengaruh.
”Masalahnya, ada harga tersembunyi dari mencari kesukaan untuk unggahan,” kata Grover kepada Daily Mail.
Secara tidak langsung, kerap kali pengguna media sosial menantang remaja untuk bertindak terlalu jauh dalam mengikuti tantangan. Semakin tinggi batas toleransi pada tantangan, semakin tinggi pula potensi unggahan disukai. Bagi remaja pengguna media sosial, unggahan yang disukai banyak orang adalah hal penting dan pengakuan atas pencapaian.
Dosen pada Florida International University Elisa M Trucco berpendapat senada dengan AAP. Bagian otak yang berkaitan dengan rasa diterima berkembang lebih cepat dibandingkan bagian otak yang berkaitan dengan rasionalitas.
”Remaja lebih berpeluang bertindak, sampai melukai diri, demi mendapat pengakuan dan penerimaan,” ujar Trucco.
Dosen kedokteran anak pada University of Vermont Jeremiah Dickerson mengatakan, otak remaja sama sekali berbeda dari orang dewasa. ”Remaja pencari perhatian dan penghargaan. Secara alamiah, mereka lebih sering bertindak tanpa banyak mempertimbangkan dampaknya,” katanya.
Proses perkembangan otak itu yang tereksploitasi oleh media sosial. Jika tidak ikut tantangan, remaja akan merasa ditinggalkan dan tidak diterima. ”Jika ikut, mereka bisa membanggakannya dan memamerkan di media sosial,” ujar Dickerson.
Sayangnya, sebagian keikutsertaan itu berujung pada cedera hingga kehilangan nyawa. ”Tidak ada cara mudah mengatasi ini. Komunikasi bermakna antara remaja dan orang dewasa hanya salah satu cara mencegah remaja melakukan hal berbahaya,” katanya. (AP/REUTERS)