Retno Marsudi: Kita Tidak Bisa Gagal
Keberhasilan Indonesia menjembatani perbedaan besar kekuatan utama dunia berujung pada tercapainya konsensus KTT Asia Timur. Barangkali ini arti prinsip “menang tanpo ngasorake” atau menang tanpa merendahkan.
Jamuan makan malam kenegaraan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-43 berlangsung meriah. Para tamu hanyut terbawa alunan musik, bergoyang, berjoget bersama. Namun, disela-sela malam yang berlalu diiringi tawa dan canda riang itu, wajah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terlihat tegang.
Di tengah lantunan lagu "Cikini Gondangdia", dibawakan oleh Aurelie Moeremans, Retno sambil menenteng sebuah buku yang di dalamnya terselip draf deklarasi yang masih ditandai coretan serta kata atau kalimat yang perlu dibicarakan, mendatangi satu-persatu meja para pemimpin serta tim perunding negara-negara peserta KTT Asia Timur.
Baca juga: KTT ASEAN-China, Presiden Jokowi Minta Hukum Internasional Dihormati
Di antara mereka yang didatangi adalah Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dan Perdana Menteri China Li Qiang. Kepada mereka, Retno menegosiasikan sejumlah catatan demi tercapainya kesepakatan. Di tengah gempita suasana, dan waktu yang terus berdetak maju, Retno terus “menggeber” mesin diplomasi untuk terus bekerja.
Memanfaatkan waktu yang sangat terbatas, Retno mengerahkan lagi tim perundingnya, dan “memainkan semua kartu” yang dimiliki karena tidak ada pilihan lain, selain “misi harus berhasil”.
Dan selepas pesta, dan hari baru saja berganti, satu-persatu anggota tim perunding Indonesia membawa kabar baik. Masing-masing mitra dialog mereka menyepakati draf yang ditawarkan Indonesia. “Jadi, pas jamuan makan malam KTT itu sebenarnya kepalaku rasanya mau meledak karena macet total. Kalau lihat di instagram saya, mukaku sudah kelihatan tidak karuan,” kata Retno ketika menceritakan pengalaman “di balik layar” diplomasi tim Indonesia yang salah satunya berujung pada tercapainya konsensus di KTT Asia Timur, Kamis (7/9/2023). Capaian itu memberi “energi positif” bagi delegasi Indonesia yang kemudian terlibat aktif dalam tercapainya konsensus pada KTT G20 yang digelar di New Delhi, India pada 9-10 September 2023.
Selama hampir 2 jam, ketika ditemui di kantornya, Retno menceritakan proses negosiasi upaya-upaya diplomasi yang tidak mudah itu. Bahkan, ketika memasuki saat-saat kritis seperti menunggu respons AS terhadap usulan Indonesia, semua anggota tim perunding Indonesia tidak tidur. Sebagai catatan, dalam KTT EAS tahun lalu, para pemimpin tidak mencapai konsensus. EAS yang beranggotakan 11 negara anggota ASEAN ditambah Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Federasi Rusia.
Baca juga: KTT ASEAN Matangkan Percepatan Proses Pengambilan Keputusan Organisasi
Isu geopolitik menjadi “penghambat” utama. Di situ titik peliknya. Oleh karena itu, dalam KTT EAS ke-18 di Jakarta, Indonesia harus mampu meramu sikap dan pernyataan yang pada akhirnya bisa diterima oleh semua pihak. Jika kembali gagal, tidak akan baik bagi ASEAN karena itu artinya ASEAN tersandera isu geopolitik dan tidak bisa menjembatani perbedaan yang ada di antara negara-negara yang berkepentingan.
“Kita kan selalu bilang ASEAN itu ada di driving seat dan bicara soal sentralitas ASEAN. Bagaimana kita bisa mengatakan itu kalau dua tahun berturut-turut deklarasi tidak dihasilkan gara-gara ASEAN tidak bisa menjembatani perbedaan antara tamu-tamu kita. Kita tidak bisa gagal,” cerita Retno di ruang kerjanya yang siang itu “dihangatkan” oleh alunan macapat.
“Kalau satu masuk, yang lainnya juga minta dimasukkan. Kalau semua masuk, kapan mau negosiasinya dan pasti tidak akan ketemu. Dalam situasi seperti sekarang, bagaimana kita bisa “mengakurkan” posisi Rusia-AS, posisi AS dan China. Kalau mereka akur kan pasti perang di Ukraina sudah selesai,” kata Retno.
Baca juga: Indonesia, ASEAN, dan Dinamika Dunia
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah merefleksikan perbedaan yang ada tanpa merusak deklarasi. Dan proses negosiasi atau komunikasi terbuka sudah dilakukan jauh-jauh hari. Indonesia mengirim pesan ke China, lantas bicara dengan AS, salah satunya karena Retno tahu persis di mana letak mandeknya negosiasi dan hal apa yang mengganjal tetapi masih bisa diperbaiki.
Sebelumnya, pada pertemuan tingkat menteri luar negeri sebelum KTT ASEAN ke-43, Indonesia pun sudah meminta dukungan dari negara-negara anggota ASEAN agar ada satu suara. Permintaan Retno pada waktu itu adalah “tolong berikan fleksibilitas maksimal”. Pada H-2 KTT EAS, Retno juga berbicara dengan semua anggota tim perunding termasuk semua duta besar negara anggota EAS di Jakarta dan menyampaikan pesan, apa pun yang terjadi, proses ini harus berhasil. Indonesia tidak menginginkan kegagalan deklarasi itu kemudian menjadi “tradisi”.
“Paginya, saya dapat kabar, akhirnya berhasil. Tetapi tidak seperti yang kita harapkan. Lumrah di negosiasi kita tidak dapat semua yang kita inginkan. Setidaknya dunia akan melihat kita tetap bisa bekerja sama di tengah perbedaan,” kata Retno.
Salah satu modal sosial lain yang turut memperkuat posisi Indonesia adalah kepercayaan negara-negara mitra kepada Indonesia. Di beragam forum internasional, negara-negara mitra melihat Indonesia sebagai mitra yang solutif, tidak menggurui, dan inklusif.
Belajar dari pengalaman KTT EAS dan G20, Retno kembali menegaskan pentingnya menjaga kepercayaan tersebut. Karena tanpa ada kepercayaan maka upaya apa pun tidak akan berhasil. Retno memahami tidak mudah bagi negara-negara Barat, terutama, untuk melepas paragraf-paragraf yang terkait isu geopolitik seperti isu Ukraina, Laut China Selatan, dan Korea Utara.
Isu-isu geopolitik yang muncul dalam perundingan antara lain perang di Ukraina, Laut China Selatan, dan Korea Utara. Sebagai ketua ASEAN, Indonesia memahami adanya keprihatinan tersebut. Namun Indonesia menawarkan, agar isu geopolitik itu tidak diletakkan dalam deklarasi yang lebih menitikberatkan pada isu Epicentrum of Growth, atau kawasan Asia sebagai pusat pertumbuhan. Indonesia, sebagai ketua ASEAN lantas menawarkan agar semua keprihatinan soal isu geopolitik itu direfleksikan dalam chair statement.
“Itu sangat berat dan sulit bagi sejumlah pihak. Tetapi akhirnya mereka bilang ok dan deal semua. Hanya 5 menit sebelum sesi pertemuan dimulai. Saya sangat sangat berterima kasih pada mereka,” kata Retno.
Baca juga: Para Seteru Mencari Jalan untuk Kembali Bertemu
Bagi negara-negara anggota EAS, penting untuk menunjukkan sikap dan pernyataan mereka kepada domestik masing-masing. Karena berhasil meramu bahasa dengan bahasa yang bisa diterima semua pihak, semua berterima kasih pada Indonesia -termasuk AS dan Rusia- karena bisa menghasilkan pernyataan dengan tetap menyinggung isu geopolitik. Tidak ada satu pun pihak yang merasa menang atau kalah.
Barangkali ini arti prinsip “menang tanpo ngasorake” atau menang tanpa harus merendahkan pihak lain. Proses memisahkan isu geopolitik di chair statement dan substansi kerja sama di deklarasi itu yang berdarah-darah. “Mereka bilang No, No. Red line, red line. Semuanya red line. Kalau semua red line, semua bisa tidak maju. Saya betul-betul stres waktu itu,” kata Retno yang selalu meyakini ada campur tangan Tuhan yang mempermudah proses negosiasi itu.
Untung saja tercapai konsensus. Karena jika tidak, akibatnya akan sangat buruk. ASEAN dan G20 akan bisa tersandera perbedaan dan Indonesia yang akan bisa dipersalahkan karena menjadi tuan rumah KTT ASEAN. Jika tidak ada deklarasi yang tercapai, Indonesia pasti akan dinilai gagal sebagus apa pun jamuan makan malamnya atau seaman apa pun penyelenggaraannya.
Baca juga: KTT ASEAN Dinilai Tak Cukup Mengakomodasi Problem Masyarakat Sipil
Semua itu akan hilang begitu tidak ada deklarasi. Semua yang dikatakan ASEAN tidak akan ada artinya. Ini yang membuat beban Indonesia berat. Apalagi Presiden RI Joko Widodo menyatakan dunia saat ini membutuhkan penetral dan rumah aman dan ini posisi Indonesia.
“Ketika situasi sedang tegang, ya jangan dibuat tegang lagi. Harus ada yang berani menengahi dan mengingatkan ada kerja sama yang harus tetap dilakukan. Ketika negosiasi, semua aset diplomasi apa pun yang pernah kita lakukan, kita pakai. Kita diapresiasi karena transparan dan semua diajak bicara. Kita lebih banyak mendengarkan, jangan kita terus yang bicara. Dengan mendengarkan, kita bisa tahu seberat apa perbedaannya,” kata Retno yang pernah sakit panas tinggi dan batuk-batuk sejak hari pertama KTT G20 di Bali dan harus minum obat 4 jam sekali itu.
Keberhasilan di KTT ASEAN dan G20 setidaknya, kata Retno, menunjukkan kepada dunia bahwa negara-negara berkembang atau yang kelompok negara yang disebut “global south” mampu menavigasi situasi yang pelik dan itu hanya bisa dilakukan jika ada kepercayaan. Pesan itu yang akan dibawa Retno dalam pertemuan G77 di Havana dan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. (SAM/JOS)