Negara Berkembang Perkuat Hak Pembangunan
Indonesia mendorong G77 untuk solid dan bersatu menagih hak pembangunan dari negara-negara maju. Akses iptek yang terbatas membuat kemampuan negara G77 mengatasi ketertinggalannya menjadi terbatas.
HAVANA, SABTU — Situasi politik global yang dinamis harus dihadapi dengan persatuan dan solidaritas negara-negara anggota Kelompok 77 atau G77. Selain itu, kelompok negara-negara berkembang harus memperkuat hak pembangunan mereka agar ada kemajuan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi rakyatnya.
Hal tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi di hadapan para pemimpin negara Kelompok 77 yang tengah menggelar pertemuan puncak di Havana, Kuba, Sabtu (16/9/2023). Retno hadir mewakili Presiden Joko Widodo.
G77 adalah kelompok negara-negara berkembang dan negara-negara kekuatan baru yang mewakili 80 persen populasi dunia. Blok tersebut didirikan oleh 77 negara berkembang—atau yang juga kerap disebut dengan Global South pada tahun 1964—seperti dilansir lamannya, ”guna mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan ekonomi mereka serta meningkatkan kapasitas negosiasi bersama”.
Saat ini G77 beranggotakan 134 negara. Laman G77 memasukkan China meski negara ini bukan anggota penuh blok tersebut. Sejak Januari 2023, Kuba mendapat giliran Keketuaan G77. KTT G77 mulai bergulir, Jumat (15/9/2023), dengan seruan utama ”mengubah aturan-aturan permainan” tata dunia.
Para pemimpin Amerika Latin, seperti Presiden Venezuela Nicolas Maduro, Presiden Kolombia Gustavo Petro, dan Presiden Argentina Alberto Fernandez, hadir pada pertemuan tersebut. Begitu pula Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Angola Joao Lourenco, dan Presiden Mozambik Filipe Nyusi. Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva tiba pada Jumat (15/9/2023) malam.
Dalam pidatonya, Retno mengatakan, solidaritas dan persatuan negara-negara berkembang sangat diperlukan karena selama masa krisis, kelompok negara inilah yang selalu paling terdampak. Dampak terbesar dirasakan oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah, yang biasanya menjadi komposisi terbesar dalam populasi negara miskin berkembang.
Baca juga: Majelis Umum PBB Pilih Palestina Jadi Ketua Grup 77
Dua tahun terakhir, ketika situasi pandemi mulai membaik, kondisi perekonomian terguncang dalam situasi yang tidak diprediksi sebelumnya, terutama karena invasi Rusia ke Ukraina. Harga-harga kebutuhan pokok meroket, terutama dipicu oleh terhentinya impor bahan pangan dari Ukraina dan Rusia.
Keputusan Rusia untuk mengurangi pasokan gas juga berdampak terhadap kemampuan warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dampak ini tidak hanya dialami Eropa, tetapi juga di negara-negara negara miskin dan berkembang.
Selama beberapa bulan terakhir, sejumlah negara produsen bahan pangan, seperti India, juga mengurangi bahkan menghentikan ekspor beras guna mengamankan kebutuhan dalam negeri. Negara-negara pengimpor beras—beberapa di antaranya di Afrika—harus menyediakan pasokan dari negara lain dengan harga yang lebih tinggi.
Laporan Global tentang Krisis Pangan 2023 menyebut, 238 juta orang di 48 negara tengah mengalami kerawanan pangan akut. Berdasarkan laporan tersebut, 10 negara mengalami krisis pangan paling parah, yaitu Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Sudan, Etiopia, Afghanistan, Yaman, Bangladesh, Pakistan, Sudan Selatan, dan Somalia.
Baca juga: Retno Marsudi: Kita Tidak Bisa Gagal
Laporan itu juga menyebut, kerawanan pangan di lebih dari 40 negara itu terjadi karena konflik dan perang, krisis ekonomi, dan cuaca ekstrem karena perubahan iklim. Laporan itu juga menyebut, tingginya harga pangan di pasar domestik dan tingginya beban utang pemerintah telah membatasi kemampuan anggaran negara untuk mengimpor bahan pangan terjangkau. Selain itu, pemerintah juga tidak memiliki kemampuan lebih untuk memitigasi dampak tingginya harga bahan pangan bagi kelompok rentan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, saat berada di Jakarta dalam rangka KTT ASEAN-PBB, dua pekan lalu, menyebut bahwa di tengah situasi seperti ini, negara-negara Afrika perlu mengotimalkan kemampuan mereka untuk memproduksi bahan pangan lokal dengan memanfaatkan teknologi dan berinovasi. Namun, langkah itu tak mudah.
Akses teknologi
Retno menyatakan, dalam kondisi seperti sekarang inilah, negara-negara G77 perlu terus mendorong upaya memperkuat hak pembangunan negara berkembang, terutama untuk membangun industri hilir dan menjadi bagian dari rantai pasok global.
”Science, technology, dan innovation atau STI memegang peran sangat penting. Oleh karena itu, G77 harus dapat mendorong akses lebih kuat bagi STI untuk negara berkembang,” kata Retno.
Selain itu, Indonesia juga mendorong agar G77 terus memperkuat kerja sama lintas negara, multilateralisme. ”G77 harus menjadi moral compass multilateralism, solidaritas, dan kemitraan yang saling menguntungkan,” ujar Retno.
Baca juga: BRICS dan Fragmentasi Global
Guterres, yang juga hadir dalam pertemuan dua hari di Havana, sepakat dengan pernyataan yang disampaikan Retno. Dia menyatakan, ada ketidaksetaraan dalam penguasaan dan transfer teknologi oleh negara maju ke negara berkembang dan negara miskin.
Dia mendorong kesetaraan yang lebih besar untuk mengatasi kesenjangan itu. ”Dunia mengecewakan negara-negara berkembang,” kata Guterres.
Kesenjangan
Isu utama pertemuan G77 kali ini adalah kesenjangan akses pengetahuan, teknologi, dan inovasi yang dialami negara-negara miskin berkembang. Masalah itu berdampak pada lemahnya kemampuan rakyat dan pemerintahan di negara-negara itu untuk mengatasi ketertinggalannya dari negara-negara maju.
Di tengah perubahan cuaca yang ekstrem, ketegangan dan persaingan antarnegara adidaya dan ekonomi maju serta krisis ekonomi, negara-negara miskin berkembang tak cukup memiliki daya untuk mengejar pemenuhan hak-hak dasar warganya.
Negara-negara berkembang mendesak negara-negara maju agar negara-negara berkembang mendapatkan perlakuan yang adil terkait pendanaan internasional hingga pembagian teknologi.
Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel, tuan rumah KTT G77, menyebut negara-negara berkembang adalah korban utama krisis multidimensi, perdagangan yang tidak setara dan kejam hingga pemanasan global. Ia mengutip statistik yang menunjukkan 84 juta anak-anak berisiko putus sekolah pada tahun 2023 dan lebih dari 660 juta orang tidak memiliki listrik. Ia menambahkan bahwa kesenjangan tersebut kini mencakup internet dan kemajuan teknologi digital.
Diaz-Canel menyatakan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi memainkan peran transendental dalam meningkatkan produktivitas, efisiensi, menciptakan nilai tambah, memanusiakan kondisi kerja, meningkatkan kesejahteraan dan menjamin pembangunan.
”Penguasaan iptek dan inovasi telah mencapai hal yang tak terbayangkan. Dalam kondisi kesetaraan dan keadilan yang lebih besar, (penguasaan iptek) bisa menjamin kehidupan yang lebih bermartabat dan nyaman bagi warga seluruh planet ini,” kata Diaz-Canel. (AFP/REUTERS)