70 Negara Teken Perjanjian Pemanfaatan Laut Lepas
Sebanyak 70 negara menandatangani perjanjian konservasi dan pemanfaatan laut lepas. Indonesia menjadi salah satunya.
NEW YORK, KOMPAS — Perjanjian soal konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan atas keragaman hayati laut di luar yurisdiksi negara atau laut lepas mulai ditandatangani di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, Rabu (20/9/2023). Penandatanganan dibuka selama dua tahun sampai dengan 20 September 2025.
Menurut keterangan staf PBB, perwakilan dari 70 negara terjadwal menandatangani perjanjian pada hari pertama. Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menjadi salah seorang di antaranya.
Mewakili Indonesia, Retno menandatangani perjanjian di sela-sela rangkaian pertemuan bilateral dan agenda sampingan pada Sidang Ke-78 Majelis Umum PBB, Rabu siang waktu setempat. Ia didampingi dua staf PBB.
Baca juga: Indonesia Advokasi Solidaritas Perempuan Afghanistan
PBB melalui laman resminya menyebutkan, penandatanganan akan dibuka untuk seluruh negara dan blok ekonomi regional selama dua tahun, mulai 20 September 2023 hingga 20 September 2025, di Markas Besar PBB di New York. Lokasinya di lantai dasar gedung Majelis Umum di bagian yang disebut Area Kapal Kuwait.
Setelah membuat jadwal dengan pihak Sekretariat PBB, pihak penanda tangan datang ke Markas Besar PBB satu per satu untuk meneken perjanjian tersebut. PBB tidak menyelenggarakan seremoni untuk pembukaan proses penandatanganan di hari pertama.
Perjanjian itu disusun dengan nama lengkap Agreement under UNCLOS on the Conservation and Sustainable Use of Marine Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction. Guna memudahkan, perjanjian ini acap kali disebut Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ).
BBNJ terdiri dari 17 paragraf mukadimah, 12 bab, 76 pasal, dan 2 lampiran. Perjanjian ini mengatur konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasional atau laut lepas.
Inisiasi upaya pembentukan perjanjian konservasi dan pemanfaatan laut lepas dimulai sejak 2004. Setelah melalui proses negosiasi panjang, perjanjian ini resmi diadopsi per 19 Juni 2023.
Inisiasi upaya pembentukan perjanjian BBNJ dimulai sejak 2004. Setelah melalui proses negosiasi panjang, perjanjian ini akhirnya resmi diadopsi per 19 Juni 2023 pada penyelenggaraan Intergovernmental Conference (IGC) on Marine Biodiversity of Areas Beyond National Jurisdiction di Markas Besar PBB di New York.
Retno dalam keterangannya kepada sejumlah wartawan di kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York, Rabu, menyatakan, BBNJ tersebut mengatur tentang konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan atas keanekaragaman hayati laut di luar yurisdiksi nasional atau laut lepas.
Perjanjian BBNJ merupakan produk hukum di bawah rezim Konvensi PBB tentang Hukum Kelautan atau United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).
Baca juga: Seruan Reformasi PBB Kian Santer
Proses negosiasi perjanjian tersebut, kata Retno, memakan waktu yang panjang, yakni hampir dua dekade. Indonesia terlibat aktif dalam negosiasi dan konsisten menekankan pentingnya pendekatan yang seimbang atas hak dan kewajiban setiap negara terhadap perairan internasional yang merupakan warisan bersama umat manusia.
Kepentingan Indonesia
Bagi Indonesia, Retno menjelaskan, perjanjian ini sangat penting karena sejumlah alasan. Pertama, Indonesia adalah salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Apa pun yang terjadi di laut lepas dan sekitarnya akan berdampak bagi Indonesia karena laut adalah suatu ekosistem yang saling terhubung.
Kedua, perjanjian ini berpotensi besar memperkuat dan mendukung kerja sama peningkatan kapasitas negara berkembang, khususnya untuk alih teknologi kelautan, termasuk bioteknologi, yang sesuai dengan kebutuhan negara berkembang.
Ketiga, perjanjian ini akan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan mendukung upaya global melakukan pelestarian ekosistem laut. Keempat, perjanjian ini meneguhkan prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam UNCLOS 1982, terutama prinsip common heritage of mankind.
”Setelah penandatanganan ini, Pemerintah Indonesia akan segera menuntaskan prosedur internal untuk ratifikasi dan menyiapkan rencana implementasinya,” kata Retno.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat mengatakan, instrumen ratifikasi kemungkinan berupa undang-undang mengingat bobot perjanjian. Untuk itu, pemerintah akan segera menindaklanjuti prosesnya.
Setelah administrasi di tingkat eksekutif lengkap, pemerintah akan menggulirkannya ke DPR untuk dibahas dan mendapat persetujuan. ”Untuk bisa dibahas DPR harus masuk Program Legislasi Nasional. Mudah-mudahan DPR melihat ini sebagai prioritas. Melihat substansi dan karena besarnya kepentingan nasional, saya tidak melihat akan ada keberatan. Apalagi, ini less political (secara domestik),” kata Tri.
Eksploitasi negara maju
Selama ini, hanya negara-negara maju yang memiliki teknologi maritim yang mengeksploitasi lautan lepas. Sementara negara-negara lain yang memiliki kapasitas serupa, termasuk negara-negara pantai, tak merasakan manfaatnya.
Pendekatan yang terjadi dalam memanfaatkan laut lepas pun lebih melulu soal eksploitasi. Namun, dengan perjanjian BBNJ, pendekatannya bukan lagi eksploitasi, melainkan pemanfaatan secara berkelanjutan. Aspek konservasi juga diamanatkan.
”Melalui perjanjian itu, selain aspek konservasi, pemanfaatan untuk kepentingan semua negara diatur. Salah satunya adalah transfer teknologi,” kata Tri.
BBNJ berada di bawah rezim UNCLOS. Dengan demikian, tidak ada persoalan di antara kedua dokumen hukum kelautan ini. Masalah akan muncul ketika ada negara menetapkan wilayah yurisdiksi kelautannya tidak berdasarkan UNCLOS.
Artinya, aturan BBNJ yang mestinya berlaku untuk semua laut lepas akan berisiko berbenturan dengan negara yang mengklaim wilayah lautnya tidak berdasarkan UNCLOS. Ini berisiko memunculkan persoalan baru.
Merujuk Insurance Marine News, ada dua prinsip yang menyeluruh dan berpotensi saling bersaing dalam BBNJ. Pertama, soal kebebasan laut. Ini adalah prinsip lama yang mendasari UNCLOS (Pasal 87) yang menyatakan bahwa kapal apa pun, apa pun benderanya, diperbolehkan mengarungi lautan dengan bebas dan menangkap ikan, melakukan eksplorasi, melakukan penelitian ilmiah, dan aktivitas damai lainnya.
Kedua adalah prinsip warisan bersama umat manusia. Konvensi ini mengatur bahwa negara memikul tanggung jawab hukum untuk bertindak demi kepentingan bersama seluruh umat manusia guna melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati di luar perairan nasional mereka dan bukan demi kepentingan nasional atau ekonomi individu.
Masih seperti dikutip Insurance Marine News, prinsip-prinsip utama lainnya ikut mendasari perjanjian BBNJ, yakni, pertama, prinsip pencemar membayar. Artinya, tanggung jawab ada pada pencemar untuk mengelola dan menanggung biaya pencemaran mereka. Kedua, pembagian manfaat yang adil dan merata dari sumber daya genetik kelautan dan informasi sekuens digital.
Ketiga, prinsip kehati-hatian menyatakan bahwa negara tidak boleh membiarkan kurangnya kepastian ilmiah menghambat mereka dalam menanggapi ancaman kerusakan yang serius dan tidak dapat diperbaiki lagi di laut lepas. Keempat, pendekatan ekosistem dan terpadu terhadap pengelolaan laut, bersamaan dengan pembangunan ketahanan, pemeliharaan dan pemulihan integritas ekosistem.
Kelima, pemanfaatan pengetahuan dari masyarakat adat dan komunitas lokal serta perlindungan hak-hak mereka.