Oase Kecil di East River
Taman yang terletak di timur Gedung Sekretariat PBB menjadi oase bagi para diplomat yang membutuhkan ”moment of silent” di antara kerja-kerjanya. Tempat kontemplatif yang baik, merenungi makna damai yang sesungguhnya.
Sepekan terakhir, Gedung Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa di kawasan Manhattan, New York, riuh rendah dengan kehadiran para pemimpin negara-negara anggotanya. Negara kaya, miskin, berkembang, adidaya, menengah, negara-negara berstatus netral, berkumpul.
Di sana, di dalam gedung itu, mereka, sekelompok orang yang disebut memimpin tatanan global, berpidato, melakukan intrik, saling sikut dengan hati-hati. Mereka mencari jalan menuju damai yang sulit dipahami.
Tak mudah untuk memahami isi pidato yang penuh metafora, kalimat-kalimat yang bersayap, yang tak jarang menyembunyikan makna sesungguhnya. Situasi itu juga semakin tak mudah ketika dunia kini dihadapkan pada permasalahan yang nyata: kelaparan, kekeringan karena bumi yang semakin mendidih disebabkan perubahan iklim.
Dunia juga menghadapi masalah pengungsi yang menyerbu ke wilayah damai untuk mencari hidup yang lebih baik. Komunitas internasional dihadapkan pada perlombaan senjata—termasuk senjata nuklir—hingga konflik dan perang.
Baca juga : Majelis Umum PBB: Dari Reformasi, Utang, sampai Lobi
Di tengah padatnya jadwal, para teknokrat dan diplomat perlu sejenak untuk mengasingkan diri, mencari udara segar, melancarkan peredaran darah. Mereka perlu melepaskan kepenatan dan ketegangan yang menumpuk saat berada dalam gedung.
Di luar gedung yang menjulang tinggi, taman berisi pohon besar dan berada di tengah kompleks yang dibangun dengan tujuan mengakhiri konflik, terkadang mereka dapat kedamaian yang sesungguhnya. Di sebelah utara Gedung Sekretariat yang menjulang tinggi dan Gedung Majelis Umum yang megah, sebidang tanah berhutan yang tenang menarik beberapa ratus pasang kaki untuk mendekatinya.
Di sana, sebidang taman yang dikelilingi oleh pepohonan rindang sehingga bisa dengan mudah melupakan sejenak riuh rendah kota megapolitan New York yang tepat berada di seberang pagar. Di setiap tikungan terselip hadiah kecil, baik itu berupa patung maupun lainnya.
Di dalamnya ada hiasan seperti pepohonan dengan bentuk cincin Olimpiade, patung perunggu ”Kebaikan Mengalahkan Kejahatan” hingga kolam refleksi kecil. Kolam itu seolah mengingatkan orang-orang di dalam kompleks itu bahwa mereka berada di kompleks ini untuk mencurahkan hidupnya, bekerja bersama, bagi perdamaian dunia.
Di taman yang bertepi ke East River, beberapa kursi tamanditempatkan menghadap ke wilayah Queens, New York. Di depan deretan semak, ada tanda yang bertuliskan: ”Tolong jangan memberi makan angsa”. Akan tetapi, sejatinya, tak ada angsa yang terlihat.
Baca juga : Kala Aula Majelis Umum Kembali ”Bernyawa”
Di taman itu juga ada sebidang lapangan basket kecil dan tersembunyi. Di awal pekan, terlihat seorang laki-laki mengenakan jas lengkap dengan sepatu kulitnya, melemparkan bola ke dalam ring. Lima hari kemudian, di Jumat pagi, hanya terlihat seekor merpati berada di sana. Sendirian.
Di sebelah utara Gedung Sekretariat yang menjulang tinggi dan Gedung Majelis Umum yang megah, sebidang tanah berhutan yang tenang menarik beberapa ratus pasang kaki untuk mendekatinya.
Damai sejenak
Tak banyak para pemimpin dunia, dalam pidato di Majelis Umum, menyebutkan kata perdamaian. Padahal, kata itu adalah alasan utama berdirinya PBB dan juga salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). ”Membawa perdamaian abadi,” kata Perdana Menteri Mauritius Pravind Jugnauth.
PM Malaysia Anwar Ibrahim berbicara tentang pentingnya perdamaian. Begitu juga dengan Stevo Pendarovski, Presiden Makedonia Utara. Dia menyebut perdamaian adalah fondasi dasar semua hal. ”Tindakan kolektif dan mendesak hanya dapat dicapai dengan adanya kepercayaan dan perdamaian abadi,” kata PM Tonga Siaosi Sovaleni.
Perdamaian yang disebutkan dalam pidato-pidato tersebut memiliki makna luas—tidak adanya perang, kekerasan, dan kemarahan, dan mungkin juga tidak adanya kemiskinan dan kesenjangan. Hal itu mungkin sulit.
Namun, perdamaian dalam skala kecil juga sulit didapat, terutama jika Anda seorang diplomat atau pegawai PBB yang bekerja di salah satu kota yang paling aktif di dunia. New York adalah kota yang tak pernah tidur.
Markas PBB memang menyediakan oasis yang berlimpah, baik di dalam ruang maupun di luar ruang. Ada perpustakaan yang tenang di lantai dasar Gedung Sekretariat, ada juga area meditasi yang dilengkapi dengan kursi serta meja kecil di luar ruangan di ujung selatan kompleks.
Baca juga: Seruan Reformasi PBB Kian Santer
Ada juga taman, ruang terbuka hijau, yang menjadi penyeimbang yang menyenangkan untuk momen-momen kontemplasi, sesuatu yang sangat penting dalam upaya mencapai perdamaian yang lebih luas.
Setiap pagi, selama sepekan terakhir, bisa terlihat banyak delegasi dari berbagai latar belakang berjalan-jalan di taman kecil, menikmati pemandangan sungai, dan berhenti di kolam refleksi. Meski tidak terbuka untuk umum, pengunjung kelas atas, utamanya para pengambil kebijakan, telah memanfaatkan lokasi tersebut selama bertahun-tahun.
Bulan Juli lalu, misalnya, PM India Narendra Modi, yang sedang berkunjung ke New York, memanfaatkan Halaman Utara, yang berdekatan dengan kawasan hutan, untuk mempraktikkan yoga di sana. Selama 35 menit, dia bersama ratusan pencinta yoga mempraktikkan yoga dan bermeditasi.
Meski tanpa kegiatan terorganisasi, sebidang tanah menawarkan ruang yang luas untuk meditasi pribadi. Hal itu menjadi kombinasi tak terduga antara luas dan dalamnya isu global yang ditangani oleh PBB dan keintiman sebidang taman dan alam yang mungil.
Di bawah pepohonan yang rindang dan gelombang air East River yang tersapu feri atau kapal yang melintas, sejenak para diplomat bisa sejenak melupakan tragedi kemanusiaan yang kontroversial dan terkadang berdarah sedang terjadi. Tragedi itu bisa berupa ketegangan di Nagorno-Karabakh, derasnya arus pengungsi dan pencari suaka ke Eropa, hingga perang Rusia-Ukraina.
Kala para diplomat berupaya untuk menggantikan konflik terbuka dengan aktivitas diplomasi yang lebih sopan. Dan, pada akhirnya berharap agar segera ada penyelesaian yang berujung pada perdamaian yang sesungguhnya.
Baca juga : Lonceng Tanda Bahaya dari Sekjen PBB
Sepanjang salah satu jalur di taman, kala melihat ke belakang dan melalui pepohonan, pemandangan menakjubkan dari dua gedung utama PBB yang menjulang tinggi di seluruh kompleks.
Kemudian saat pengunjung melewati tikungan dan melihat lapangan basket kecil, dan teringat akan beberapa hal yang mudah terlupakan minggu ini di dalam aula yang riuh rendah: Bumi bukan sekadar planet untuk bekerja dan peperangan; ini adalah tempat yang tenang dan bermain juga. Orang-orang yang mencoba mencari tahu semua ini hanyalah—manusia.
Dan burung itu hinggap di tepi lapangan? Ini bukan merpati perdamaian. Itu terlalu mudah. Itu hanyalah merpati lapangan basket di East River. Namun, untuk satu momen tenang, untuk jeda singkat dari perbincangan paling berisiko di dunia, itu sudah lebih dari cukup. (AP)