150 Tahun Celana Jins, Simbol Perlawanan Sekaligus Perdamaian
Dulu dipakai petambang dan penggembala, kini jins dipakai presiden dan pesohor lain. Setelah 1,5 abad kehadirannya, jins tetap relevan bagi para pemakainya hingga hari ini.
Kecuali Donald Trump, seluruh Presiden Amerika Serikat periode 1977-2023 adalah pencinta atau setidaknya pengguna jins selama tinggal di Gedung Putih. Sejumlah perdana menteri sejumlah negara juga kerap memakai celana jins. Setiap tahun, termasuk tahun ini, ada model terbaru untuk produk busana itu.
Pada tahun 2023, busana jins genap berusia 150 tahun. Dimulai di San Francisco, AS, pada 1873 sebagai pakaian petambang, jins dan denim kini berkembang menjadi simbol mode hingga perlawanan.
Perlu digarisbawahi dulu, jins dan denim berbeda. Jins hanya salah satu pakaian, dalam hal ini celana, berbahan denim. Sementara denim adalah bahannya.
Pada setiap musim, termasuk musim gugur 2023, ada rekomendasi model jins dan denim. Dalam artikel pada 28 September 2023, majalah Vogue merekomendasikan sejumlah rok denim dan celana jins untuk pembacanya. Sementara media-media lain yang juga fokus pada mode merekomendasikan antara lain jins untuk musim gugur 2023.
Baca juga: Perang Jins Antargenerasi, Bukan Sekadar soal Tren
Tentu, tidak semua orang selalu mengikuti anjuran pengamat mode atau perancang busana. Mantan Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, dan PM Australia Anthony Albanese termasuk pengguna jins dengan model yang hampir sama selama bertahun-tahun.
Trudeau berulang kali terlihat memakai jins dan kemeja lengan panjang dalam kegiatan-kegiatan tidak resmi. Sementara pada Februari 2023, Albanese terlihat ikut parade di Sydney sembari mengenakan jins dan kemeja lengan pendek.
Adapun Obama meneruskan kebiasaan sejumlah presiden AS pemakai jins. Mendiang Ronald Reagan dan George HW Bush malah bukan hanya penyuka jins. Keduanya kerap pula tampil lengkap dengan jaket denim dan topi koboi. Persis tampilan awal para pemakai jins pada 1,5 abad lalu.
Petambang dan koboi
Jins awalnya dibuat Jacob Davis, penjahit di Nevada, atas pesanan salah seorang petambang emas. Ia memilih denim yang dipasok Levi Strauss, imigran Jerman yang berdagang aneka hal di San Francisco pada pertengahan abad ke-19.
Bahan itu dipilih karena sudah lama dipakai orang-orang di Pelabuhan Genoa, Italia, sejak abad ke-15. Karena sudah terbukti kuat, denim dipilih untuk bahan celana bagi petambang di AS abad ke-19. Setelah petambang, jins dan jaket denim juga dipakai oleh para penggembala. Mereka dikenal sebagai koboi, serapan Indonesia untuk kata cowboy.
Paten atas celana jins itu didaftarkan bersama oleh Jacob Davis dan Levi Strauss pada Mei 1873.
Paten atas celana itu didaftarkan bersama oleh Davis dan Strauss pada Mei 1873. Mereka mematenkan celana berbahan denim, yang pada sebagian sisinya dikuatkan dengan paku. Versi pertamanya tidak memakai resleting, tetapi kancing. Model itu disebut sebagai Levi’s 501.
Sampai sekarang, belum diketahui siapa saja pemakai awal celana Levi’s 501 tersebut. Sudah bertahun-tahun Direktur Desain Global Levi’s Collections Paul O’Neill mencari informasi soal itu. Dalam wawancara yang disiarkan Vogue pada Mei 2023, ia menyebut jins berevolusi. Dari busana penambang dan koboi, jins menjadi busana tidak resmi harian.
Simbol perlawanan
Di Indonesia, celana itu lebih dikenal sebagai levis. Bukan jins, apalagi denim. Celana itu sudah beberapa puluh tahun lalu masuk Indonesia. Jejak jins di Indonesia antara lain terekam dalam buku yang disusun Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Firman Lubis, Jakarta Tahun 1950-an, Kenangan Semasa Remaja.
Baca juga: Denim Nyaman, Denim Tersayang
Dalam bukunya itu, Firman antara lain menceritakan larangan penggunaan jins. Celana ini dipandang sebagai simbol gaya hidup Barat. Padahal, Presiden RI Soekarno sedang berusaha membangun identitas budaya nasional.
Salah satu wujud pembangunan identitas budaya nasional itu berupa larangan penggunaan jins. Tidak sekadar melarang, pemerintahan Soekarno—setidaknya di Jakarta—sampai merazia pengguna celana jins. Ada razia yang dilakukan oleh tentara dan polisi terhadap para pemakai celana jins.
”Yang tertangkap celananya digunting oleh polisi atau tentara yang aktif merazia para remaja masa itu,” kata Firman.
Tidak sekadar melarang, pemerintahan Soekarno—setidaknya di Jakarta—sampai merazia pengguna celana jins.
Razia digelar di bioskop, sekolah, dan di jalanan. Guru-guru juga ikut merazia para murid yang mengenakan celana jins dan celana jengki. Dalam razia dipakai botol bir untuk mengukur lubang celana. Jika terlalu kecil, langsung dipotong di atas lutut. Celana yang dipakai pun menjadi celana buntung dan si remaja harus pulang ke rumah dengan malu.
Jika di Jakarta ada razia jins, di Sulawesi Utara ada bagi-bagi jins kepada pemberontak. Kelompok pemberontak Permesta di sana mendapat banyak sekali kiriman jins.
Salah seorang mantan petinggi Permesta, Phil Sulu, menceritakan hal itu dalam buku Permesta: Jejak-jejak Pengembaraan. Sulu menulis, jins, senjata, dan aneka kebutuhan kelompok pemberontak itu antara lain diangkut kapal bernama Black Snake.
Dulu, Permesta mendapat dukungan Badan Pusat Intelijen AS (CIA). Mereka mendapat senjata dan aneka dukungan lain, termasuk jins, dari Washington. Selain lewat laut, aneka bantuan itu dikirim lewat Pangkalan Udara Clark di Filipina.
Salah satu pilot CIA, Allan Pope, ditangkap Indonesia kala beroperasi membantu Permesta. Penangkapan Pope mengungkap peran AS dalam pemberontakan di Indonesia beberapa puluh tahun lalu.
Baca juga: Allen Pope, Pilot CIA yang Membantu Pemberontakan Permesta
Namun, bukan hanya pemberontak yang memakai jins. Kelompok awal prajurit ABRI yang dikirimkan ke Timor Portugal juga memakai jins sebagai busana harian mereka. Jurnalis senior TVRI, Hendro Subroto, merekam fenomena itu dalam buku Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur.
”Blue Jeans Soldier”
Hendro menyebut, rombongan prajurit ABRI kala itu antara lain Sutiyoso dan Yunus Yosfiah. Mereka dikenal sebagai ”Blue Jeans Soldier”. Sutiyoso, yang belakangan menjabat Gubernur DKI Jakarta, terkenal kerap memakai jins dan berkaus oblong. Para prajurit ABRI tersebut menggunakan senapan AK-47 dan pelontar roket buatan Yugoslavia.
Tidak ada satu pun di antara Sutiyoso dan prajurit lain memakai seragam dan tanda kepangkatan. Sebab, mereka bergerak dalam misi rahasia. Tugas mereka adalah menyiapkan pengambilalihan Timor Portugal yang praktis diabaikan Lisabon selepas Revolusi Anyelir pada April 1974.
Pergantian kekuasaan akibat revolusi itu membuat Lisabon kesulitan mengurus jajahannya yang jauh di Pulau Timor. Uniknya, busana para pendukung Revolusi Anyelir mirip dengan busana Sutiyoso dan timnya di Timor Portugal: jins dan kaus oblong.
Perdamaian
Dalam sejumlah foto yang merekam revolusi itu, terlihat para pemuda memakai jins menyerahkan bunga anyelir kepada tentara Portugal. Bunga itu melambangkan perdamaian.
Memang, dulu jins banyak dipakai oleh pengunjuk rasa pendukung perdamaian dan penolak perang. Jins salah satu busana ”generasi bunga” alias kaum hippies. Hasil usaha mereka antara lain Pemerintah AS memutuskan menarik pasukan dari Vietnam pada 1975.
Bukan hanya di Portugal dan AS, pengunjuk rasa di Indonesia pun kerap memakai jins. Sebagian pengunjuk rasa 1998 terlihat mengunakan jins. Sebagian celana itu robek atau dirobek di dekat lutut. Robekan itu melambangkan penolakan pada kemapanan.
Jins sebagai simbol perlawanan juga dipakai di Timur Tengah. Di wilayah yang sampai sekarang masih ada pembatasan busana untuk kelompok tertentu itu, jins dipakai untuk menunjukkan perlawanan pada aturan pemerintah.
Seperti Indonesia beberapa puluh tahun lalu, masih ada razia terhadap pengguna jins di Timur Tengah saat ini. Razia itu tidak menyurutkan pemakainya dari mengenakan jins dan aneka busana dari denim. (AFP/REUTERS)