Tidak ada lagi yang bisa dibangun ulang di Rimal, yang pernah disebut pusat Gaza. Distrik itu tidak mungkin lagi ditinggali karena hancur lebur.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
Ini bukan mata diganti mata. Ini mata diganti kepala dan separuh badan. Serangan Hamas pada Sabtu (7/10/2023) sampai Senin ke Israel berbalas serangan udara ke Gaza. Kehancuran di mana-mana, kehidupan musnah. Bangunan tinggal puing, jalanan berlubang oleh bom, pipa air dan kabel listrik putus.
Bagi warga Gaza, yang sudah puluhan tahun dipaksa terbiasa dengan pengeboman oleh Israel, penghancuran kali ini di aras yang sulit dipahami. ”Israel telah menghancurkan pusat segalanya. Itu adalah ruang kehidupan publik kami, komunitas kami. Mereka menghancurkan kami,” kata pengusaha Palestina yang tim tinggal dekat Rimal, Ali al-Hiyak, kepada Al Jazeera.
Dalam gelombang serangan kali ini, memang Rimal menjadi salah satu kawasan yang ikut hancur. Selama ini, Rimal kerap disebut ”Jantung Gaza”.
Julukan diberikan karena Rimal menjadi lokasi pusat perbelanjaan, taman, kedai makan dan minum, hingga menara-menara rumah susun. Kawasan itu juga menjadi pusat perkantoran berbagai pihak. Lembaga kemanusiaan, media, hingga pemerintahan berkantor di Rimal atau dekat Rimal.
Serangan Israel tanpa henti sejak Minggu (8/10/2023) sampai Rabu dini hari menghancurkan semua itu. Militer Israel, Israel Defense Forces (IDF), membenarkan serangan ke Rimal. IDF mengerahkan belasan jet tempur untuk menyerang Rimal sebab Rimal dianggap sebagai pusat pengendalian serangan Hamas ke Israel.
Meski tidak seluruh warganya pendukung Hamas, Gaza dan Hamas memang tidak bisa dipisahkan. Hamas dibentuk di Gaza pada 1988. Kala itu, Gaza masih dikendalikan Israel sejak 1967. Israel mengembalikan Gaza ke Palestina pada 2005, setahun sebelum Hamas menang telak dalam pemilu dan sejak itu mengendalikan pemerintahan di Hamas.
Saat dikembalikan ke Palestina, Hamas praktis sudah terkurung. Sejak 1993, Israel secara bertahap membangun tembok tinggi untuk mengurung berbagai wilayah Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Di atas tembok yang paling pendek empat meter itu dipasangi kawat yang dialiri listrik.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari IDF soal keputusan menyasar Rimal. Kawasan itu memang menjadi pusat pemerintahan Gaza, yang dikendalikan Hamas sejak 2006. Tidak ada pergantian pemerintahan di baik Gaza ataupun Tepi Barat sebab tidak ada pemilu di Palestina dalam 17 tahun terakhir.
Sejak melepaskan kendali atas Gaza, Israel sudah berulang kali menyerang Gaza dan berbagai distriknya. Rimal pun pernah jadi sasaran bom-bom dari jet tempur Israel dalam perang Mei 2021. Akan tetapi, menurut warga, kehancuran dulu tidak separah sekarang.
Serangan pada Selasa (10/10/2023) malam menghancurkan rumah susun kelas atas. Trotoar dan jalan mendadak jadi kawah. Pohon-pohon tumbang. ”Suara-suara yang terdengar sungguh beda. Seperti suara balas dendam,” kata Saman Ashour (30), salah seorang warga Gaza.
Dari penuh kesibukan transaksi di antara pedagang dan pembeli, jalan-jalan Rimal kini hanya memperlihatkan puing bangunan hancur. Tempat ibadah, universitas, kantor, hingga menara pemancar sinyal telekomunikasi hancur dalam serangan kali ini.
Dari wilayah yang disebut paling makmur di Gaza, kini Rimal hanya dipenuhi bangunan hancur. ”Uang kami musnah, kartu identitas saya hilang. Rumah kami, empat lantai, luluh lantak. Area paling indah. Mereka (Israel) menghancurkannya,” kata warga Rimal, Issa Abu Salim.
Kini, banyak warga Rimal ikut mengungsi seperti 60 persen dari 2,2 juta warga Gaza. Sejak 1948, memang mayoritas warga Gaza berstatus pengungsi. Mereka menyelamatkan diri kala milisi-milisi Israel membunuhi umat Islam dan kristiani serta membakar desa-desa mereka selepas proklamasi kemerdekaan Israel. Pengungsi itu lari di Gaza yang dulu dikendalikan Mesir sampai 1967.
Blokade
Kali ini, Israel tidak hanya menyerang Gaza.Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant telah mengumumkan, seluruh pasokan air, pangan, bahan bakar, dan listrik Gaza dihentikan. Menurut dia, 2,2 juta manusia di Gaza adalah hewan dan harus diperlakukan amat keras.
Infografik Jalur Gaza AFP
Sebelum perintah pada pekan kedua Oktober 2023 itu pun, sebenarnya Israel sudah sering membatasi pasokan aneka hal ke Gaza. Akibatnya, aneka kebutuhan mendasar, yang mudah didapat di daerah lain, amat sulit didapat di Gaza. ”Bisa Anda bayangkan, kami hidup tanpa listrik atau air di abad 21 ini? Bayiku sudah kehabisan popok dan susu tinggal setengah botol,” kata warga Rimal yang kehilangan rumah akibat serangan Israel beberapa hari ini, Waad al-Mughrabi.
Pembatasan pasokan dimungkinkan terjadi karena Israel menembok seluruh perbatasan Gaza. Di atas tembok beton itu dipasang kawat yang dialiri listrik. Warga Gaza hanya bisa keluar melalui pintu-pintu perbatasan yang dijaga ketat aparat Israel. Untuk melintasi pintu itu, harus mendapat izin dari Israel. Izinnya sulit sekali didapat. Bahkan, untuk alasan berobat pun kerap tidak diberikan.
Ada pintu keluar selain menuju wilayah Israel. Pintu itu menuju Mesir. Sayangnya, seperti Israel, Mesir pun berulang kali menutup pintu itu. Di tengah serangan Israel kali ini pun, atas alasan keamanan, Mesir tetap menutup pintu perbatasan Rafah.
Bukan hanya warga, peneliti di Israel pun menilai serangan ke Gaza kali ini berbeda. Serangan bukan lagi untuk mengusir Hamas dari Gaza. Serangan kali ini untuk menghancurkan Gaza sekaligus Hamas. ”Tujuannya memusnahkan kemampuan militer Hamas,” kata peneliti senior pada Institute for National Security Studies di Israel, Kobi Michael.
Juru bicara Pemerintah Gaza, Iyad Bozum, memandang Israel sedang melancarkan hukuman kolektif pada seluruh warga Gaza. Anggota Hamas atau bukan, orang Gaza terkena dampak keputusan Israel semata karena berada di Gaza. ”Rumah sakit tidak bisa beroperasi tanpa bahan bakar, rumah dan infrastruktur hancur total. Pada akhirnya, tidak ada lagi yang bisa dibangun ulang. Tidak mungkin lagi tinggal di sini,” katanya.
Rimal dan berbagai distrik di Gaza hancur sehancur-hancurnya. Rungkad. (AFP/REUTERS)