Harapan Merebak Selepas Hamas Bebaskan Sebagian Sandera
Di seluruh Israel-Palestina setidaknya ada 60.000 warga Indonesia, Filipina, dan Thailand. Hampir 10.000 di antaranya berada di Gaza dan sekitarnya. Sebagian tewas, sebagian lagi masih terjebak di lokasi perang.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
GAZA, SABTU - Hamas membebaskan dua sandera, Judith Tai Raanan (59) dan Natalie Shoshana Raanan (17). Hamas mengaku sedang berunding dengan sejumlah pihak soal pembebasan lebih banyak sandera. Sementara Israel kembali mengancam akan menghancurkan rumah sakit lain di Gaza.
Judith dan Natalie, ibu dan anak yang menjadi warga negara Israel-Amerika Serikat, dibebaskan pada Jumat (20/10/2023) malam waktu setempat. Mereka diantarkan tim Komite Palang Merah Internasional (ICRC) keluar dari Gaza menuju Israel.
Dengan pembebasan mereka, setidaknya 198 orang lain masih disandera Hamas. Mereka dibawa ke Gaza selepas Hamas menyerbu Israel pada 7 Oktober 2023. Sampai sekarang, lokasi para sandera tidak diketahui secara pasti.
Di antara sandera, setidaknya 25 orang warga Filipina dan Thailand. Jumlah pasti sandera asal Asia Tenggara tidak diketahui. Di seluruh Israel-Palestina setidaknya ada 60.000 warga Indonesia, Filipina, dan Thailand. Hampir 10.000 di antaranya berada di Gaza dan sekitarnya.
Sejauh ini, sejumlah warga Thailand dan Filipina tewas dalam perang di Gaza. Sebagian jenazah korban telah dipulangkan ke kampung halamannya. Upaya pemulangan warga ASEAN, baik yang masih hidup maupun telah meninggal, masih terus diupayakan.
Perang yang terus berlangsung menyulitkan evakuasi maupun upaya pembebasan sandera. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majid al-Ansari, menyebut perundingan terus dilakukan untuk pembebasan sandera lain. Perundingan juga untuk meredakan ketegangan.
Sementara Duta Besar Iran di Bangkok, Reza Nobakhti, mengatakan telah mendapat laporan soal kondisi warga Thailand dan Filipina yang disandera Hamas. Kepada Bangkok Post, ia menyebut seluruh warga Asia Tenggara yang disandera Hamas dalam kondisi baik. Ia tidak memperincikan di mana pastinya para sandera itu ditawan Hamas.
Ia malah menyebut, kondisi Gaza saat ini membuat pembebasan sandera sulit dilakukan. Sebab, sandera dikhawatirkan malah menjadi korban artileri dan serangan udara Israel. Serangan itu berlangsung nyaris tanpa henti sejak 8 Oktober 2023.
Hamas mengklaim, sebagian dari sandera tewas akibat serangan Israel. Walakin, Hamas tidak menyebut di mana lokasi korban tewas maupun sandera yang masih hidup. Hamas juga siap berunding soal pembebasan para sandera.
Sementara Presiden ICRC Mirjana Spoljaric menyebut, pembebasan ibu dan anak itu memberi harapan bagi sandera lain dan keluarganya. Ia berharap, seluruh pihak bertikai setidaknya mau menerapkan sedikit saja rasa kemanusiaan.
Korban bertambah
Harapan itu disampaikan karena perang telah memasuki pekan kedua. Dalam dua pekan ini, 4.130 warga Palestina tewas di Tepi Barat dan Gaza. Lebih dari 1.000 korban merupakan anak-anak hingga bayi. Sebagian korban tewas akibat serangan udara Israel di berbagai fasilitas umum.
Amnesty International menyebut, Israel sama sekali tidak peduli pada keselamatan warga sipil di Gaza. Israel disebut terus melakukan genosida. "Mereka (Israel) melumat jalanan dan rumah, membunuh warga sipil secara besar-besaran," kata Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnès Callamard.
Sementara itu, Bulan Sabit Merah Palestina dan manajemen RS Al Quds di Gaza mengaku ada permintaan Israel agar orang-orang di rumah sakit itu dievakuasi. Sebab, rumah sakit itu akan jadi sasaran serangan Israel. Tidak ada pemberitahuan kapan RS Al Quds akan disasar Israel.
Pasien, keluarga pasien, pengungsi, maupun pegawai rumah sakit menolak evakuasi. Sebab, saat ini tidak ada lokasi aman di Gaza. Sisi selatan Gaza yang disarankan Israel jadi lokasi evakuasi pun tetap diserang Israel. Setidaknya 16 orang tewas dan 20 lain cedera akibat serangan Israel ke Khan Younis, salah satu kota di Gaza.
Sebelum ini, ada tudingan Israel meledakkan RS Baptis Al-Ahli. Israel dan sekutunya menyangkal rumah sakit itu meledak karena rudal Israel. Bahkan, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyebut, sekarang bukan saat tepat untuk mengirimkan tim penyelidik internasional untuk memeriksa lokasi ledakan.