Dokter-dokter di Jalur Gaza Berjuang dengan Peralatan Seadanya
Para dokter di Gaza, merawat para korban perang bekerja di bawah tekanan, dengan peralatan seadanya. Para dokter juga kehilangan anggota keluarganya.
Debu abu-abu pekat dari reruntuhan bangunan menutupi wajah anak-anak yang dilarikan ke Rumah Sakit Al-Aqsa di Gaza, Kamis (2/11/2023). Dengan kondisi seperti itu, sulit membedakan mana anak yang masih hidup dan yang sudah meninggal.
Pada Kamis kemarin, dua serangan udara Israel meluluhlantakkan seluruh blok bangunan apartemen di kamp pengungsi Bureij hingga rata dengan tanah.
Tubuh-tubuh mungil tak bergerak, tergeletak di lantai rumah sakit yang keras dan dingin. Di salah satu pojok ruangan ada anak laki-laki terbaring di lantai dan kehabisan darah. Petugas medis mencoba menghentikan kucuran darah yang keluar dari kepalanya, tetapi gagal.
Di sebelahnya, ada bayi terbaring dengan masker oksigen terpasang. Seluruh badannya tertutup debu tebal puing bangunan. Dadanya naik turun cepat, bayi itu tampak kesulitan untuk bernapas.
”Lihat! Ini perbuatan Israel, Amerika! Mereka hanya anak-anak. Setiap hari banyak anak meninggal,” kata ayah dua anak itu berurai air mata.
Baca juga : Biden Serukan Jeda Kemanusiaan
Lebih dari 3.700 anak Palestina tewas hanya dalam waktu kurang dari satu bulan sejak kelompok Hamas menyerang Israel, 7 Oktober 2023. Dengan dalih membela diri, Israel membalas dengan serangan membabi buta ke Gaza.
Sejumlah kalangan menyebut, dengan serangan tanpa pandang dulu tersebut, Israel sudah tidak lagi membela diri. Beberapa pejabat PBB dan lembaga kemanusiaan telah melontarkan tudingan soal tindakan militer Israel di Gaza masuk kategori kejahatan perang.
Serangan tiada henti Israel memaksa lebih dari separuh penduduk Palestina yang berjumlah 2,3 juta jiwa meninggalkan rumah mereka. Sementara makanan, air bersih, dan bahan bakar menipis.
Situasi di Gaza dikhawatirkan semakin parah. Israel mengklaim sudah mengepung Gaza. Belum diketahui alasan Israel menyerang kamp pengungsi Bureij yang terletak di wilayah tengah Gaza. Seperti dilansir laman berita Al Jazeera, kamp pengungsi Bureij menampung sekitar 46.000 pengungsi Palestina.
Mereka terdaftar dalam Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) yang mengurusi pengungsi Palestina. Lokasi kamp itu beberapa kilometer di sebelah selatan Kota Gaza.
Israel menyatakan, serangan udara di Gaza menargetkan pusat komando militer Hamas yang tersembunyi di wilayah warga sipil. Israel menuding Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia. Serangan di Bureij menewaskan sedikitnya 15 orang. Puluhan orang diyakini masih terkubur di reruntuhan bangunan.
Baca juga: Evakuasi WNI Terhambat Perang Tanpa Henti di Gaza
Bukan hanya Bureij yang dihajar Israel, tetapi juga kamp pengungsi Jabaliya di wilayah utara Kota Gaza. Kamp pengungsi Jabaliya diserang Israel dari udara selama tiga hari berturut-turut.
Operasi tanpa alat medis
Para dokter yang merawat korban-korban menggambarkan pemandangan mengerikan saat mereka harus melakukan operasi tanpa alat-alat medis atau bahkan anestesi. Direktur Bangsa Anak di Rumah Sakit Kamal Adwan, Hussam Abu Safyia, menceritakan bahwa kebanyakan korban yang dibawa ke rumah sakitnya adalah anak-anak. Banyak yang mengalami luka bakar parah atau kehilangan anggota badan.
Setelah serangan pertama, Selasa (31/10/2023) lalu, Rumah Sakit Kamal Adwan menerima 40 korban yang kemudian tidak bisa diselamatkan dan 250 korban lainnya terluka. Hari kedua, jumlahnya hampir sama. Hari ketiga, serangan Israel merusak sebuah sekolah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang digunakan sebagai tempat penampungan. Ada 10 korban tewas dan 80 orang terluka.
UNRWA, yang mengelola sekolah tersebut, menyatakan, sekolah yang jadi sasaran serangan Israel itu adalah satu dari empat tempat penampungan milik PBB yang menampung hampir 20.000 orang. Sekitar 20 orang tewas di penampungan Jabaliya, 3 orang di kamp Shati dan Bureij.
”Saya belum pernah melihat kondisi separah ini sepanjang hidup saya. Banyak korban anak-anak tidak bisa diidentifikasi karena saking parahnya luka mereka. Kamar mayat rumah sakit sudah penuh sehingga orang-orang menumpuk mayat,” kata Abu Safyia kepada harian The New York Times, Kamis (2/11/2023).
Baca juga: PBB: Jeda Kemanusiaan Perkara Hidup-Mati Jutaan Warga Palestina
Militer Israel berdalih, mereka menyerang Jabaliya karena ada jaringan terowongan bawah tanah Hamas yang luas di wilayah itu.
Dokter kehilangan 2 anak
Abu Safyia menceritakan, salah satu rekan dokternya kaget melihat dua anaknya sendiri—masing-masing berusia 7 dan 9 tahun—tewas akibat serangan Israel yang menghancurkan rumahnya. Dalam suasana seperti itu, para dokter mau tak mau harus tetap bekerja di tengah keterbatasan peralatan medis dan obat-obatan.
Para dokter bahkan terpaksa mengoperasi korban luka parah tanpa anestesi atau pereda rasa sakit. Mereka hanya menggunakan obat penghilang rasa sakit yang dijual bebas, seperti parasetamol, untuk membantu meringankan rasa sakit. ”Stok antibiotik terbatas dan dokter memakai cuka dan klorin untuk mendisinfeksi luka,” ujarnya.
Abu Safyia menceritakan, salah satu rekan dokternya kaget melihat dua anaknya sendiri—masing-masing berusia 7 dan 9 tahun—tewas akibat serangan Israel yang menghancurkan rumahnya.
Teriakan anak-anak saat dioperasi sampai terdengar dari luar, kata Abu Safyia, saking sakitnya. Ini karena dokter terpaksa mengoperasi tengkorak manusia tanpa anestesi.
Baca juga : Menyelamatkan Nyawa Warga di Gaza
Bukan hanya itu. Para dokter dan perawat juga harus menggunakan senter dari ponsel mereka untuk melakukan operasi dalam kegelapan. Pasokan listrik minim karena mesin generator rumah sakit kekurangan bahan bakar. Pasokan bahan bakar ke Gaza diblokade oleh Israel dengan alasan kekhawatiran bahwa bahan bakar itu akan digunakan oleh Hamas untuk membuat persenjataan.
Generator rumah sakit hanya mampu mengaliri listrik di dua departemen, yakni unit perawatan intensif neonatal dan ruang gawat darurat anak, serta ventilator. ”Kalau bahan bakar sampai habis, rumah sakit akan berubah jadi kuburan massal,” kata Abu Safyia.
Baca juga: Bom Fosfor, Senjata Terlarang Israel dalam Perang Gaza
Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, Ashraf Al-Qudra, mengatakan bahwa hingga Kamis (2/11/2023) lebih dari 9.000 orang tewas, 3.000 orang di antaranya anak-anak. Masih banyak lagi korban yang hilang atau terkubur di bawah reruntuhan.
Al-Qudra mengatakan, sebanyak 16 dari 35 rumah sakit di Jalur Gaza sudah tidak berfungsi karena rusak atau kekurangan listrik. Bangsal bersalin di Shifa digunakan untuk merawat korban luka. Adapun ibu-ibu hamil dipindahkan ke RS Al-Hilo yang rusak akibat dibom Israel.
Ghassan Abu-Sittah, ahli bedah plastik berkewarganegaraan Inggris-Palestina yang menjadi sukarelawan di unit perawatan luka bakar Shifa, mengatakan, para pekerja medis sudah mencapai titik puncak kelelahan. Padahal, korban tewas makin banyak. ”Setiap operasi selalu melelahkan karena harus menggunakan peralatan seadanya,” ujarnya.
Warga yang mengungsi di seluruh Gaza berbondong-bondong ke rumah sakit-rumah sakit dengan harapan mereka bisa lebih terlindung dari serangan. Tetapi, ternyata Israel tak peduli dan tetap menyerang titik-titik lokasi yang berdekatan dengan rumah sakit dan tempat penampungan.
”Kadang-kadang ketika saya sudah tidak tahan, saya cari ruangan kosong, duduk, dan menangis. Mereka, para korban, adalah orang-orang yang juga punya mimpi, kehidupan, dan harapan akan masa depan. Kini, semuanya direnggut,” kata Abu Safyia. (AP/REUTERS)