Bendung China, AS Akan Bangun Terminal Peti Kemas di Sri Lanka
Washington mengalokasikan hingga 60 miliar dollar AS untuk mengutangi proyek infrastruktur negara miskin dan menengah.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
COLOMBO, RABU — Amerika Serikat akan membangun terminal peti kemas perairan dalam di Pelabuhan Colombo, Sri Lanka. Proyek itu untuk menyaingi China di Sri Lanka dan soal pendanaan pembangunan internasional.
Lembaga Pembiayaan Pembangunan Internasional (DFC) AS mengumumkan proyek itu pada Rabu (8/11/2023). DFC akan mengucurkan 553 juta dollar AS untuk proyek itu. Dana itu merupakan utang Sri Lanka kepada AS. Pinjaman itu diumumkan di tengah upaya Sri Lanka memulihkan diri dari krisis keuangan dan ekonomi.
DFC menyebut, proyek itu dianggap menjadi cara untuk menyediakan infrastruktur penting di Sri Lanka. Proyek itu diklaim berpotensi menjadikan Colombo sebagai pusat logistik kelas dunia di persimpangan rute pelayaran utama dan pasar yang berkembang.
CEO DFC Scott Nathan menyebut, utang untuk proyek itu akan meningkatkan kapasitas pengiriman, menciptakan kemakmuran bagi Sri Lanka. Anehnya, Nathan menyebut proyek itu tidak akan menambah utang Sri Lanka.
DFC akan memberikan pinjaman kepada konsorsium pengembangan terminal. Konsorsium itu terdiri dari operator pelabuhan terbesar di India, Adani Ports & Special Economic Zones Ltd dengan kepemilikan saham 51 persen; John Keells Holdings dari Sri Lanka dengan saham 34 persen; dan otoritas pelabuhan Sri Lanka dengan kepemilikan saham 15 persen.
Nathan menyebut, utang itu membuat Sri Lanka menjadi debitur terbesar kedua DFC di Indo-Pasifik. Debitur terbesar DFC di kawasan adalah India. ”Menjadi prioritas utama bagi AS untuk aktif di kawasan Indo-Pasifik,” ujarnya.
AS membuat DFC lima tahun lalu sebagai respons terhadap inisiatif pembangunan infrastruktur global besar-besaran yang dilakukan Beijing. Kampanye itu dikenal sebagai Prakarsa Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI).
Melalui BRI, Beijing menginvestasikan puluhan miliar dollar AS setiap tahun untuk membangun jalan raya, kereta api, pelabuhan, dan bandara di negara-negara berkembang. Tujuannya untuk mendorong perdagangan dan persepsi baik terhadap China.
Kontroversi
Beberapa proyek BRI disebut menimbulkan kontroversi, salah satunya adalah Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, di pantai tenggara. Sri Lanka meminjam banyak uang dari China untuk membangun pelabuhan dan infrastruktur, termasuk bandara dan kota yang dibangun di atas tanah reklamasi.
Proyek-proyek tersebut gagal menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar pinjaman. Pada 2017, Sri Lanka menyewakan pelabuhan di Hambantota ke China.
Utang Sri Lanka kepada China yang bernilai miliaran dollar AS menghambat upaya negara itu menyelesaikan permasalahan keuangannya. Hal itu sering dikutip sebagai bukti oleh para kritikus BRI yang mengklaim China terlibat dalam diplomasi perangkap utang.
Pemerintah China menolak tuduhan tersebut. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, dalam taklimat harian pada Selasa (7/11/2023) mengatakan, argumen jebakan utang dibuat untuk mengganggu dan melemahkan kerja sama China dengan negara-negara berkembang.
Nathan mengatakan, keberlanjutan dan ”kesesuaian lokal” merupakan elemen yang sangat penting dalam pekerjaan DFC. ”Kami tidak tertarik untuk membiayai proyek-proyek yang tidak akan berhasil,” katanya.
Di sisi lain, ia tidak menampik ada potensi kegagalan dan kesalahan dalam proyek yang didanai DFC. Walakin, menurut dia, kesalahan dan kegagalan itu jarang terjadi.
Menurut dia, proyek Pelabuhan Colombo merupakan investasi dalam dinamika ekonomi global, pelayaran, dan pengangkutan. Kajian menunjukkan proyek itu bisa sukses.
Badan riset William&Mary University di Virginia, AidData, menyebut AS bersaing ketat dengan China soal pendanaan pembangunan internasional. Beijing telah mengalibrasi ulang BRI menjadi lebih ramah lingkungan, lebih aman, dan berkelanjutan.
Di sisi lain, AS juga berusaha mengejar ketertinggalan dari China. AS menaikkan pinjaman, China mulai mengerem kredit. Karena itu, kesenjangan semakin mengecil.
Setiap tahun, Washington mengalokasikan hingga 60 miliar dollar AS untuk mengutangi proyek infrastruktur di negara miskin dan menengah. Sebaliknya, China menyediakan rata-rata 80 miliar dollar AS per tahun.
Direktur Eksekutif AdiData Bradley Parks mengatakan, China mendominasi pembiayaan infrastruktur global dengan proyek-proyek yang lebih cepat dan lebih besar dalam 20 tahun terakhir. Sistem tersebut kini dimulai kembali dengan upaya perlindungan lingkungan, sosial, dan tata kelola yang lebih ketat. ”Temuan ini menjadi hal penting karena pesaing China di pasar infrastruktur global menawarkan keselamatan, bukan kecepatan,” ujarnya.
Kini, Beijing sedang menata ulang proses pengucuran utangnya dengan mempertimbangkan keamanan dan kecepatan penyaluran. ”Beijing beberapa langkah lebih maju dibandingkan para pesaingnya di pasar infrastruktur global,” ujarnya.
Beijing dinilai fokus memberikan keinginan para pemimpin di negara-negara berkembang: pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur berskala besar dengan cepat tanpa tingkat risiko yang terlalu tinggi. ”Apakah AS akan mampu melakukan hal yang sama adalah sebuah tanda tanya besar,” ujarnya (AP/REUTERS)