Rencana pertemuan Biden dan Xi diharapkan membawa suasana positif di tengah kelesuan ekonomi dunia akibat situasi geopolitik yang panas. Jika gagal, prospeknya akan suram.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
SAN FRANCISCO, MINGGU — Pertemuan 21 negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC diharapkan akan memberikan angin segar pada perekonomian global yang tengah lesu. Di luar pertemuan itu, sesungguhnya yang dinanti-nanti adalah pertemuan dua pemimpin raksasa ekonomi dunia, yaitu Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Pertemuan Xi dan Biden dijadwalkan pada Rabu (15/11/2023) di sela-sela KTT APEC yang berlangsung di San Francisco, AS. ”Mencegah memburuknya hubungan ekonomi kedua negara sudah menjadi kemenangan bagi mereka,” kata Eswar Prasad, profesor kebijakan perdagangan Universitas Cornell, AS, Minggu (12/11/2023). Jika digabungkan, AS-China memproduksi lebih dari 40 persen barang dan jasa dunia.
Gedung Putih meredam euforia yang muncul menjelang pertemuan Xi dan Biden dengan menyatakan tidak mengharapkan adanya terobosan dari pembicaraan mereka berdua. Pertemuan di San Francisco merupakan yang pertama sejak Xi-Biden bertemu terakhir kali pada KTT G20 di Nusa Dua, Bali, tahun 2022.
Banyak pihak berharap hubungan AS-China bisa mencair, seperti cairnya hubungan China-Australia baru-baru ini. Australia dan China meredakan ketegangan setelah hampir tiga tahun berseteru melalui kunjungan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Beijing dan bertemu Xi.
Prasad mengatakan, perselisihan ekonomi AS dan China di tengah situasi sulit menambah tekanan pada perekonomian global. ”Perselisihan kedua negara memperburuk situasi negatif yang sudah terjadi akibat berbagai guncangan geopolitik pada perekonomian dunia,” ujarnya.
Hubungan AS-China memburuk selama beberapa tahun sebelum puncaknya pada 2018. Kala itu mantan Presiden Donald Trump mengobarkan perang dagang dengan China. Pemerintahan Trump mulai mengenakan tarif pada barang-barang yang masuk dari China sebagai hukuman atas tindakan China yang mencoba mengambil alih supremasi teknologi dari AS.
Trump juga menuding Beijing terlibat spionase dunia maya dan secara tidak pantas meminta perusahaan asing menyerahkan rahasia dagang sebagai harga untuk mendapatkan akses ke pasar China (Kompas.id, 23 September 2018). China membalasnya dengan tindakan serupa, mengenakan pajak yang tinggi sehingga membuat barang-barang AS lebih mahal bagi pembeli di China.
WIlliam Zarit, Ketua Kamar Dagang AS di China, mengatakan, perang dagang merusak relasi saling menguntungkan kedua negara yang sudah lama terjalin. Zarit meminta agar kedua pemerintahan duduk bersama dan berunding (Kompas.id, 23 September 2018).
Ketika Biden menjabat presiden, banyak orang mengira tensi AS-China akan menurun. Akan tetapi, pemerintahan Biden tetap mempertahankan sebagian besar kebijakan perdagangan Trump yang konfrontatif, termasuk soal tarif. Menurut perhitungan Chad Bown dari Peterson Institute for International Economics, Pemerintah AS mengenakan pajak impor lebih dari 19 persen terhadap barang-barang dari China.
Nilai itu naik lebih dari 16 persen dibandingkan awal tahun 2018 sebelum Trump memberlakukan tarifnya. Begitu juga sebaliknya di China, pajak atas barang impor dari AS ke negara itu mencapai 21 persen.
Dalam beberapa hal, perang dagang di masa pemerintahan Biden lebih tinggi dibandingkan pada masa Trump berkuasa. Keputusan kabinet Biden memberlakukan kontrol ekspor yang lebih ketat atas cip komputer beserta peralatan pendukungnya membuat Beijing berang.
Sebagai balasan, pada Agustus, Beijing membatasi perdagangan mineral penting, yakni galium dan germanium, dengan cara pengetatan izin ekspornya ke luar negeri. Galium dan germanium adalah bahan penting dalam proses produksi cip dan sel surya.
Tak hanya itu, Beijing juga menggerebek kantor perusahaan konsultan AS, Capvision dan Grup Mintz di China hingga melakukan penelitian khusus terhadap karyawan konsultan Bain & Co di Shanghai. Mereka melakukan hal yang sama pada produsen cip asal AS, Micron, dengan alasan kontraspionase. Hasilnya, ekspor barang China ke AS menurun hingga 24 persen sepanjang September 2023 dibandingkan periode yang sama tahun 2022.
Keretakan hubungan antara Beijing dan Washington menggiring banyak negara yang memiliki hubungan dengan keduanya ke dalam situasi rumit. Peribahasanya, gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan, fragmentasi ekonomi seperti diperlihatkan kedua raksasa ekonomi dunia itu berdampak buruk bagi dunia. Lembaga tersebut memperkirakan, hambatan perdagangan yang lebih tinggi akan mengurangi hasil ekonomi global sebesar 7,4 triliun dollar AS.
Kini situasinya menjadi lebih buruk. Dengan naiknya pembatasan baru terhadap perdagangan, IMF memperkirakan perdagangan internasional hanya tumbuh 0,9 persen pada tahun ini dan 3,5 persen pada 2024. Angka ini turun tajam dari rata-rata tahunan 2000-2019 sebesar 4,9 persen.
Pemerintahan Biden membela diri atas berbagai tindakannya dan menyebut bahwa mereka tidak berusaha melemahkan perekonomian China. Pada Jumat, Menteri Keuangan AS Janet Yellen bertemu dengan Wakil Perdana Menteri He Lifeng di San Francisco dan berupaya menyiapkan panggung untuk KTT Biden-Xi.
Keinginan bersama kami adalah menciptakan persaingan yang ”setara dan hubungan ekonomi berkelanjutan, bermakna, dan saling menguntungkan,” kata Yellen.
Xi juga dinilai memiliki kepentingan untuk menormalisasi hubungan ekonomi AS-China. Perekonomian China disebut berada di bawah tekanan, yang ditandai dengan terpuruknya sektor real estat, meningkatnya jumlah penganggur di kalangan anak muda, dan melemahnya daya beli konsumen. Penggerebekan terhadap bisnis asing telah membuat takut perusahaan dan investor internasional.
”Tantangan serius yang dihadapi perekonomian China dan banyaknya perusahaan AS yang meninggalkan negara itu membuat Xi perlu meyakinkan investor bahwa negaranya masih tempat yang menguntungkan untuk berbisnis,” kata Wendy Cutler, Wakil Presiden Asia Society Institute dan mantan negosiator perdagangan AS. Dia menilai, hal ini tidak akan mudah.
Namun, di luar persaingan ekonomi, ketegangan AS-China semakin meruncing. Situasi di Laut China Selatan, soal demokrasi di Hong Kong, isu Taiwan, hingga perebutan pengaruh di Pasifik adalah beberapa permasalahan di luar perang dagang yang membuat hubungan AS-China tegang. Tahun depan hubungan keduanya diperkirakan semakin mengeras bersamaan dengan pemilihan presiden di AS dan Taiwan.
Anggota parlemen AS dari Partai Demokrat, Raja Krishnamoorthi, menyatakan optimistis soal peluang membaiknya hubungan AS-China pascapertemuan Xi-Biden. ”Kita harus memberikan kesempatan pada kemungkinan tersebut. Itulah yang saya harap bisa kita lihat dari pertemuan ini,” ujarnya. (AP)