Biden-Xi Mengatur ”Benci tapi Rindu” di Bibir Pasifik
Karena kapasitas ekonominya, AS-China seperti orangtua dalam keluarga. Jika orangtua saling mengabaikan, anak-anak telantar. Dunia butuh AS-China akur.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Perekonomian dunia bisa kehilangan 502,8 miliar dollar Amerika Serikat pada 2023. Pertemuan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping, Rabu (15/11/2023) siang atau Kamis dini hari WIB, di San Francisco berpeluang memangkas potensi kehilangan itu.
Biden-Xi bertemu di sela Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Anggota APEC mengendalikan 60 persen produk domestik bruto (PDB) global. Kawasan ini merupakan yang termakmur dan berkontribusi penting bagi perekonomian global.
Di antara kekuatan besar di Pasifik, AS-China paling dominan. Dari 100,5 triliun dollar PDB global 2022, sebesar 43,4 triliun dollar AS dikendalikan AS-China.
Sayangnya, dalam proyeksi versi Oktober 2023, Dana Moneter Internasional (IMF) tetap memasukkan sengketa AS-China sebagai salah satu faktor penyebab pertumbuhan PDB global terpangkas pada 2023. Dari 3,5 persen pada 2022, PDB global ditaksir hanya tumbuh 3 persen pada 2023.
Mengacu pada data IMF dan Bank Dunia, pertumbuhan PDB AS-China 2024 akan sama buruknya. Kondisi itu tidak baik bagi Biden dan Xi.
Biden harus menghadapi pemilu pada 2024. Sementara Xi, mengacu pada data IMF, harus menahan laju penurunan pertumbuhan PDB. Meski tetap lebih tinggi dari AS, mengacu pada data IMF, pertumbuhan ekonomi China menunjuk tren menurun sejak Xi menjabat.
Peneliti tamu pada Princeton University, Tong Zhao, menyebut Xi dan para pemimpin China sadar Beijing menghadapi tantangan serius yang belum pernah ada. ”Bukan saatnya bagi China untuk mengacaukan keadaan. Para pemimpin China sadar itu,” katanya.
Saling butuh
China butuh AS setidaknya karena dua alasan. Mengacu pada data Bank Dunia, AS menyerap 17 persen ekspor China. AS dan sekutunya juga masih menjadi sumber utama impor teknologi China.
Embargo ekspor teknologi AS membuat China harus mengalokasikan sumber daya untuk mencari sumber pengganti. Beijing harus mengucurkan subsidi ratusan miliar dollar AS untuk mempercepat kemandirian teknologi.
Akses pada teknologi dan pasar AS dan sekutunya memang menjadi salah satu kunci percepatan pertumbuhan China. Saat aksesnya dibatasi, pertumbuhan ekonomi ikut melambat pula.
Di sisi lain, AS dan sekutunya butuh China sebagai pabrik untuk aneka hal. AS dan sekutunya juga kelimpungan karena China praktis mengendalikan rantai pasok aneka logam tanah jarang dan mineral penting. Embargo oleh China akan menyulitkan produksi aneka produk teknologi di AS dan sekutunya.
Bagi Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara dan kawasan lain, persaingan AS-China berdampak buruk. AS-China menyerap hampir separuh ekspor Indonesia. Negara-negara lain di Asia Pasifik juga mengandalkan AS-China sebagai tujuan ekspor dan asal impor barang modal.
Pelambatan pertumbuhan AS-China membuat impor mereka berkurang pula. Dampaknya, berbagai negara kekurangan penghasilan untuk menjaga pertumbuhan.
Perang dagang juga membuat konsumen harus membayar aneka barang dengan harga lebih mahal. Pasokannya juga menjadi lebih terbatas.
Peredaan ketegangan
Pakar China pada Carnegie Endowment for International Peace, Paul Haenle, menyebut bahwa Indo-Pasifik membutuhkan peredaan ketegangan. Pertemuan Xi-Biden bisa berkontribusi pada peredaan itu. ”Ada tuntutan di kawasan, juga secara global, agar AS-China mengelola ketegangan mereka secara bertanggung jawab,” ujarnya kepada The Financial Times.
Sementara dosen Georgetown University, Dennis Wilder, mengingatkan untuk tidak terlalu banyak berharap. Faktanya, Biden-Xi tidak dijadwalkan mengeluarkan pernyataan bersama selepas bertemu. Hal itu menunjukkan, Beijing-Washington masih jauh dari penyelesaian masalah mendasar mereka.
Adapun dosen Stanford University, Oriana Skylar Mastro, menyebut, Biden dan Xi seperti pasangan yang sepakat bercerai. Meski demikian, mereka sepakat tetap tampil bersama di muka umum. ”Tujuan pertemuan (Biden-Xi) untuk menunjukkan mereka bersedia bekerja sama. Saya tidak yakin dunia akan percaya itu,” katanya.
Peneliti American Enterprise Institute, Zack Cooper, menyebut China-AS sama-sama terus melakukan hal berbeda dari ucapannya. ”Saat AS-China mengatakan akan mengelola hubungan, mereka akan melakukan sebaliknya,” ujarnya.
Duta Besar China di Washington Xie Feng juga mengingatkan untuk tidak terlalu berharap dari pertemuan Biden-Xi. ”Kami masih menghadapi tantangan besar, dan jalan masih panjang untuk menstabilkan dan meningkatkan hubungan bilateral,” ujarnya.
Karena itu, hal paling maksimum yang bisa diharapkan dari pertemuan Biden-Xi adalah kesediaan AS-China tetap berkomunikasi. Karena kapasitas ekonominya, AS-China seperti orangtua dalam keluarga. Jika orangtua saling mengabaikan, anak-anak bisa telantar dan kelaparan. (AFP/REUTERS)