Mencicipi Kereta Komuter di Tokyo, Serasa Memasuki Jaringan Laba-laba
Dengan jaringan perkeretaapian perkotaan yang sudah terbangun lebih dari 100 tahun, meski rumit dengan banyak lintasan saling beririsan, warga Tokyo dimudahkan saat bepergian menggunakan angkutan umum.
Hari Rabu (15/11/2023) pagi itu terasa masih dingin saat kami, rombongan jurnalis asal Indonesia dan tim MRT Jakarta, bergegas menuju Stasiun Shibuya, Tokyo, Jepang. Suhu berada di angka 12 derajat celsius. Saat ini Jepang sedang musim gugur.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.00. Seperti di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), Tokyo sudah hiruk-pikuk pada jam sibuk sepagi itu. Para pekerja kantoran, eksekutif, dan semua berjalan terburu-buru menuju stasiun. Terasa waktu bergulir sangat cepat.
Kami pun terbawa irama pagi yang seolah tak memberi jeda untuk bernapas sebentar pun. Tak hanya bergegas, kaki ini serasa sudah setengah berlari. Kami tak mau kalah memacu langkah untuk segera dan cepat sampai stasiun.
Pagi itu, ada agenda pertemuan dengan perwakilan dari JR East, salah satu perusahaan kereta api di Jepang. Pertemuan akan berlangsung di kantor yang terletak di kawasan Shinjuku. Ini bagian dari agenda MRT Fellowship Program (MFP) Jakarta di Tokyo, 12-19 November 2023.
Jarak antara Shibuya dan Shinjuku sekitar 5 kilometer. Di peta jaringan perkeretaapian Tokyo, Shinjuku bisa dicapai dengan melewati empat stasiun dari Stasiun Shibuya.
Setelah berjalan sekitar 12 menit, sampailah kami di Stasiun Shibuya. Tomohiro Takeuchi, konsultan OCG Jepang yang turut mendampingi perjalanan kami, mengatakan bahwa waktu perjalanan kaki 12 menit tergolong lama. ”Warga Jepang biasa menempuh 8-9 menit menuju stasiun terdekat,” katanya.
Baca juga: Lokasi Depo MRT Jakarta Fase 2B Dirancang di Ancol
Mendekati stasiun, terlihat kepadatan penumpang yang mengantre memindai kartu perjalanan di gerbang pembayaran. Begitu masuk area berbayar di stasiun (concourse), kebingungan sedikit melanda. Mencermati jaringan kereta api perkotaan yang terpampang di dinding, terlihat lintasan-lintasan saling beririsan atau berdekatan dengan warna-warna yang berbeda.
Peta jaringan
Di peta jaringan itu juga terlihat berbagai angka. Kami seperti melihat jaringan laba-laba.
”Saya bingung membaca jaringan kereta api perkotaan di Tokyo ini. Ruwet,” ujar Imam, salah satu jurnalis yang turut dalam MFP 2023 ke Tokyo.
Kebingungan itu bertambah dengan adanya pengerjaan proyek revitalisasi di dalam dan di luar Stasiun Shibuya. Beberapa titik ditutup papan-papan. Sesaat bingung, kami akhirnya menemukan juga area peron, tempat kami menanti kedatangan kereta.
Kali itu kereta yang akan kami naiki adalah Yamanote Line. Ini merupakan layanan kereta melingkar, atau dikenal sebagai circle line, yang dioperasikan oleh JR East.
Ternyata, di stasiun bukan kami saja yang kebingungan. Beberapa warga lokal yang sudah masuk ke area stasiun juga terlihat bingung. ”Sebenarnya tidak perlu bingung,” jelas Manajer Tokyo Metro Museum Koichi Okubo saat ditemui, Selasa (14/11/2023).
Tips agar tidak bingung
Jadi, kata Okubo, manakala memasuki sebuah stasiun, penumpang diminta memperhatikan operator dan lintasan layanan yang akan dipergunakan. Setiap operator memiliki warna sendiri. Nama operator biasanya disingkat dalam satu atau dua huruf. Sayangnya, petunjuknya memakai huruf Kanji, yang menyulitkan warga asing.
Jaringan perkeretaapian di Metropolitan Tokyo sudah berusia 100 tahun lebih. Puluhan lintasan pelayanan (line), melibatkan belasan perusahaan kereta api swasta sebagai operator, berupaya memenuhi kebutuhan transportasi warga setempat.
Jaringan perkeretaapian di Metropolitan Tokyo sudah berusia 100 tahun lebih. Puluhan lintasan layanan.
Okubo mencontohkan, layanan lintasan melingkar oleh perusahaan perkeretaapian perkotaan JR East berwarna hijau. Sementara layanan lintasan lain oleh perusahaan keretaapi perkotaan Tokyo Metro berwarna biru.
Baca juga: Dorong Peningkatan Pengguna MRT Jakarta, Disusulkan Tarif Fleksibel
Warna dan huruf, menurut Okubo, menjadi patokan bagi penumpang untuk mencari arah lintasan pelayanan kereta yang dituju. Di setiap stasiun, sebelum masuk ke gerbang pembayaran, terdapat peta jaringan layanan.
Dalam peta itu tercantum nama stasiun yang menjadi titik keberadaan kita, begitu juga stasiun-stasiun lain dalam satu lintas pelayanan. Penumpang bisa mengecek posisinya dan bisa mengurutkan stasiun-stasiun yang bakal dilewati untuk mencapai tujuan atau di stasiun mana yang menjadi titik harus berpindah kereta.
Di gerbang pembayaran, saat hendak memindai kartu, penumpang bisa melihat angka peron tempat pelayanan kereta menuju stasiun tujuan di papan petunjuk. Seusai memindai, penumpang bisa menuju peron sesuai yang tertera di papan. ”Semudah itu. Kalau masih bingung, bisa melihat aplikasi,” jelas Okubo.
Setiap operator memiliki aplikasi. Sebelum berangkat ke stasiun, jelas Okubo, ada baiknya penumpang mengecek arah dan cara menuju stasiun tujuan dari stasiun keberangkatan. Begitu sampai stasiun keberangkatan, penumpang tidak bingung.
Hanya memang, kata Okubo, di beberapa stasiun transit besar dan supersibuk, seperti Stasiun Shibuya, Stasiun Shinjuku, dan Stasiun Tokyo, kebingungan bisa saja muncul.
Sebagai gambaran, di Stasiun Shinjuku saja ada 36 peron tempat 12 lintas pelayanan kereta perkotaan dan kereta bawah tanah (subway)yang dihadirkan oleh lebih dari 10 operator. Tentu saja, warna-warna dan huruf dari setiap operator yang mewakili setiap lintasan pelayanan dałam peta jaringan menjadi begitu banyak.
Dengan 36 peron, melewati koridor menuju gerbang pembayaran setiap lintasan pelayanan adalah perjuangan tersendiri. Kita tinggal mengikuti tanda-tanda yang mencantumkan warna dan huruf. Namun, dengan ada 36 peron, berarti kita mesti mengikuti koridor yang naik dan turun di bawah tanah serta juga berbelok-belok untuk berpindah peron.
Harus paham peta
”Di sini saya mengerti, pemahaman akan peta layanan menjadi sangat penting. Selain itu, juga harus cermat melihat penanda di stasiun. Di peta sudah dijelaskan mana layanan JR East, mana Tokyo Metro,” ujar Amir, jurnalis lainnya peserta MFP 2023.
Ia lalu membandingkan kepadatan di Stasiun Manggarai, stasiun transit di Jakarta. Sebagai stasiun transit untuk layanan perkeretaapian komuter, Stasiun Manggarai hanya melayani dua lintasan pelayanan oleh satu operator, PT KAI Commuter. Sementara di Stasiun Shinjuku ini, ada 12 lintasan pelayanan oleh 10 operator!
Di Stasiun Manggarai, penumpang tinggal naik dan turun lantai untuk berpindah atau berganti kereta. Ini pun masih sering kali ditemui penumpang bingung karena kurang memahami peta layanan. Bisa juga ini keran petunjuk untuk berpindah dan menuju peron layanan kurang.
Baca juga: Siasat MRT Jakarta Gaet Lebih Banyak Penumpang
Di Tokyo, setelah mendapatkan peron yang dituju dan naik kereta, yang mesti dicermati selanjutnya adalah stasiun yang akan dilewati. Pengumuman di dalam kereta akan menyebutkan nama-nama stasiun yang dilewati. Sementara melalui layar monitor di dalam kereta, penumpang bisa melihat setiap stasiun akan diikuti dengan angka yang menunjukkan urutan stasiun dalam layanan itu.
Di dalam stasiun dan di kereta di Tokyo, meski sangat padat penumpang, suasana di stasiun dan di dalam kereta terlihat tenang dan ’khusyuk’.
Selain keruwetan peta jaringan, ada hal lain yang berbeda dengan suasana di Jakarta. Di dalam stasiun dan di kereta di Tokyo, meski sangat padat penumpang, suasana di stasiun dan di dalam kereta terlihat tenang dan ”khusyuk”.
”Tidak terdengar ada percakapan ramai, seperti lebah berdengung. Justru kita yang ribut ngobrol, dilihatin oleh warga lokal,” kata Tiara, peserta MFP 2023.
Begitu turun dari kereta, perjuangan berikutnya adalah mencapai gerbang pembayaran untuk keluar dari stasiun. Kepadatan pagi membuat antrean panjang di eskalator.
Dengan mengikuti petunjuk warna dan angka, sebagian dari kami berhasil mencapai gerbang pembayaran. Namun, beberapa dari kami justru tersesat ke arah lain karena koridor naik-turun dan faktor kepadatan penumpang.
Padat, tetapi tertib
Hal yang mengagumkan, kata Tiara, meski padat, warga Jepang sangat tertib. Terutama dalam hal mengantre, etika menggunakan eskalator—sisi kiri untuk berdiri diam, sedangkan sisi kanan untuk berjalan—hingga kebersihan stasiun meski tak ada tempat sampah.
Cara yang sama, yaitu menggunakan angkutan kereta, kami terapkan lagi saat harus berpindah ke lokasi acara yang lainnya. Usaha untuk ”menjadi warga lokal” Tokyo dengan naik kereta api perkotaan dan kereta bawah tanah belum terlalu berhasil.
Setelah beberapa hari menggunakan kereta perkotaan untuk menuju atau berpindah lokasi studi banding kelas MFP, ada saja di antara kami yang tersesat atau bingung. Namun, setidaknya kami mencoba. Dari pengalaman ini, satu pelajaran penting agar tidak bingung dan tersesat saat menggunakan jaringan kereta api di Tokyo: pemahaman akan peta menjadi kunci.