Ambisi Amerika Serikat untuk menggelontorkan IPEF sebagai penyeimbang proyek BRI milik China, terhadang dua hal, yaitu pemilihan presiden AS 2024 dan penolakan sejumlah negara atas pasal dalam perjanjian.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Washington, Sabtu — Dua tantangan berat menghadang Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik atau IPEF, program kerja sama ekonomi yang digagas Pemerintah Amerika Serikat di Indo-Pasifik, yakni tahun politik jelang pemilihan umum tahun 2024 nanti dan penolakan sejumlah negara untuk berkomitmen terhadap sejumlah pasal perjanjian kerja sama ekonomi itu. Pengalaman buyarnya kerja sama ekonomi Kemitraan Trans-Pasifik atau TPP membayangi upaya Gedung Putih mewujudkan IPEF sebagai penantang program kerja sama ekonomi China, Inisiatif Sabuk dan Jalan atau BRI.
Kurang berhasilnya negosiasi di pilar perdagangan yang dilakukan disela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di San Francisco, Amerika Serikat, lebih mengemuka dibanding dengan keberhasilan negosiasi dua pilar lain yang sifatnya tidak mengikat, yaitu energi bersi dan anti-korupsi. Meski ada janji dari negara-negara mitra IPEF meninjau ulang pilar perdagangan, hal itu dinilai bakal IPEF di masa depan.
Wendy Cutler, mantan kepala negosiator Departemen Perdagangan AS, Jumat (17/11/2023), mengatakan, pengalaman membuktikan, menjelang pemilihan umum, negosiasi akan sulit dilakukan karena berhitung dengan situasi politik di masing-masing negara, khususnya AS. Dia mengatakan, meski sempat optimistis dengan TPP pada era Barrack Obama, pergantian rezim ke Donald Trump membuat AS hengkang dari perjanjian kerja sama ekonomi tersebut.
“TPP menyerah pada politik tahun pemilu 2016. Menurut saya, semua orang berusaha memberikan yang terbaik dalam hal ini, termasuk mitra dagang kami. Akan tetapi, secara pribadi mereka cukup putus asa,” kata Cutler, saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden Pusat Kebijakan Masyarakat Asia (Asia Society) Washington.
Beberapa pejabat yang mengetahui secara detil pembahasan pilar-pilar dala IPEF, kepada Reuters mengatakan, perundingan soal peningkatan standar ketenagakerjaan dan lingkungan hidup serta cara untuk menegakkan kepatuhan (compliance) terhadap aturan yang diusulkan oleh AS, mendapat penolakan dari sejumlah negara. Sampai tiga hari menjelang KTT APEC, menurut sumber Reuters, hanya satu dari empat pilar IPEF, yakni penguatan rantai pasok yang sudah disepakati oleh seluruh negara yang tergabung dalam kerja sama ini, khususnya soal sistem peringatan dini terhadap potensi gangguan pasokan yang berkaca pada pandemi Covid-19.
Cutler mengatakan, para negosiator sadar, prospek untuk menyelesaikan negosiasi pada poin-poin tersisa di pilar perdagangan tidak akan efektif jelang tahun pemilu.
Yang menjadi substansi kekhawatiran di dalam negeri dan membuka peluang munculnya gejolak adalah persoalan pemotongan tarif dan peningkatan akses pasar bagi negara-negara Asia. Hal itu dikhawatirkan akan merugikan perekonomian dan lapangan pekerjaan di AS.
Jake Colvin, Presiden Dewan Perdagangan Luar Negeri AS, sebuah kelompok perusahaan perdagangan besar di AS, mengatakan, menilai, substansi yang ditawarkan dinilainya tidak ambisius, tanpa memberi penjelasan mendetail mengenai substansi yang dimaksud. Dia juga menyebut, keinginan untuk memuaskan kelompok buruh dan aktivis lingkungan dengan memberi perlindungan pada persoalan perburuhan tidak dibarengi dengan manfaat yang lebih besar bagi dunia usaha negara-negara yang ikut serta dalam negosiasi. “Bila kondisi itu terus terjadi, pilar perdagangan akan sulit mencapai hasil yang diinginkan,” katanya.
Mengutip laman CNBC, selain masalah usia, kondisi perekonomian Amerika Serikat akan menjadi substansi yang bisa menjadi penentu bagi calon pemilih untuk menggunakan suaranya dalam pemilu nanti. Hasil survei yang dilakukan New York Times dan lembaga Siena, memperlihatkan bahwa 81 persen pemilih terdaftar menyatakan, kondisi perekonomian AS ada dalam posisi sedang atau buruk. Hanya 19 persen yang menyatakan kondisi perekonomian baik atau sangat baik.
Joe Biden, yang tengah dihadapkan dengan persoalan di Ukraina, persaingan dengan China di bidang perdagangan hingga konflik Palestina-Israel di Gaza, berupaya untuk terus mempromosikan keberhasilan program ekonominya, seperti pertumbuhan nilai produk domestik bruto sebesar 4,9 persen di kuartal terakhir, tingkat inflasi indeks harga konsumen (CPI) yang turun 60 persen dari puncaknya tingkat pengangguran tetap di bawah empat persen selama 20 bulan terakhir.
Namun, para responden menyebut, mereka tidak merasakan manfaat dari apa yang disebut sebagai soft landing (perlambatan ekonomi) perekonomian, setelah kehancuran karena pandemi Covid-19.
Jajak pendapat New York Times/Siena menguatkan hasil survei yang dilakukan oleh NBC News, September. Hasil jajak pendapat NBC News memperlihatkan tingkat kepuasan 49 persen responden terhadap program dan hasil kerja kabinet Donald Trump, dibandingkan 28 persen yang menyatakan puas atas kinerja program ekonomi Joe Biden. Para pemilih independen di dalam jajak pendapat tersebut memberi Partai Republik keunggulan 25 poin dalam hal menangani perekonomian.
Kevin Munoz, salah satu juru bicara kampanye Joe Biden menyebut jajak pendapat itu tidak bisa memprediksi tingkat kepuasan yang terjadi tahun depan. “Prediksi lebih dari satu tahun ke depan cenderung terlihat sedikit berbeda setahun kemudian,” kata Kevin Munoz, sebelum menyoroti beberapa contoh jajak pendapat awal yang terbukti salah. “Kami akan menang pada tahun 2024 dengan menundukkan kepala dan melakukan pekerjaan, bukan dengan mengkhawatirkan pemilu,” katanya. (Reuters)