Menantang "Kekuatan Tengah" Indonesia
Indonesia akan menghadapi isu kedaulatan digital, ketidakpastian ekonomi, iklim, dan persaingan AS-China. Perlu strategi kebijakan luar negeri yang jelas.
Jakarta, Kompas - Indonesia akan menghadapi setidaknya empat tantangan global, yakni kedaulatan digital, ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, dan persaingan Amerika Serikat dengan China. Untuk menghadapi itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki kebijakan luar negeri sesuai. Arahnya, agar kapasitas Indonesia sebagai kekuatan menengah menjadi efektif.
Masalahnya, tidak mudah menjadi kekuatan tengah. Dibutuhkan lebih banyak modalitas dan kekuatan. Ini yang Indonesia tidak punya. Hal ini mengemuka dalam seminar internasional ”Jokowi’s Departure: Charting Out Indonesia’s Foreign Policy Post-2024 Election” yang diadakan The Habibie Center pada Selasa (21/11/2023), di Jakarta.
Baca juga: Indonesia dan Ekosistem Perdamaian Dunia
Hadir sebagai pembicara Dewan Direksi The Habibie Center Dewi Fortuna Anwar, Kepala Departemen Hubungan Internasional Pusat Studi Strategi dan Internasional (CSIS) Lina Alexandra, Penasihat Senior LAB45 dan pengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Makmur Keliat, Direktur Eksekutif Pusat Penelitian ASEAN di Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah, Direktur Eksekutif Pusat Taiwan untuk Studi Keamanan di National Chengchi University Fu-Kuo Liu, dan Direktur Institut Pascasarjana Universitas Pertahanan Nasional Keamanan Internasional Taiwan Hon-Min Yau.
”Menjadi negara kekuatan tengah itu artinya punya kemampuan menggoyang tatanan global dan memiliki strategi luar negeri jelas. Kalau mau menjadi kekuatan tengah, Indonesia harus memanfaatkan platform multilateral,” kata Lina.
Baca juga: Indonesia untuk ASEAN, ASEAN untuk Indonesia
Dalam teori hubungan internasional, kekuatan tengah adalah negara yang memegang posisi dalam spektrum kekuatan internasional yang berada di ”tengah”—di bawah negara adidaya—yang memiliki pengaruh jauh lebih unggul daripada negara-negara lain. Karena pengaruh yang kuat, kekuatan tengah ini juga mampu menentukan atau membentuk peristiwa-peristiwa dunia. Sebuah negara merupakan kekuatan tengah atau bukan dilihat berdasarkan kemampuan dan tingkat ancaman yang dihadapi.
Dewi mengatakan, berdasarkan itu, Indonesia termasuk negara dengan tingkat ancaman rendah dan tingkat kemampuan yang juga rendah. Dengan posisi itu, pendekatan yang diambil cenderung normatif. Masalahnya, tidak bisa selamanya bergantung pada pendekatan yang normatif. Dibutuhkan kebijakan dan tindakan konkret jika ada isu-isu dunia yang penting dan genting.
”Indonesia memainkan peran penting di agenda setting di level global. Contohnya, UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Indonesia, kan, seharusnya memprioritaskan perjuangan UNCLOS,” ujarnya.
Sementara itu, Makmur menilai, Indonesia tampaknya tidak berupaya menjadi penyeimbang kekuatan, tetapi mendorong keseimbangan kepentingan. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukannya. Dilihat dari segi anggaran di Kementerian Luar Negeri RI saja, jumlahnya terlalu sedikit dibandingkan kementerian lain.
Baca juga: Indonesia dan Negara Asia Tenggara Lainnya Butuh AS-China yang Sehat
Kalau mau diperkuat kapasitasnya, anggaran harus ditambah. Karena tak punya kapasitas besar, Indonesia masih memiliki Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). ”Indonesia sudah banyak berinvestasi untuk memperkuat ASEAN dan ASEAN tetap relevan dan efektif,” ujarnya.
ASEAN
Tentang investasi itu, Indonesia, kata Dewi, ikut berperan penting dalam membuat ASEAN efektif atau tidak efektif. Dibandingkan era awal terbentuknya ASEAN, kini ASEAN menjadi tidak terlalu bergantung pada hubungan antarpemimpin negara anggota dan menjadi lebih formal dan terlembaga. Ini yang membuatnya menjadi semakin kuat.
ASEAN memang masih relevan dan akan tetap bisa bertahan di tengah dinamika geopolitik global karena sudah jelas struktur dan mekanismenya. ”Hanya saja, apakah ASEAN itu akan bisa menjalankan peran dan fungsinya secara efektif serta membantu menyelesaikan masalah-masalah, itu lain persoalan,” kata Dewi.
Prioritas, preferensi, dan gaya para pemimpin Indonesia di masa depan serta sejauh mana komitmen mereka untuk memperkuat regionalisme ASEAN itu, kata Dewi, sangatlah penting. Pemimpin Indonesia yang baru diharapkan akan terus mementingkan penguatan regionalisme ASEAN untuk menjamin stabilitas kawasan dan berkontribusi pada kemakmuran kawasan.
Baca juga: ASEAN Tak Ingin Indo-Pasifik Jadi Teater Rivalitas
Meski ASEAN sudah mengembangkan momentum kelembagaannya sendiri, kinerja ASEAN masih bergantung pada para pemimpinnya. Peran kepemimpinan Indonesia di ASEAN juga bergantung pada pemimpin tertingginya.
Visi capres
Jika dilihat dari visi misi kebijakan luar negeri, para pembicara menilai ketiga calon presiden RI belum ada yang memiliki rencana dan strategi yang jelas. Lina memperkirakan tidak akan ada perubahan dalam kebijakan luar negeri Indonesia pascapemilu.
Dari visi misi kebijakan luar negeri ketiga capres, kemungkinan mereka akan melanjutkan kebijakan luar negeri yang sudah diambil pemerintahan Presiden Joko Widodo. Itu artinya, fokusnya masih akan berorientasi domestik dan menitikberatkan ekonomi.
Sekalipun ketiganya menekankan kebijakan luar negeri bebas dan aktif, tetap tidak jelas bagaimana ketiganya akan mempraktikkannya.
Prinsip bebas aktif itulah yang, kata Reza, harus diperkuat menjadi kebijakan luar negeri yang bebas, aktif, dan kreatif. Kreatif ini merujuk pada upaya-upaya Indonesia menjadi kekuatan tengah yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh kuat di kancah internasional. Selain itu, mampu memanfaatkan posisi geopolitik Indonesia, memiliki jaringan global kuat, dan menguatkan pendekatan soft power.
”Pertanyaan besarnya adalah bagaimana Indonesia mengidentifikasi dirinya sendiri di dunia hari ini dan di masa depan? Kita mau menjadi negara yang dikenal sebagai pencipta perdamaian, penengah, atau negara yang bisa menjembatani berbagai persoalan?” tanya Reza.
Makmur mengakui, isu kebijakan luar negeri memang belum tentu akan memberikan jaminan capres menang dalam pemilu. Namun, jika isu-isu internasional atau kebijakan luar negeri dikaitkan dengan isu-isu dalam negeri, hal itu dimungkinkan karena bisa dipolitisasi.
Seperti isu transisi energi, tidak ada capres yang membicarakan alternatif lain, misalnya membangun energi nuklir. ”Tidak ada capres yang membicarakan hal itu, padahal isu tersebut penting untuk Indonesia ke depan,” ujarnya.
Menurut Makmur, ada sejumlah isu geopolitik yang akan dihadapi Indonesia ke depan. Untuk itu, para capres perlu memperjelas posisi dan rencana responsnya.