Curigai Terkait Kerja Paksa Uighur, AS Blokir Elektronik Malaysia-Vietnam
AS memblokir atau tengah memeriksa produk-produk elektronik, panel surya, dan mikrocip asal Malaysia dan Vietnam saat masuk pasar AS. AS menduga ada komponen yang dibuat dalam kerja paksa warga Uighur, Xinjiang, China.
WASHINGTON, RABU — Produk elektronik, berupa panel surya dan mikrocip, senilai 74 juta dollar AS—yang sebagian besar—dari dua negara ASEAN, Malaysia dan Vietnam, dilarang atau diperiksa untuk masuk pasar Amerika Serikat. Produk-produk itu diduga mengandung komponen yang diproduksi melalui praktik kerja paksa warga Uighur di Xinjiang, China.
Kantor berita Reuters, Rabu (22/11/2023), melansir, mengutip data Departemen Perdagangan AS, separuh produk elektronik tersebut ditolak atau masih menunggu lampu hijau untuk dipasarkan di AS. Belum ada komentar dari otoritas bea dan cukai AS tentang penolakan itu hingga berita ini disusun.
Ini penolakan ketiga kalinya dalam setidaknya lima bulan terakhir pada produk-produk elektronik asal Malaysia dan Vietnam. September lalu, pengiriman senilai 82 juta dollar AS juga ditolak atau ditahan untuk diperiksa, sebanyak 90 persen di antaranya adalah barang elektronik. Angka ini melonjak hingga sekitar 400 persen dibandingkan data Agustus, yang bernilai sekitar 20 juta dollar AS.
Pelarangan-pelarangan ini terkait dengan penyelidikan oleh Departemen Perdagangan AS soal dugaan dumping terhadap produk panel surya dan beberapa produk elektronik lain dari sejumlah negara anggota ASEAN, yaitu Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Departemen Perdagangan AS, dalam rilisnya pada 18 Agustus 2023, menyatakan, mereka menemukan indikasi bahwa produsen panel surya dan peranti elektronik lain asal China mengirimkan barang hasil rakitannya ke empat negara tersebut untuk dipoles dan diekspor ke AS untuk menghindari bea antidumping dan countervailing duty atau CVD (tarif bea masuk karena ada tuduhan subsidi).
Departemen Perdagangan AS menyebut lima perusahaan berusaha menghindari pembayaran bea masuk AS dengan melakukan proses kecil di negara ketiga, seperti Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan Thailand. Lima perusahaan itu adalah BYD Hong Kong dan New East Solar (Kamboja), Canadian Solar dan Trina Solar (Thailand), serta Vina Solar (Vietnam).
Baca juga: Derita Uighur di Balik Percepatan Energi Bersih AS
Menurut Departemen Perdagangan AS, berdasarkan undang-undang AS, mereka bisa melakukan penyelidikan jika ada bukti awal yang menunjukkan bahwa barang yang masuk ke AS diproduksi dengan proses yang diduga melanggar aturan AS.
Berdasarkan undang-undang AS, Departemen Perdagangan bisa melakukan penyelidikan jika ada bukti awal yang menunjukkan bahwa barang yang masuk ke AS diproduksi dengan proses yang diduga melanggar aturan AS.
Sejak UU Pencegahan Kerja Paksa Warga Uighur ditetapkan pada pertengahan Juni 2022, otoritas perdagangan serta bea dan cukai AS mengamati semua barang-barang yang diekspor China ke sejumlah negara ketiga dan kemudian diekspor ke negara tujuan, termasuk AS.
Data menyebutkan, lebih dari 6.000 item barang senilai 2 miliar dollar AS, yang diduga terkait dengan skema kerja paksa ini, mendapat perhatian khusus otoritas perdagangan.
Sejak diberlakukannya aturan tersebut, eksportir harus menunjukkan bahwa produk mereka tidak mengandung bahan mentah atau komponen apa pun dari Xinjiang.
Data laman Departemen Tenaga Kerja AS, sebanyak 95 persen panel surya yang diproduksi secara global mengandung bahan polisilikon, yang digunakan dalam panel fotovoltaik dan semikonduktor. Lebih dari 50 persen polisilikon yang beredar di pasar global berasal dari Xinjiang dan dikerjakan dengan sistem kerja paksa terhadap warga Uighur dan warga minoritas Muslim lainnya.
Baca juga: Lawatan Biden Berbuah Manis bagi Vietnam
Industri panel surya saat ini bernilai lebih dari 24 miliar dollar AS dan hampir separuhnya dikuasai oleh para pebisnis asal China. Sebanyak 80 persen pembuatan panel surya dilakukan di China.
Adapun produk panel surya Vietnam bernilai sekitar 3,3 miliar dollar AS dan sebanyak 66 persen bahan bakunya diambil dari China. Sementara, nilai impor panel surya AS dari China pada 2020 mencapai sekitar 300 juta dollar AS.
Laporan beberapa media, termasuk media Malaysia, Malay Mail dan Business Today, pada pertengahan Agustus lalu menyebut, audit kerja produsen panel surya AS di Malaysia mengungkap adanya praktik kerja paksa dan tidak etis yang dilakukan pabriknya di Negeri Jiran. First Solar Inc, nama perusahaan tersebut, mengungkap bahwa ada empat subkontraktor di Malaysia meminta biaya perekrutan pekerja migran dari negara asal mereka, menahan gaji dan paspor para pekerja tersebut.
Baca juga: Babak Baru Hubungan Vietnam-AS
CEO First Solar Mark R Widmar melalui pernyataan mengatakan, ini adalah bagian dari upaya mereka untuk meningkatkan kesadaran akan potensi adanya perbudakan modern yang tersembunyi. ”Transisi energi harus dibarengi dengan transparansi dan tanggung jawab, perimbangan terhadap kewajiban sosial dan hak asasi manusia,” katanya.
Sampai saat ini, belum ada pernyataan dari Kementerian Perindustrian atau otoritas perdagangan dari Malaysia atau Vietnam terkait hal tersebut.
Persaingan pasar
Makin meningkatnya kesadaran warga, khususnya di AS dan Eropa, tentang penggunaan teknologi panel surya untuk mengurangi penggunaan energi fosil untuk rumah tangga membuat Pemerintah AS bergerak untuk melindungi dan mendorong pengembangan industri manufaktur panel surya di AS. Berbeda dengan pemerintahan Donald Trump yang antienergi baru terbarukan, pemerintahan Presiden Joe Biden mendorong tumbuhnya industri ini sebagai bagian dari upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dari rumah tangga sekaligus pembukaan lapangan kerja baru.
Yang menjadi masalah bagi pengembangan produksi panel surya di AS adalah teknologi yang semakin terjangkau dan harga produksi di negara lain, termasuk di China, yang juga semakin terjangkau.
”Semakin tinggi penurunan harga di pasar global, semakin sulit membangun manufaktur lokal di AS,” kata Edurne Zoco, Direktur Eksekutif Teknologi Energi Ramah Lingkungan di S&P Global Commodity Insights.
”Jika kesenjangan biaya antara modul yang diimpor dan modul yang diproduksi secara lokal terlalu besar, rencana untuk pengembangan manufaktur lokal tidak akan terjadi.”
Baca juga: Demi Saingi China, Biden Dekati Negara Komunis
Sejak tahun lalu, sejumlah pengusaha mengumumkan rencana pembangunan industri panel surya di sejumlah wilayah di AS. Namun, berdasarkan data Komisi Perdagangan Internasional, pengiriman panel tenaga surya ke AS, per Agustus 2023, meningkat lebih dari dua kali lipat dengan nilai 10 miliar dollar AS dibandingkan Agustus 2022 yang baru mencapai 4 miliar dollar AS.
Masuknya produk-produk panel tenaga surya ke AS mengakibatkan prospek pengembangan industri panel surya di dalam negeri AS suram.
Kondisi itu mengakibatkan prospek pengembangan industri panel surya dalam negeri suram. Apalagi, program ini adalah bagian dari rencana kerja kabinet Biden di bidang energi dan perubahan iklim serta ketenagakerjaan, yang diharapkan bisa menciptakan lebih dari 20.000 lapangan kerja baru.
Menurut Mike Carr, Direktur Eksekutif Solar Energy Manufacurers, situasi itu akan membuat ketergantungan AS pada produk asal China sangat tinggi. ”Situasi ini dapat melemahkan inisiatif utama pemerintahan, yaitu memulihkan daya saing manufaktur di Amerika Serikat, dan khususnya di industri penting tersebut,” katanya.
Peningkatan impor panel surya juga dianggap sebagai peluang bagi sejumlah negara ASEAN, yakni Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Empat negara ini mendapatkan keringanan tarif hingga Juni 2024. Impor juga meningkat tajam dari India, Meksiko, dan negara-negara lain yang tidak terpengaruh kebijakan itu.
Baca juga: Presiden Jokowi Resmikan PLTS Terapung Terbesar di Asia Tenggara
Departemen Perdagangan AS mengatakan, panel dan sel yang diimpor tetap penting dalam transisi energi ramah lingkungan. ”Perdagangan berkomitmen untuk meminta pertanggungjawaban produsen asing untuk mengikuti aturan yang sama seperti produsen AS,” kata juru bicara Departemen Perdagangan. (AP/AFP/REUTERS)