Setelah internet kian tak terpisahkan, muncul bisnis superraksasa yang 20 tahun lalu hampir tak dikenal. Bisnis itu adalah bisnis ”cloud”. Semua yang terjadi dalam kehidupan, bekerja, hingga bercinta dibantu ”cloud”.
Oleh
ANTONIUS TOMY TRINUGROHO, DARI LAS VEGAS
·4 menit baca
Pada pekan lalu, perhelatan besar berlangsung di Las Vegas, Amerika Serikat. Mulai dari Senin (27/11/2023) sampai dengan Jumat (1/12/2023), puluhan ribu orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul untuk menghadiri pertemuan yang membahas perkembangan layanan cloud yang diberikan Amazon Web Service (AWS).
Acara yang berlangsung meriah ini sudah barang tentu dihadiri CEO AWS Adam Selipsky. Ada pula Chief Technology Officer Werner Vogels, Vice President AWS Data and AI (Artificial Intelligence) Swami Sivasubramanian, serta VP AWS AI Matt Wood yang meraih doktor di bidang machine learning.
Berkat cloud, AWS pada tahun lalu memiliki pendapatan (revenue) lebih kurang 80 miliar dollar AS, setara dengan sekitar Rp 1.200 triliun (Rp 1.200.000 miliar). Sebagai perbandingan, dalam RAPBN 2023, pendapatan Indonesia ditargetkan Rp 2.463 triliun. Artinya, pendapatan AWS tahun lalu lebih kurang separuh dari target pendapatan Indonesia tahun 2023.
Selain AWS, korporasi raksasa penyedia layanan cloud ialah Microsoft Azure dan Google Cloud. Ada pula Alibaba Cloud dan IBM Cloud.
”Penyewaan”
Cloud, diterjemahkan sebagai awan, merujuk pada layanan penyediaan server dan jasa pengolahan data. Karena itu, layanan ini biasanya juga disebut cloud computing atau komputasi awan.
Secara sederhana, layanan cloud menyediakan server (tempat penyimpanan raksasa) bagi perusahaan-perusahaan penyewa jasa tersebut. Perusahaan-perusahaan ini tak perlu membangun sendiri tempat penyimpanan data atau server serta bangunan pelindungnya. Cukup membayar uang sewa kepada penyedia jasa cloud, sebuah perusahaan dapat memiliki pengolahan data serta server yang sangat memadai.
Pada masa internet belum ada, tak ada manusia yang membayangkan pada suatu hari orang bisa menjadi kaya raya karena menyewakan tempat penyimpanan data dan jasa pengolahannya.
Perusahaan rintisan penyedia aplikasi kencan, misalnya, cukup menyewa kantor fisik di sebuah ruko. Pengelola perusahaan tak perlu repot-repot membuat bangunan untuk meletakkan server penyimpan data. Perusahaan ini cukup menyewa server dan layanan pengolahan data di perusahaan cloud. Penyedia aplikasi kencan lalu meminta perusahaan cloud untuk membuat program dengan algoritma tertentu sehingga terjadi pencocokan antarpengguna aplikasi.
Pria dengan profil tertentu dan ingin mencari istri dengan tipe A akan dipertemukan dengan perempuan pemilik profil yang sesuai. Mereka lalu dihubungkan satu sama lain. Program lalu mempersilakan mereka untuk membuat janji temu darat.
Perusahaan rintisan penyedia aplikasi kencan itu menerima uang dari iuran anggota. Belum lagi jika ada iklan restoran, hotel, dan mobil. Perusahaan ini tak perlu memiliki banyak programmer. Jumlahnya secukupnya saja dengan tugas memastikan layanan dari penyedia cloud sesuai dengan permintaan.
Itulah yang terjadi sekarang. Anda setiap hari menonton film daring? Perusahaan penyedia film pasti menggunakan jasa cloud computing. Anda senang membaca berita daring? Sudah pasti perusahaan media yang Anda sukai itu memakai jasa cloud.
Anda mengendarai mobil, lalu ditilang, dan harus membayar lewat mobile banking? Sudah pasti pula perusahaan mobil Anda menyimpan data di cloud. Sistem tilang di banyak negara juga sudah menggunakan jasa cloud (public cloud). Jasa perbankan pun beroperasi dengan cloud. Bahkan, setelah seseorang meninggal, berbagai kenangan akan orang itu—foto dan rekaman audio serta video—tersimpan rapi di cloud.
Kecerdasan buatan
AI atau kecerdasan buatan menjadi layanan yang tak terpisahkan dari cloud. Bahkan, AI menjadi pemikat utama bagi banyak perusahaan besar untuk menggunakan jasa cloud.
Kehadiran AI generatif (generative AI), yang dipopulerkan oleh ChatGPT dari OpenAI, membuat kecerdasan buatan kian memenuhi kebutuhan manusia. AI generatif memungkinkan orang untuk berkomunikasi dengan mesin memakai bahasa sehari-hari.
Ada lebih dari 200 produk yang ditawarkan AWS sehingga perusahaan ini bisa memiliki revenue hingga ribuan triliun rupiah pada tahun lalu. Dalam perhelatan akbar di Las Vegas pekan lalu, yang diberi nama AWS re:Invent, sejumlah produk baru diluncurkan. Ada Amazon Q, semacam layanan chatbox mirip ChatGPT.
Di hadapan puluhan ribu orang yang hadir langsung di hall dan ratusan ribu lainnya secara daring, CEO AWS Adam Selipsky menyatakan, Amazon Q bisa dimodifikasi, disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan penyewanya. Sebuah bank akan menggunakan Amazon Q dengan karakteristik berbeda dibandingkan Amazon Q yang dipakai korporasi otomatif.
AI menjadi pemikat utama bagi banyak perusahaan besar untuk menggunakan jasa cloud.
Ada pula CodeWhisperer yang membantu pengembang (developer) untuk membuat program. Dalam pemaparannya di depan puluhan ribu orang dan dalam sesi wawancara dengan media, termasuk Kompas, CTO AWS Werner Vogels mengatakan, kini tak memungkinkan bagi programmer untuk menguasai detail berbagai bahasa pemrograman. Code Wishperer yang diperkuat dengan AI generatif dapat membantu developer. Cukup ketikkan dengan bahasa sehari-hari apa yang dikehendaki, mesin akan membuat baris-baris program yang dimaksud.
AI generatif menjadi kata kunci dalam perhelatan akbar AWS re:Invent 2023 di Las Vegas. Berkali-kali diadakan setiap tahun, AWS re:Invent memiliki topik panas yang berbeda-beda. Tahun lalu, AI generatif belum menjadi isu kunci. Namun, tahun ini, AI generatif menjadi pokok pembahasan penting. Lewat AI generatif, perusahaan cloud seperti AWS berupaya memikat banyak pelanggan raksasa dan terus menambah penghasilan hingga beribu-ribu triliun rupiah.