Perjanjian keamanan ini memungkinkan anggota kepolisian Australia bekerja di Papua Niugini di bawah koordinasi Port Moresby.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
CANBERRA, KAMIS — Papua Niugini dan Australia menandatangani perjanjian bilateral di sektor keamanan tradisional dan nontradisional. Selain untuk saling membantu, pakta ini merupakan salah satu cara Australia untuk memastikan negara-negara tetangganya di Pasifik Selatan tidak meninggalkan pengaruh Canberra sejak Kepulauan Solomon menandatangani pakta serupa dengan China tahun lalu.
Pakta ditandatangani di ibu kota Australia, Canberra, pada Kamis (7/12/2023) oleh Perdana Menteri Papua Niugini James Marape dan PM Australia Anthony Albanese. Surat kabar Papua Niugini, Post Courier, melaporkan, perjanjian bilateral ini mencakup dana sebesar 200 juta dollar Australia dari Canberra yang dikucurkan dalam empat tahun mendatang untuk mendukung pengembangan kapasitas keamanan Port Moresby.
Sektor keamanan tradisional yang masuk di dalam pakta itu adalah pertahanan, peningkatan kapasitas polisi, wilayah perbatasan, dan kelautan. Adapun sektor keamanan nontradisional mencakup internet dan kejahatan daring, krisis iklim, kekerasan berbasis jender, serta infrastruktur yang penting.
”Perjanjian ini turut membahas pengerahan polisi Australia ke Papua Niugini. Mereka bekerja di bawah komando kepolisian Papua Niugini,” kata Marape kepada surat kabar tersebut.
Menurut Marape, keberadaan polisi Australia itu untuk membantu memutakhirkan kecakapan kepolisian Papua Niugini. Hal ini dimulai dari profesionalisme, pemahaman dan penerapan hukum, penguasaan teknologi, serta peremajaan peralatan. Pemerintah menyusun segala aturan terkait tugas dan fungsi kepolisian dari negara jiran ini, termasuk membahas kemungkinan pembangunan akademi kepolisian kawasan Pasifik di Papua Niugini.
Perjanjian ini turut membahas pengerahan polisi Australia ke Papua Niugini. Mereka bekerja di bawah komando kepolisian Papua Niugini.
Targetnya, kekuatan kepolisian Papua Niugini bertambah dari 6.000 orang menjadi 26.000 orang. Negara tersebut memiliki masalah keamanan dalam negeri berupa perang antarsuku dan kelompok geng kriminal bersenjata.
Perjanjian itu menyebutkan, apabila salah satu pihak menganggap dirinya terancam ataupun ancaman itu ditujukan kepada kawasan Pasifik, Canberra dan Port Moresby akan selalu berkonsultasi untuk merancang tanggapan yang sesuai. Meskipun begitu, perjanjian itu tidak menyebutkan Australia akan memiliki andil memutuskan boleh atau tidaknya Papua Niugini membuat kesepakatan dengan negara lain.
Ini berbeda dengan perjanjian antara Australia dan Tuvalu yang ditandatangani pada November 2023. Australia setuju untuk setiap tahun membuka pintu imigrasi kepada 200 warga Tuvalu yang terdampak krisis iklim. Sebagai balasan, Australia berhak memveto perjanjian keamanan Tuvalu dengan negara lain jika dinilai kurang pas dengan pandangan Canberra.
”Sekarang lebih mudah bagi Australia untuk membantu kebutuhan keamanan internal Papua Niugini. Pada saat yang bersamaan, Canberra dan Port Moresby bahu-membahu menjaga kestabilan kawasan,” ujar Albanese.
Ia mengungkapkan, Australia berutang budi kepada Papua Niugini karena membantu tentara Australia selama Perang Dunia II. Albanese juga mengatakan, Papua Niugini adalah tetangga terdekat Australia dan sekarang kedua negara memiliki kesamaan visi ke depan.
Ini perjanjian kedua sepanjang 2023 yang diteken Papua Niugini dengan Barat. Pada Mei lalu, mereka membuat pakta pertahanan dengan Amerika Serikat yang isinya mengizinkan Washington mengakses 15 pangkalan militer Papua Niugini jika diperlukan. Sebagai balasan, Washington membantu Port Moresby melakukan patroli di perairan mereka untuk menanggulangi masalah pencurian ikan dan keamanan laut.
Gara-gara pakta dengan Washington itu, Marape mendapat kritik dari kubu oposisi politik dan publik. Perjanjian itu oleh sebagian pihak dianggap terlalu mencampuri kedaulatan Papua Niugini. Sejatinya, di waktu berbarengan, Australia juga menawarkan perjanjian keamanan. Akan tetapi, Marape meminta perjanjian itu ditunda peresmiannya karena ia harus fokus menghadapi kritik. Baru pada akhir 2023, perjanjian dengan Canberra itu terwujud.
Pengamat isu Papua Niugini dari Institut Lowy, Mihai Sora, menjelaskan, Australia benar-benar berusaha mempromosikan diri kepada negara-negara anggota Forum Kepulauan Pasifik (PIF) bahwa Canberra sahabat dan mitra tepercaya. Kekhawatiran Australia ialah menguatnya pengaruh China di antara para anggota PIF.
Tahun 2022, Menteri Luar Negeri China Wang Yi melawat ke 10 negara di Pasifik dengan menawarkan sejumlah perjanjian, termasuk keamanan. Hanya Kepulauan Solomon yang meneken perjanjian keamanan. Sembilan negara lain meneken perjanjian berbeda, di antaranya kerja sama pertanian dan kelautan.
Keputusan Kepulauan Solomon mendatangkan berbagai seruan kecemasan dari para anggota PIF, terutama Australia dan Mikronesia. Mereka mengkhawatirkan Honiara dimanfaatkan oleh China sebagai salah satu pangkalan militer Beijing di Pasifik. PM Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare menampik protes itu dan meyakinkan tetangga-tetangganya bahwa Honiara tidak berminat menjadi perpanjangan tangan pihak mana pun.
Pada November 2022, China mengadakan rapat daring dengan perwakilan kepolisian di sejumlah negara di Pasifik. Media ABC Australia melaporkan, penyelenggaraan rapat itu pertama kali diumumkan melalui akun media sosial Kedutaan Besar China di Suva, Fiji. Rapat dipimpin oleh Menteri Keamanan Publik China Wang Xiaohong.
Dilansir dari kantor berita nasional China, Xinhua, Wang mengatakan, China dan negara-negara di Pasifik Selatan berharap kerja sama itu bisa meningkatkan kompetensi profesional kepolisian dalam menegakkan hukum. Perwakilan kepolisian yang mengikuti rapat itu, selain Fiji, ialah Vanuatu, Kiribati, Tonga, dan Papua Niugini. Peristiwa itu dipantau lekat-lekat oleh Australia. (AFP/AP/Reuters)