Standar Ganda Hambat Pembelaan Uighur
Uighur memang tidak seterkenal Palestina. Hal itu membuat pembelaan kepada Uighur tidak sebanyak untuk Palestina. Isu Palestina adalah induk dari semua konflik
JAKARTA, KOMPAS — Pembelaan pada Uighur terhambat oleh standar ganda Barat. Keadaan itu diperburuk dengan ulah sejumlah tokoh Uighur yang mengecam Hamas dalam perang Gaza 2023.
Pandangan itu disampaikan Wakil Rektor Universitas PTIQ Jakarta Imam Addaruqutni dan pengajar Universitas Paramadina Jakarta Pipip A Rifai Hasan. Mereka menanggapi kampanye keliling yang sedang dilakukan tokoh Uighur yang tinggal di Amerika Serikat, Abdulhakim Idris. Sejak awal Desember 2023, Idris mendatangi sejumlah universitas di Indonesia.
Imam mengatakan, amat disayangkan ada tokoh Uighur membandingkan perjuangannya dengan pembebasan Palestina. ”Perjuangan Palestina dan Uighur sama pentingnya. Akan tetapi, isu Palestina adalah ibu dari semua konflik. Jika isu diselesaikan, berbagai konflik dunia akan selesai,” ujarnya, Kamis (14/12/2023), di Jakarta.
Baca juga: Lembaga HAM Uighur Meminta Dukungan Indonesia
Ia juga menyesalkan pernyataan resmi World Uyghur Congress yang malah mengecam Hamas dalam Perang Gaza 2023. ”Pernyataan itu bisa mendistorsi upaya perjuangan,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu.
Tanpa mengecam Hamas atau membandingkan diri dengan Palestina pun, upaya Uighur sudah sulit. Sebab, ada persepsi upaya mereka hanya rekayasa Barat untuk menyerang China.
Idris dan berbagai tokoh Uighur diketahui tinggal di AS. Sejumlah penerima dana APBN AS secara terbuka mengakui mengucurkan dana untuk berbagai kelompok Uighur.
Pada 2004-2020, National Endowment for Democracy (NED) mengakui menghibahkan 8,78 juta dollar AS untuk berbagai kelompok Uighur. NED merupakan lembaga independen yang menerima dana dari APBN AS.
Salah seorang Wakil Presiden WUC, Omer Kanat, berkunjung ke sejumlah negara bersama perwakilan lembaga penerima APBN AS. Kanat, antara lain, pernah datang ke Indonesia.
Imam mengatakan, sesuai dengan kapasitasnya, Indonesia telah berulang kali membahas soal Uighur. Upaya-upaya itu bagian dari kontribusi Indonesia untuk membantu menyelesaikan masalah Uighur. ”Tidak tepat dikatakan Indonesia tidak peduli kepada Uighur,” katanya.
Pendekatan dan aneka upaya Indonesia, baik pemerintah maupun perwakilan masyarakat, soal Uighur telah berlangsung bertahun-tahun. Berulang kali berbagai perwakilan organisasi masyarakat Indonesia bertukar pikiran dengan tokoh Uighur dan Pemerintah China.
Konsisten bersikap
Sementara Pipip mengatakan, ada perlakuan berbeda oleh AS dan sekutunya terhadap Israel dan China. Meski sama-sama dituding menindas kelompok Muslim, Israel praktis tidak pernah disanksi AS dan sekutunya.
”Seharusnya mereka (AS dan sekutunya) konsisten. Karena dua-duanya, baik-baik Israel maupub China, sama-sama menduduki wilayah bangsa lain,” katanya dalam seminar ”Memahami Sejarah dan Budaya Masyarakat Uyghur” yang diselenggarakan Universitas Paramadina.
Baca juga: Sebagian Anggota Dewan HAM PBB Anggap Isu Xinjiang Urusan Internal China
Inkonsistensi AS dan sebagian sekutunya menyulitkan pembelaan kepada Uighur. ”Secara moral dipertanyakan: mengapa membedakan sikap dalam kedua kasus itu?” ujarnya.
Ia mengingatkan, bagi mayoritas warga Indonesia, Uighur memang tidak seterkenal Palestina. Hal itu membuat pembelaan kepada Uighur tidak sebanyak untuk Palestina.
Presiden Pemuda Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Indonesia Astrid Nadya Rizqita mengatakan, ikatan Palestina dengan Indonesia amat panjang. Karena itu, dapat dimaklumi jika ada kesan Palestina lebih diperhatikan Indonesia dan OKI.
Padahal, faktanya OKI juga berulang kali menyuarakan soal Uighur. Pemuda OKI juga berulang kali melakukannya.
Menurut dia, memang tidak dapat ditampik bahwa ada pertanyaan soal sikap anti-Muslim yang diberikan kepada China karena persoalan Uighur. Sebab, di China juga ada etnis Hui yang mayoritas memeluk Islam. Berbeda dari Uighur, praktis tidak ada isu dalam hubungan Hui dengan pemerintah China.