Jangan Pernah Berhenti Belajar...
Jangan pernah berhenti belajar. Itulah salah satu pesan Vice President and Chief Technology Officer Amazon.com Werner Vogels.
Werner Vogels bertubuh tinggi. Dalam usia menginjak 65 tahun, ia terlihat tetap penuh semangat. Satu jam lebih, ia berbicara di hadapan ribuan orang yang menghadiri langsung pemaparannya di ajang AWS re:Invent 2023, di Las Vegas. Ia berbicara tentang berbagai produk dan pencapaian yang dilakukan Amazon Web Services.
Ia lantas menyediakan waktu untuk diwawancarai langsung oleh wartawan dari sejumlah negara, antara lain Indonesia, Selandia Baru, China, Korea Selatan, dan India. Kompas berkesempatan ikut menghadiri wawancara tersebut.
Amazon Web Services (AWS) merupakan perusahaan raksasa penyedia layanan cloud dan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence). Produknya ratusan dan beragam, mulai dari jasa penyimpanan, pengolahan, hingga teknologi kecerdasan buatan untuk membantu pembuatan program. Korporasi ini juga mengembangkan sendiri komputasi kuantum, teknologi masa depan yang mampu meningkatkan kapasitas komputasi berkali-kali lipat daripada sekarang.
Pengguna jasa AWS beragam, mulai dari perusahaan di bidang kesehatan hingga penyelenggara balapan mobil formula paling elite di dunia. Penyedia tontonan streaming terkemuka turut menggunakan jasa AWS.
Tak mengherankan, AWS diperkirakan memiliki penghasilan (revenue) pada 2022 hingga 80 miliar dollar AS atau lebih kurang Rp 1.200 triliun. Sebagai perbandingan, dalam RAPBN 2023, pendapatan negara Indonesia ditargetkan Rp 2.463 triliun. Tampak pendapatan AWS lebih kurang separuh dari target pendapatan Indonesia tahun lalu.
Korporasi sejenis yang menyediakan layanan cloud, pengolahan big data, serta kecerdasan buatan, antara lain, Microsoft Azure dan Google Cloud. Korporasi penyedia layanan cloud atau komputasi awan berkembang besar karena seluruh aspek kehidupan manusia kini bergantung pada aplikasi digital.
Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, kita menggunakan produk-produk digital yang menuntut penyimpanan dan pengolahan data. Kita menggunakan Google Maps saat bepergian. Kita memesan tiket lewat aplikasi. Kita juga menonton film melalui layanan streaming. Belum lagi saat kita mencari jodoh lewat beragam aplikasi kencan. Setiap embusan napas kita tersambung ke cloud.
Di tengah persaingan ketat dan tuntutan untuk selalu memperbarui teknologi, Amazon tak pelak menaruh harapan besar pada Vogels yang bertanggung jawab atas segala hal terkait teknologi. Bertanggung jawab untuk memastikan perusahaan raksasa seperti AWS tetap berada di papan atas.
Baca juga: Mengapa 10.000 Orang Berkumpul di Las Vegas?
Vogels dipandang memiliki visi teknologi yang jauh ke depan. Ia mungkin satu dari segelintir orang di muka bumi yang tahu persis ke mana teknologi kecerdasan buatan akan bergerak.
Karena itu, sungguh menarik untuk mendengarkan pendapat Vogels mengenai teknologi. Dalam wawancara, ia ternyata memberikan perhatian besar terhadap pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Baginya, pendidikan berlangsung seumur hidup dan pendidikan tinggi hanya memberi kita tools atau alat agar dapat terus belajar hingga akhir hayat.
Pendidikan tinggi
Mengenai fungsi institusi pendidikan tinggi, Vogels mengingatkan bahwa perkembangan teknologi begitu cepat dan hampir tak terduga. Ia memberikan ilustrasi bahwa beberapa tahun sebelumnya, hampir tak ada orang membahas large language model (LLM) yang merupakan basis pengembangan kecerdasan buatan generatif (generative AI).
Kecerdasan buatan berbasis LLM memang lebih maju ketimbang teknologi kecerdasan buatan generasi sebelumnya. Ada dua keunggulan pokok LLM. Pertama, LLM dapat berinteraksi dengan bahasa alami atau bahasa percakapan biasa manusia. Kedua, LLM dapat mengolah input serta menghasilkan output dalam berbagai bentuk: suara, baris program, video, kalimat, dan foto (James Manyika and Michael Spence, ”The Coming AI Economic Revolution: Can Artificial Intelligence Reverse the Productivity Slowdown?”, Foreign Affairs, Oktober 2023).
”Mereka harus mulai berpikir bahwa teknologi bergerak sangat cepat sehingga para insinyur perlu belajar selama sisa hidup mereka. Proses belajar tidak berhenti ketika Anda keluar dari sekolah. Anda tahu, dua atau tiga tahun dari sekarang kita akan memiliki teknologi yang sangat berbeda dari sekarang,” kata Vogels kepada wartawan.
Ia lantas memberikan gambaran tentang bagaimana teknologi begitu pesat bergerak. Pada AWS re:Invent tahun 2022, menurut Vogels, tak ada satu orang pun di hajatan tersebut yang membahas LLM. ”Kita tahu mereka (LLM) akan tiba. (Namun) kita tidak tahu kecepatannya datang seperti apa,” ujar peraih doktor ilmu komputer dari Vrije Universiteit Amsterdam itu.
Menurut Vogels, karena teknologi bergerak sangat cepat, sangat sulit bagi pendidikan tinggi, universitas, dan perguruan tinggi untuk mengikutinya. ”Jika mahasiswa lulus dari universitas sekarang, apakah mereka tahu semua tentang kecerdasan buatan generatif, blockchain, atau teknologi baru apa pun? Tentu saja tidak,” tutur warga Belanda itu.
Bahkan, Vogels merasakan bahwa sekarang perkembangan teknologi begitu cepat. Teknologi kini dalam waktu singkat digunakan dan dilempar ke pasar. ”Siklus adopsi teknologi semakin terkompresi, segalanya menjadi lebih cepat masuk ke pasar ketimbang sebelumnya,” paparnya.
Baca juga: Mesin AI Generatif Amazon Bisa Cegah Informasi Sesat dan Ujaran Kebencian
Karena itu, Vogels menilai, peran utama institusi pendidikan tinggi pertama-tama ialah mengajari mahasiswa untuk belajar. Bahasa pemrograman atau apa pun yang diajarkan di lembaga pendidikan akan usang, tetapi semangat dan metode belajar yang diperoleh mahasiswa dalam proses studi menjadi bekal untuk menjalani perkembangan dalam fase kehidupan berikutnya di dunia kerja.
Pelatihan terus-menerus
Dalam situasi itu, peningkatan pengetahuan dan keterampilan terus-menerus, mungkin sepanjang hayat, menjadi penting. Korporasi teknologi, menurut Vogels, harus menjadikan pelatihan karyawan sebagai bagian krusial yang permanen. Dengan kata lain, pelatihan tak bisa lagi dilakukan secara sporadis atau ad hoc.
”Tak cukup hanya dengan niat baik dan mengatakan, ’Anda harus mempelajarinya dan melakukannya di malam hari di rumah.’ Tidak. Anda harus menempatkan mekanisme (pelatihan) secara khusus, menyisihkan waktu, memastikan karyawan bisa mendapatkan sertifikasi, dan hal-hal seperti itu,” ujarnya.
Ia mengakui, pada masa lalu, pelatihan semacam itu banyak dilakukan dengan cara ad hoc. ”Kami melihat semakin banyak perusahaan mulai berinvestasi dalam pendidikan, dalam melanjutkan pendidikan karyawan mereka, karena memang hal itulah yang benar-benar diperlukan,” ujarnya.
Dalam peningkatan keterampilan semacam itu, peran teknologi kecerdasan buatan menjadi sangat penting. Teknologi itu dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan baru.
Vogels mencontohkan, untuk produk Amazon S3 (layanan penyimpanan data), misalnya, ada ratusan ribu baris program yang harus dihadapi insinyur komputer muda. Bisa dibayangkan, mustahil orang yang baru lulus bisa segera ikut mengelola Amazon S3.
”Jika saya mempekerjakan insinyur baru untuk mengurusi Amazon S3, yang memiliki ratusan ribu baris program, berapa waktu yang dibutuhkan seorang insinyur muda untuk benar-benar memahami apa yang ada di sana?” katanya.
Menurut dia, insinyur senior tentu bisa membantu si insinyur yunior. Namun, karena ditanya berulang-ulang oleh si yunior, insinyur senior lama-lama akan merasa jengkel. ”Nah, sistem AI tidak akan frustrasi,” katanya.
Menurut Vogels, AI tak ubahnya guru dan penolong. ”AI coba membantu Anda menjadi programmer yang lebih baik tanpa menuliskan program untuk Anda,” ujarnya.
Prinsip yang sama
Prinsip untuk terus belajar agar kian andal dan maju rupanya berlaku pula dalam pengembangan kecerdasan buatan. Hal ini akhirnya mampu membuat teknologi kecerdasan menjadi lebih beragam dan cocok dengan kekhasan setiap budaya di dunia.
Menurut Vogels, saat ini sebagian besar model bahasa AI utama dilatih pada data dengan latar belakang budaya Inggris, Amerika Serikat, dan Eropa Barat. Hal ini menghasilkan model yang memiliki bias budaya. Padahal, dunia memerlukan beragam model yang dilatih dalam bahasa serta budaya yang berbeda-beda.
Baca juga: Penguasa Beribu-ribu Triliun Rupiah
Untuk membuat AI lebih beragam, perlu pengembangan AI yang berbasiskan budaya masing-masing. ”Pada dasarnya, LLM dapat saling belajar satu sama lain. Kami melihat beberapa model bahasa terbesar telah dikembangkan di China, Korea, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Semuanya mulai memiliki model bahasa besar mereka sendiri,” ucapnya.
Akan tetapi, hal yang perlu dipastikan ialah model-model bahasa besar ini dapat belajar dari satu sama lain. ”Sama seperti kita belajar dari budaya lain,” tuturnya.