Kepanikan Massal di Taiwan Setelah Satelit dari China Dikira Rudal
Peluncuran satelit oleh China memicu alarm di Taiwan. Satelit itu dikira rudal, menimbulkan kepanikan massal di Taiwan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TAIPEI, RABU — Kementerian Pertahanan Taiwan mengeluarkan permintaan maaf kepada masyarakat setelah memicu kepanikan massal. Kepanikan itu muncul akibat peringatan melalui pesan singkat di layanan telepon seluler mengenai peluncuran satelit China. Kritik muncul dari dalam negeri Taiwan ataupun dari China kepada otoritas Taiwan bahwa mereka memanas-manasi suasana menjelang pemilihan umum presiden tiga hari mendatang.
Kepanikan terjadi pada Rabu (10/1/2024) pukul 15.04 waktu lokal. Di Taiwan, segala pengumuman bahaya, mulai dari bencana alam hingga darurat militer, sudah bersinergi dengan layanan telepon seluler.
Masyarakat menerima pesan singkat dalam bahasa Mandarin dan di bawahnya ada terjemahan dalam bahasa Inggris. Pesan itu berisi mengenai peluncuran satelit China yang dalam prosesnya melintasi wilayah angkasa Taiwan bagian selatan.
Persoalannya, ada perbedaan istilah di dalam kedua bahasa itu. Di dalam bahasa Mandarin dipakai istilah wei xing yang memang berarti ”satelit”. Akan tetapi, di dalam peringatan yang berbahasa Inggris dipakai istilah missile yang berarti ”peluru kendali”.
Akibatnya, masyarakat panik mengira terjadi serangan udara oleh China. Hal ini kemudian dihubung-hubungkan dengan fakta Taiwan akan menggelar pemilihan umum presiden pada Sabtu (13/1/2024).
Kementerian Pertahanan Taiwan segera mengeluarkan pernyataan meminta maaf. Masyarakat tidak langsung menerima karena selama ini China sudah berkali-kali meluncurkan satelit.
Kantor berita nasional Taiwan, Central News Agency, mencatat, dalam kurun waktu November 2023 hingga kini sudah empat kali China meluncurkan satelit. Roket yang membawa satelit itu meluncur di angkasa melintasi wilayah udara Taiwan. Akan tetapi, tidak sekalipun masyarakat menerima pesan darurat di telepon seluler mereka.
Otomatis, partai-partai politik oposisi pemerintah melayangkan kritik. Ketua Umum Kuomintang Eric Chu dalam jumpa pers di kota Taichung mengatakan, baru kali ini ada pesan darurat akibat peluncuran satelit. Sementara calon presiden dari Partai Rakyat Taiwan (TPP), Ko Wen-je, menuduh pemerintah gegabah.
”Ini bukti bahwa Partai Demokratik Progresif (DPP)—partai berkuasa di Taiwan saat ini—benar-benar buruk dalam komunikasi dengan China,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Presiden Taiwan William Lai Ching-te yang juga calon presiden dari DPP mendukung permintaan maaf Kementerian Pertahanan. Menurut dia, pemerintah wajib membuka informasi kepada masyarakat atas segala sesuatu yang terjadi dan mengandung risiko di wilayah Taiwan.
Dilansir dari kantor berita nasional China, Xinhua, satelit yang dimaksud adalah Einstein Probe. Satelit itu diluncurkan dari Pusat Peluncuran Satelit Xichang di Provinsi Sichuan dengan menggunakan roket Long March-2C.
Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning, semua jadwal peluncuran satelit telah diumumkan sejak tahun lalu. Ia mengatakan, reaksi Taiwan berlebihan dan menghubung-hubungkan peluncuran itu dengan upaya mengganggu pemilu Taiwan adalah trik kotor.
Jonathan McDowell, astrofisikawan dari lembaga Harvard-Smithsonian, yang dihubungi kantor berita Reuters untuk memberikan tanggapan profesional menjelaskan bahwa satelit Einstein Probe itu terbang dengan ketinggian 500 kilometer di atas permukaan laut. Artinya, sudah masuk antariksa.
Setiap hari, berbagai satelit internasional terbang di atas negara-negara di dunia dan tidak ada yang aneh dari hal itu.
Pemilihan presiden
Pemilihan presiden di Taiwan merupakan isu yang sensitif karena narasi konflik dengan China menjadi momok. Presiden China Xi Jinping yang juga Sekretaris Jenderal Partai Komunis China berkali-kali mengatakan hendak menyatukan kembali Taiwan dengan China secara damai. Taiwan memiliki posisi yang unik di dalam Prinsip Satu China karena memiliki otonomi dan pemerintahan sendiri.
Walaupun secara teknis hanya ada 13 negara yang berhubungan diplomatik dengan Taiwan, paspor Taiwan diterima di mana-mana. Melalui kerja sama ekonomi, perdagangan, investasi, dan teknologi, Taiwan menjadi salah satu pemain global yang diperhitungkan. Sistem otonomi mereka yang demokratis juga menjadikan Taiwan memiliki kedekatan hubungan dengan negara-negara Barat.
China baru-baru ini mengeluarkan keberatan atas pertemuan Ketua DPR Amerika Serikat Mike Johnson dengan Aleksander Yui, Kepala Kantor Perwakilan Taiwan di Washington. Meskipun AS tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan, secara de facto, Yui dianggap sebagai perwakilan resmi otoritas Taiwan.
Menurut China, AS mengirimi sinyal yang keliru kepada Taiwan karena seolah-olah Washington menganggap bahwa Taiwan adalah negara yang merdeka. Padahal, Washington terikat Prinsip Satu China. AS berkali-kali mengatakan bahwa mereka tetap berkomitmen atas Prinsip Satu China.
Sensitif
Isu kemerdekaan menjadi hal yang sensitif dibahas di dalam pilpres tahun ini. Ketiga kandidat, yaitu William Lai Ching-te dari DPP, Ko Wen-je dari TPP, dan Hou Yu-ih dari KMT, berusaha menghindari isu tersebut.
Mereka menggunakan istilah yang berbeda-beda, intinya ialah mempertahankan status quo di Selat Taiwan. Artinya, tetap dengan Prinsip Satu China dengan terus menjalankan otonomi Taiwan.
Sementara itu, Kejaksaan Distrik Yilan di Taiwan menetapkan 53 orang sebagai terdakwa dalam kasus suap dan kasus antipenyusupan. Para terdakwa ini terdiri atas pegawai negeri sipil yang pada tahun 2023 pergi bertamasya ke China atas undangan dan biaya dari Kantor Urusan Taiwan —lembaga Pemerintah China yang mengelola hubungan Beijing dengan Taipei.
Para terdakwa ini berangkat di dalam tiga kloter yang berbeda. Hasil penyelidikan kejaksaan mengungkap bahwa selama tamasya di China mereka dicekoki pesan-pesan untuk menentang kemerdekaan Taiwan dan harus mendukung partai politik yang hendak meningkatkan hubungan Beijing-Taipei dan bahwa kedua belah pihak di Selat Taiwan itu bersaudara. Kejaksaan menyelidiki, apakah pesan-pesan itu mengandung risiko terhadap pandangan politik dan kinerja para pegawai negeri sipil tersebut. (REUTERS/AP)
Editor:
MUHAMMAD SAMSUL HADI, BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO