Wakil Presiden Taiwan Lai Ching-te terpilih menjadi presiden di dalam pemilihan umum. Ia berjanji menjaga "status quo".
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TAIPEI, SABTU - Komisi Pemilihan Umum Taiwan masih menghitung hasil pemilihan presiden Taiwan yang berlangsung pada Sabtu (13/1/2024). Data pada pukul 20.30 waktu Indonesia menunjukkan Lai Ching-te, calon presiden dari Partai Demokratik Progresif atau DPP mengungguli lawan-lawannya dengan 40,1 persen suara.
Menyusul di belakang Lai adalah kandidat dari Kuomintang (KMT), Hou Yu-ih dengan 33,5 persen. Di posisi terakhir Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP) dengan 26,5 persen. Melihat kecenderungan tersebut, para pengamat politik memperkirakan Lai akan memenangi pemilihan presiden.
“Tidak apa-apa karena dalam pemilu ini pemenangnya adalah masyarakat Taiwan dan demokrasi. Bangsa Taiwan menentukan nasibnya sendiri,” kata Ko dalam pidato di hadapan pendukungnya yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi TVBS pukul 20.13 waktu setempat atau 19.03 WIB.
Lai, yang saat ini menjabat sebagai wakil presiden, menyampaikan terima kasih kepada pendukungnya. Meskipun demikian, ia mengakui DPP tidak memenangi kursi mayoritas di legislatif. Ia mengatakan, kekalahan di legislatif diterima DPP sebagai bentuk peringatan untuk membenahi diri demi mengambil kepercayaan publik.
“Taiwan harus harus terus mengembangkan kemampuan berkomunikasi demi pembangunan, meningkatkan keterlibatan publik di dalam pengambilan kebijakan, dan membangun konsensus di masyarakat,” ujarnya.
Pertanyaan utama yang muncul ialah bagaimana Lai dan DPP menjaga keseimbangan hubungan dengan China? Taiwan di dalam Prinsip Satu China merupakan provinsi otonom di bawah China yang memiliki otoritas tersendiri. Akan tetapi, selama delapan tahun kepemimpinan DPP di bawah Presiden Taiwan Tsai Ing Wen, hubungan dengan Beijing dapat dikatakan hampir tidak ada.
Menurut Lai, menjaga perdamaian Selat Taiwan ialah menjaga status quo dengan berlandaskan kemauan rakyat Taiwan. Caranya dengan membuka komunikasi seluas-luasnya dengan China. Pada saat yang sama, tidak membiarkan Taiwan berada di bawah ancaman apa pun.
Taiwan harus harus terus mengembangkan kemampuan berkomunikasi demi pembangunan, meningkatkan keterlibatan publik di dalam pengambilan kebijakan, dan membangun konsensus di masyarakat.
Taiwan selama delapan tahun terakhir justru banyak berhubungan dengan negara-negara Barat, termasuk menerima kunjungan berbagai pejabat teras salah satunya Ketua DPR Amerika Serikat 2019-2023 Nancy Pelosi pada Agustus 2022. Sikap politik Taiwan selama periode ini oleh Beijing dianggap sebagai gerakan separatis. Tsai, Lai, dan Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu oleh China bahkan dimasukkan ke dalam daftar hitam penghasut masyarakat untuk memisahkan diri dari Beijing.
Presiden China Xi Jinping berkali-kali menyatakan ambisinya untuk menyatukan kembali Taiwan dengan China secara damai. Beijing juga mengeluarkan peringatan kepada AS dan sekutunya agar tidak memanas-manasi Taiwan, yang dalam arti ini DPP, untuk mengobarkan narasi kemerdekaan.
Pendapat masyarakat
Ketegangan hubungan Beijing-Taipei ini mengkhawatirkan masyarakat Taiwan. Mereka cemas sewaktu-waktu China menginvasi Taiwan, terutama melihat kasus Rusia menginvasi Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Membaca kekhawatiran ini, semua capres, termasuk Lai, berjanji untuk mempertahankan status quo Taiwan dengan China. Artinya, walaupun di bawah Prinsip Satu China, Taiwan tetap memiliki otonomi yang memungkinkan ekonomi, perdagangan, investasi, hubungan antarmasyarakat, dan segala hubungan non-diplomasi bisa dikelola sendiri oleh Taipei.
“Menjaga status quo ini paling aman bagi Taiwan. Kita bebas bepergian ke mana-mana, ekonomi juga tidak tergantung siapa pun. Lebih baik jangan memanas-manasi suasana,” kata Lydia Lu, pemilih dari kota Taichung, saat dihubungi dari Jakarta.
Lu menolak menyebut capres yang ia pilih. Menurut dia, terus menyitir isu kemerdekaan hanya membuat China semakin emosional dan bisa merugikan Taiwan.
Don Lin dari Taipei mengungkapkan, dirinya salah satu pemilih mengambang. Sampai detik-detik menjelang memberikan suara, ia belum menentukan pilihan antara Hou dan Ko. Ia menolak memilih DPP dan Lai dengan alasan tidak pernah ada kejelasan mengenai langkah yang hendak diambil sehingga gagasan itu menurut Lin terlalu mengawang-awang, terlepas berbagai narasi Taiwan menjadi negara merdeka.
Sementara itu, CJ Wu, salah seorang pemilih mengatakan, tetap memilih Lai. Alasannya bukan karena ia simpatik kepada Lai maupun DPP, melainkan karena janji membuka komunikasi yang setara dengan China untuk menjaga status quo sesuai dengan keinginan masyarakat Taiwan. “KMT terlalu pasif, bahkan dekat dengan China tanpa membawa aspirasi masyarakat. Menurut saya, dengan KMT akan susah ada dialog yang benar-benar mewakili status quo sesuai kepentingan Taiwan ke depannya,” tuturnya.
Sebelumnya, pada Jumat (12/1/2024), Juru Bicara Kantor Urusan Taiwan ─lembaga Pemerintah China─ Chen Binhua mengatakan di laman resmi lembaga tersebut bahwa konsep “kemerdekaan Taiwan” dan perdamaian tidak bisa berdampingan. Selama Taiwan bisa menjaga kestabilan tersebut, kedua belah pihak di Selat Taiwan bisa menikmati pembangunan yang saling menguntungkan.