Taiwan Siaga Hadapi Tekanan Ekonomi dan Militer dari China
Tantangan Taiwan pascapemilu semakin berat. China akan menekan Taiwan dengan senjata ekonomi dan kekuatan militernya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
TAIPEI, SELASA — Pemerintah dan rakyat Taiwan bersiap-siap menghadapi dua tantangan, yakni internal dan eksternal, pascapemilu presiden yang dimenangi oleh Lai Ching-te. Kedua tantangan itu sama-sama memiliki efek yang tidak diinginkan oleh sebagian besar pemilih pendukung Partai Progresif Demokratik (DPP) Taiwan, yaitu terkait relasi dengan China.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa China mungkin akan bergerak, menyiapkan tindakan-tindakan pada pertengahan tahun ini, khususnya menjelang pelantikan Lai sebagai presiden, Mei nanti. Tindakan China bisa berupa latihan militer di perairan sekeliling wilayah teritorial Taiwan. Selain itu, China diperkirakan juga akan menekan melalui berbagai tindakan pembatasan hubungan ekonomi.
Danny Russel, mantan Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Asia Timur dan Pasifik para era pemerintahan Barack Obama, Senin (15/1/2024), mengatakan, Beijing akan berupaya untuk mengekang, membuat pemerintahan Lai tidak bisa bergerak, sebagai hukuman atas keengganannya bersatu dengan Pemerintah China.
”Beijing ingin mengekang presiden terpilih, Lai, bukan memprovokasinya,” ujar Russel.
Di kalangan internal Taiwan, Lai dan DPP akan menghadapi tantangan di parlemen setelah kehilangan banyak kursi. DPP hanya memperoleh 51 kursi dan tidak lagi menjadi kekuatan mayoritas di parlemen. Sebelummya, mereka menguasai 62 dari 113 kursi parlemen pada pemilu legislatif tahun 2020.
Kini, pemegang kursi terbanyak adalah Kuomintang, yang dipandang oleh banyak analis memiliki kedekatan dengan China, dengan 52 kursi. Sedangkan Partai Rakyat Taiwan (TPP) mendapatkan delapan kursi di parlemen pada pemilihan ini.
Kuomintang diperkirakan akan berkoalisi dengan TPP dan dua legislator independen, yang secara ideologis dekat dengan mereka, untuk memperebutkan jabatan sebagai ketua parlemen.
Wen Ti-sung, analis di Dewan Atlantik yang berbasis di Washington, AS, mengatakan, komposisi parlemen hasil pemilihan membuat Lai dan DPP harus bekerja lebih keras lagi untuk menyamakan persepsi dan tindakan. Menurunnya dukungan terhadap DPP di parlemen, yang ditandai dengan penurunan jumlah raihan kursi di parlemen, akan mendorong pemerintah dan DPP harus menguras energi dan sumber daya yang lebih besar dibandingkan sebelumnya.
”Jika mereka dapat mengatasi kendala yang timbul karena perpecahan internal, pemerintahan DPP akan lebih mampu bernegosiasi dengan Beijing dari posisi yang kuat dan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk membangun kembali hubungan yang baik (walaupun dingin),” kata Wen.
Jika dapat mengatasi kendala yang timbul karena perpecahan internal, pemerintahan DPP akan lebih mampu bernegosiasi dengan Beijing dari posisi yang kuat. (Wen Ti-sung)
Lai dalam kampanye mengajukan empat pilar untuk perdamaian guna menjaga stabilitas di Selat Taiwan. Ia menyebut membangun kekuatan pertahanan, memperkuat kemampuan Taiwan dan keamanan ekonomi, menjalin kemitraan dengan kekuatan-kekuatan demokrasi di seluruh dunia, serta menjaga kepemimpinan yang stabil dan berprinsip dalam hubungan lintas Selat Taiwan.
”Saya ingin mempertahankan status quo dan terus mempertemukan masyarakat dalam kerangka Republik China (Taiwan),” kata Lai pada jumpa pers sebelum pemilu.
”Pintu kami akan selalu terbuka pada Beijing dalam prinsip-prinsip kesamaan dan kehormatan. Kami siap dan ingin berhubungan demi kemakmuran bersama rakyat di dua sisi Selat Taiwan,” lanjut Lai.
Tantangan pemerintahan Lai
Pemerintahan Lai dihadapkan dengan sejumlah masalah dalam negeri yang membutuhkan penanganan segera, mulai dari perlambatan ekonomi, kesenjangan pendapatan antarwarga, harga rumah yang semakin tinggi, hingga angka pengangguran. Lai dan DPP berupaya menjawab tantangan itu, salah satunya dengan membuka hubungan ekonomi yang erat, termasuk dengan AS, Jepang, dan Uni Eropa.
Adapun Kuomintang dan calonnya yang didukung China, Hou Yu-ih, memilih pendekatan yang lain, yaitu merapat ke Beijing.
Pemerintah Jepang, melalui Ketua Asosiasi Pertukaran Jepang-Taiwan Mitsuo Ohashi, telah menyatakan dukungannya terhadap pemerintah baru hasil pemilihan dan bersedia bekerja sama. Pemerintah AS juga telah mengirimkan delegasi untuk bertemu Lai dan Hsiao Bi-kim, pasangan wakilnya, untuk menyatakan hal senada.
”Saya berterima kasih atas dukungan kuat Amerika Serikat terhadap demokrasi Taiwan, yang menunjukkan kemitraan erat dan solid di antara kedua negara,” kata Lai.
Blokade ekonomi
China diperkirakan juga akan melakukan tindakan blokade ekonomi dan militer terhadap Taiwan. Aksi seperti itu sudah beberapa kali terjadi dan berimbas cukup signifikan terhadap warga Taiwan.
Awal tahun 2021, para petani nanas di Taiwan selatan harus menerima kenyataan pahit karena produk mereka ditolak masuk ke China. Industri nanas Taiwan bernilai sekitar 284 juta dollar AS per tahun. Mereka harus menerima kenyataan produk mereka dilarang masuk karena alasan hama dan keamanan pangan lainnya. Harga produk nanas Taiwan turun drastis dari 60 sen dollar AS per 600 gram menjadi hanya 1 sen per 600 gram.
Pelarangan impor semakin meningkat pada tahun 2022, menurut catatan Chun Wei-ma, asisten profesor hubungan internasional Universitas Tamkan. Pada Agustus 2022, China melarang ribuan barang ekspor asal Taiwan. Dan, ketika musim kampanye dimulai, Beijing mengumumkan penyelidikan besar-besaran terhadap praktik perdagangan Taiwan.
”Garis waktu ini sangat selaras dengan pemilihan presiden Taiwan. Tampaknya ada korelasi yang jelas yang menunjukkan niat China untuk memanfaatkan isu perdagangan sebagai alat tawar-menawar guna memengaruhi ketidakpercayaan pemilih Taiwan terhadap pemerintahan DPP dan menurunkan kredibilitas mereka dalam menangani konflik perdagangan lintas Selat,” kata Chun.
Chun menilai, tekanan ekonomi itu untuk mendorong pemilih menjauh dari Lai dan memilih kandidat serta partai yang lebih ramah kepada Beijing.
Tekanan militer
Tekanan militer juga berpeluang dilakukan Beijing, seperti yang pernah dilakukan mereka ketika Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengunjungi Taiwan tahun 2022. Saat itu Beijing mengepung wilayah perairan dan udara Taiwan dengan kapal-kapal perang serta jet-jet tempur mereka.
Sejumlah pejabat Pemerintah Taiwan menyadari kemungkinan itu. Dua pejabat senior Pemerintah Taiwan memperkirakan China akan melakukan manuver militer di sekitar wilayah Taiwan pada musim semi.
Dua pejabat keamanan Barat, yang tidak ingin disebutkan namanya karena mereka tidak berwenang untuk berbicara kepada media, memperkirakan hal serupa. China, sebut keduanya, mungkin akan melakukan tekanan militer pascapemilu. Akan tetapi, mereka tidak percaya bahwa tindakan tersebut akan terjadi dalam skala yang sama dengan tekanan terakhir pada tahun 2022.
Hung Tran, mantan Deputi Direktur Dana Moneter Internasional (IMF), memperkirakan, yang saat ini akan dilakukan oleh Beijng baru sebatas pada tekanan ekonomi dengan menggunakan perlengkapan militer. Dia menilai, langkah yang mungkin dilakukan China adalah blokade jalur pelayaran dan pengiriman barang dari dan ke Taiwan. ”Ini adalah tindakan yang tidak terlalu berisiko,” katanya.
Posisi Taiwan sebagai produsen penting rantai pasok semikonduktor global, diyakini Tran, akan memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian Taiwan, tetapi dengan risiko ketegangan fisik yang lebih rendah. (AP/AFP/REUTERS)