Kerap Uji Senjata, Apakah Korut Pasang Kuda-kuda untuk Berperang?
Korea Utara belakangan gencar menguji coba persenjataan dan kerap mengeluarkan ancaman perang.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Beberapa hari setelah menembakkan rudal hipersonik berbahan bakar padat jarak menengah, Korea Utara kembali menguji coba sistem persenjataan nuklir bawah air ”Haeil-5-23”. Informasi mengenai uji coba Haeil ini dipublikasikan kantor berita Korut, KCNA, Jumat (19/1/2024).
Situs BBC menyebutkan, meski sudah pernah menguji coba persenjataan jenis ini, tidak banyak informasi dan kinerjanya yang tersedia terkait senjata itu. Uji coba ini, menurut Pyongyang, merespons latihan militer gabungan antara Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan di perairan selatan Pulau Jeju, Korsel, pekan ini.
Sistem persenjataan tak berawak bawah air mampu membawa nuklir. Pesawat tak berawak bawah air Haeil—berarti tsunami—tersebut pertama kali diuji pada Maret 2023. Persenjataan ini dibuat untuk melancarkan serangan diam-diam di wilayah perairan musuh sekaligus menghancurkan angkatan laut musuh dan pelabuhan-pelabuhan penting. Caranya dengan menciptakan gelombang radioaktif yang besar melalui ledakan bawah air.
Para analis menilai, jika senjata tersebut betul bisa berfungsi seperti yang diklaim Korut, sebenarnya senjata itu kurang signifikan dibandingkan dengan rudal balistik nuklir Korut. ”Mempertimbangkan tingkat ilmu pertahanan Korut dan fakta senjata ini masih dalam tahap pengembangan, Korut belum sampai di tahap betul-betul mengancam,” kata Ahn Chan-il, peneliti di World Institute for North Korea Studies, kepada kantor berita AFP.
Militer Korsel meyakini, Korut hanya melebih-lebihkan kemampuan pesawat tak berawak itu. Latihan militer gabungan antara AS, Korsel, dan Jepang diadakan selama tiga hari. Latihan ini melibatkan kapal induk AS, Carl Vinson, sebagai bagian dari upaya meningkatkan kemampuan mengantisipasi ancaman nuklir dan rudal Korut.
Pada pertemuan darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), Kamis (18/1/2024), Korsel meminta DK PBB berbuat sesuatu. Rusia dan China, anggota tetap DK PBB, telah menghalangi upaya yang dipimpin AS untuk memperketat sanksi terhadap Korut.
Ketegangan di Semenanjung Korea meningkat ke titik tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, terutama ketika Pemimpin Korut Kim Jong Un membubarkan badan-badan yang selama ini menangani unifikasi Korut dengan Korsel secara damai. Korut juga akan menulis ulang konstitusinya untuk mendefinisikan Korsel sebagai musuh bebuyutan Korut.
Kim juga mempercepat uji-uji senjatanya dan mengancam konflik nuklir bisa terjadi kapan saja. Pengamat di Institut Unifikasi Nasional Korea di Korsel, Hong Min, mengatakan bahwa uji coba pesawat tak berawak bawah air Korut itu menjadi pertanda pesawat tak berawak Haeil akan dipakai pada armada angkatan lautnya.
Ancaman perang
Harian The South China Morning Post, 16 Januari 2024, mengutip Guru Besar Ilmu Politik di University of North Korean Studies Yang Moo-jin yang menilai Korut sebenarnya tidak memiliki kapasitas dan persenjataan yang memadai untuk memulai perang, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1950.
”China dan Rusia juga tidak berminat mendukung petualangan militer di negara mereka sendiri karena negara mereka sendiri mempunyai banyak masalah,” ujar Yang.
Namun, Hong Min tetap saja khawatir, Korut akan bisa berbuat nekat. Kim sebelumnya mengaku tidak berniat memulai perang, tetapi juga tidak akan menghindari perang. Apalagi, Korut melakukan perubahan besar dengan memutus hubungan dengan Korsel. Semua jalur komunikasi diputus. Lembaga atau badan reunifikasi kedua Korea itu juga dibubarkan.
Dulu, setiap kali ada masalah atau risiko konflik bersenjata, ada mekanisme atau jalur resmi atau jalur belakang untuk mengendalikan konflik. ”Namun, sekarang tidak ada lagi,” kata Hong Min kepada NDTV World.
Guru Besar Studi Militer di Universitas Sangji Choi Gi-il juga khawatir bahwa kedua Korea kini berada pada titik kemungkinan besar akan bisa terseret ke konflik bersenjata. Gesekan sedikit saja di perbatasan bisa terjadi konflik besar.
Insiden tahun 2010
Pada tahun 2010, Korut pernah menembaki Pulau Yeonpyeong di perbatasan Korsel hingga menewaskan empat orang. Korsel mengirimkan pesawat jet F-16 dan siap menyerang Korut. Namun, Presiden Korsel pada waktu itu, Lee Myung-bak, membatalkannya agar situasi tidak memburuk.
”Namun, kalau kita sekarang mengalami insiden serupa, tidak ada jaminan kekuatan udara tidak akan digunakan,” ujar Choi.
Kim mengambil langkah keras menutup diri dari Korsel karena, menurut Guru Besar di Universitas Ewha di Korsel, Leif-Eric Easley, semata karena demi kelangsungan rezim dan memperkuat ideologi negaranya. Hal itu juga untuk membenarkan fokus Kim pada pengembangan rudal dan nuklir. Yang jelas, Korut sekarang semakin terisolasi dan kemungkinan Kim hanya mau mendengarkan China atau Rusia.
Situs web yang berfokus pada Korut, 38 North, menggambarkan momen saat ini sebagai momen paling berbahaya sejak dimulainya Perang Korea. Ini disadari Korsel karena Korsel kemudian melakukan latihan militer dengan AS dan Jepang serta diam-diam mengantisipasi serangan Korut apabila terjadi gesekan yang tidak disengaja.
Kantor berita Reuters menyebutkan, hingga pertengahan tahun 2023, Korsel memosisikan diri sebagai pemasok senjata utama ke negara-negara lain. Karena takut dengan ancaman militer di masa depan, kemungkinan Korsel enggan memasok senjata lagi ke luar. Kemungkinan Korsel akan memperdalam hubungan dengan AS dan sekutu potensial lain, termasuk India.
Kian erat dengan Rusia
Mantan Kepala Divisi Asia Timur Laut di Departemen Luar Negeri AS Robert Carlin kepada situs Deutsche Welle, 15 Januari 2024, menyatakan khawatir dengan Korut yang sedang mengembangkan hubungan dengan Rusia dan mendukung invasi Rusia di Ukraina. Apalagi, hubungan Korut sedang dalam kondisi terburuk dengan Korsel dan AS.
Hubungan AS dan Korut sulit untuk diperbaiki setelah pertemuan antara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump di Hanoi, Vietnam, pada 2019 gagal. ”Kim kehilangan muka dan ini traumatis. Korut menganggap sudah tiba waktunya untuk menantang status quo,” ujar Carlin.
Namun, menurut pengamat hubungan internasional di Universitas Tokyo, Ryo Hinata-Yamaguchi, Korut tidak punya alasan kuat saat ini untuk berperang meski sudah bersekutu dengan China dan Rusia. Meski bersekutu, Korut tidak cukup percaya kedua negara itu akan membantu Korut jika betul-betul terjadi perang.
Kekhawatiran terbesar Hinata-Yamaguchi adalah jika terjadi gesekan akibat kesalahpahaman hingga memicu konflik yang tidak diinginkan. (REUTERS/AFP/AP)