Menyerang Pribadi Lawan Politik, Taktik Khas Trump Memenangi Kampanye
Bagi Trump, serangan cemoohan dan olok-olok terhadap lawan-lawan politiknya sudah jadi ”buku panduan” laku politiknya.
ATLANTA, SABTU — Mantan Presiden Amerika Serikat dan bakal calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, Jumat (19/1/2023), kembali menggunakan media sosialnya, Truth Social, untuk mengolok-olok salah satu pesaing dan lawan politiknya, Nikki Haley. Kali ini, isu yang dijadikan bahan olok-olok adalah nama lahir Haley.
Bersama bakal calon lainnya, Gubernur Florida Ron DeSantis, Trump dan Haley saat ini bersaing untuk memperebutkan tiket pencalonan Partai Republik pada pemilu presiden AS, November 2024. Ketiganya tengah berancang-ancang kembali bertarung pada pemilihan internal New Hampshire, pekan depan.
Trump memenangi pertarungan pada pemilihan internal pertama, Kaukus Iowa, dengan meraup 51 persen dukungan. Ia jauh meninggalkan dua pesaingnya, DeSantis (21 persen) dan Haley (19 persen). Bakal calon lain yang ikut Kaukus Iowa adalah Vivek Ramaswamy.
Baca juga: Pintu Terbuka untuk Trump
Sebagai bagian dari cara memenangi persaingan itu, Trump biasa menyerang latar belakang pribadi lawan-lawan politiknya terkait latar belakang ras dan asal-usul keturunan. Kasus pengolok-olokan nama Haley terakhir ini merupakan contoh terakhir, bagaimana Trump biasa mengeksploitasi isu ras, etnik, dan latar belakang keluarga demi meraup dukungan pemilih.
Dalam unggahan pesan di akun Truth Social miliknya, Trump berulang kali menyebut Haley, anak perempuan pasangan imigran dari India, dengan sapaan ”Nimbra”. Sudah tiga kali hal itu dilakukan Trump. Tak ketinggalan, ia juga mencemooh Haley sebagai “orang yang tak punya bakat untuk sukses”.
Haley, mantan Gubernur South Carolina, terlahir di Bamberg, South Carolina, dengan nama Nimarata Nikki Randhawa. Ia selalu disapa dengan nama tengahnya, ”Nikki”. Ia menggunakan nama keluarga ”Haley” setelah menikah tahun 1996.
Serangan Trump terhadap pribadi Haley tersebut terjadi empat hari menjelang pemilihan internal (primary) New Hampshire. Unggahan pesan medsos itu merupakan eskalasi dari serangan-serangan Trump terhadap Haley.
Selain mengolok-olok nama pertama Haley—meski dengan salah ucap menyebut ”Nimrada”, Trump juga dengan keliru menyatakan Haley tak sah mencalonkan diri di bursa capres karena orangtuanya bukan warga AS saat Haley lahir tahun 1972.
Cara kampanye penuh cemooh dan olok-olok itu sebenarnya gaya dan taktik lama Trump. Melihat serangan Trump pada Haley tersebut, publik AS langsung teringat pada serangan-serangan rasis Trump dulu berkenaan asal-usul dan kelahiran Presiden Barack Obama.
Pernah dilakukan pada Obama
Selama bertahun-tahun Trump terus-menerus mencuatkan teori konspirasi, yang mengklaim bahwa Obama—presiden berkulit hitam pertama AS—lahir di Kenya, tidak lahir sebagai warga AS, sebagaimana diatur dalam Konstitusi AS sebagai persyaratan menjadi presiden AS. Itu memang taktik Trump menjelang pilpres 2016 dalam menggalang dukungan di kalangan Republikan yang secara kultural konservatif.
Baca juga: Berebut Tiket ke Ruang Oval
Selama bertahun-tahun pula Trump selalu menyebut nama Obama dengan ”Barack Hussein Obama”—tentu dengan penekanan nama tengahnya: Hussein. Guna mendukung klaim teori konspirasinya itu, Trump merangkai cerita sendiri bahwa Obama telah merekayasa cerita kelahirannya dan memalsukan akta kelahirannya.
Cara kampanye penuh cemooh dan olok-olok itu sebenarnya gaya dan taktik lama Trump.
Obama, presiden ke-44 AS, adalah anak dari pasangan ibu berkulit putih berkewarganegaraan AS dan ayah berkulit hitam dari Kenya. Ia lahir di Hawaii.
Belakangan, Trump mengakui klaim berbasis teori konspirasinya tentang Obama adalah keliru. Saat itu, dalam kampanye pemilu 2016, ia mengaku melakukan hal tersebut hanya ”untuk memenangi kampanye”.
Baca juga: Tahun 2024, Tahun “Menakutkan” bagi Demokrasi
Gaya Trump mengolok-olok latar belakang ras dan kelahiran seperti itu sebenarnya bak pepatah ”menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”. Ibu Trump, Mary Anne MacLeod, terlahir di Skotlandia dan datang ke AS antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Kakek Trump dari jalur ayahnya adalah Frederick Trump, imigran kelahiran Bavaria, Jerman, yang bermigrasi ke AS tahun 1880-an.
Begitu pula dengan sebagian dari istri-istri Trump. Ivana Zelníčková, istri pertamanya, lahir di negara yang kini bernama Ceko. Melania Trump, istri ketiganya dan mantan Ibu Negara, terlahir dengan nama Melanija Knavs di Slovenia. Ini berarti, empat dari lima anak Trump juga anak-anak imigran.
Rekam jejak panjang
Trump memang dikenal punya rekam jejak panjang biasa mengeksploitasi isu-isu ras, etnis, dan latar belakang imigran sebagai alat dan taktik menyerang pihak lain, termasuk lawan-lawan politiknya. Dengan mengeksploitasi sentimen ras, pada pemilu 2016 ia memperoleh dukungan dari mantan pemimpin kelompok supremasi warga kulit putih, David Duke, mantan pemimpin Ku Klux Klan (KKK).
Trump juga termasuk di barisan Republikan yang sengaja memelesetkan pengucapan nama Wakil Presiden Kamala Harris. Ia sering menyebut namanya dengan ”Ka-MAH-la”, bukan dengan pengucapan benar, yakni ”KA’-ma-la”.
Harris, keturunan imigran asal India dan Jamaika, adalah perempuan pertama yang menjabat wapres AS dan sosok ketiga warga non-kulit putih yang menduduki pucuk jabatan di ”Negeri Paman Sam”—sebagai presiden atau wapres—setelah Obama dan Charles Curtis, wakil presiden dari Herbert Hoover (presiden ke-31 AS, memerintah 1929-1933).
Menjelang pelantikan Trump sebagai presiden pada 2017, ikon pembela hak asasi manusia John Lewis—saat itu anggota Kongres berkulit hitam dari Georgia—sampai menegaskan tak akan menghadiri pelantikan Trump karena menganggap Trump tak layak menjadi presiden.
Narasi Haley
Bagaimana Haley merespons serangan Trump yang mengarah pribadi itu? Haley terlihat santai. Bagi dia, serangan-serangan Trump tersebut justru menunjukkan dirinya menjadi ancaman serius bagi pencalonan Trump untuk kembali ke Gedung Putih.
”Saya serahkan kepada rakyat untuk menilai sendiri serangan-serangan itu,” ujar Haley kepada wartawan di New Hampshire, Jumat (19/1/2024).
Haley pun menyatakan ’ogah’ jika kelak dipasangkan dengan Trump sebagai calon wakil presiden.
”Yang kita tahu, lihat saja, dia jelas merasa tidak aman saat bepergian dan melakukan serangan-serangan temperamen itu,” lanjut Haley. ”Ia merasa tidak aman.”
Setelah tertinggal jauh dalam meraih dukungan di Iowa, Haley berupaya menarasikan sisa-sisa pertarungan pada pemilihan internal Republik seperti ”pacuan dua lintasan”, antara dirinya versus Trump. Dengan tegas, Haley pun menyatakan dirinya juga ”ogah” jika kelak dipasangkan dengan Trump sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Baca juga: Nikki Haley Menantang Donald Trump, Seberapa Kuat dan Tahan?
Pastor Darrell Scott, warga kulit hitam yang memimpin koalisi keberagaman dalam kampanye Trump sebelumnya, mencoba membela gaya kampanye Trump. ”Anda harus membedah politik seperti politik apa adanya. Ini bukan serangan pribadi. Ia (Trump) tidak bermaksud merendahkannya atau menurunkan martabatnya (Haley). Ia melakukan hal itu hanya untuk meraup dukungan,” ujar Scott.
Namun, Tara Setmayer, Penasihat Senior Lincoln Project yang menentang Trump dari dalam Republik, tak sependapat. Ia mengakui, gaya retorika Trump seperti itu mampu memikat dalam pemilihan internal Republik. Namun, tetap saja itu adalah realitas yang memuakkan bagi Partai Republik.
Setmayer tegas tidak setuju dan menolak cara-cara yang dilakukan Trump tersebut. Ia kini tak mau lagi disebut sebagai Republikan. Ia memilih identitas politik dirinya sebagai seorang independen konservatif.
”Semua ini adalah umpatan kata-kata kasar dari seorang laki-laki yang merasa sangat tidak aman, hampir putus asa, yang sepanjang kariernya memperlihatkan rasisme dan fanatisme,” ujar Setmayer.
(AP/Reuters)