Panggung Mantan Terjajah dan Penjajah di Sidang Genosida Lawan Israel
Reaksi dunia terhadap tuduhan genosida Israel betul-betul menunjukkan peta perpecahan global terhadap perang di Gaza.
Sidang gugatan Afrika Selatan terhadap Israel telah dimulai di Mahkamah Internasional (ICJ). Kasus itu bukan sekadar tudingan genosida oleh suatu pihak. Sidang itu menjaga panggung aliansi baru kelompok negara yang pernah menjajah dan dijajah.
Afrika Selatan dan Israel telah diberi kesempatan menyampaikan argumen perdana pada 11-12 Januari 2024. Dasar gugatan Israel antara lain pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, berbagai pejabat, hingga prajurit Israel yang menyerbu Gaza. Sejumlah menteri dan berbagai pejabat Israel menyatakan, Gaza harus dikosongkan dari orang Palestina.
Tidak ada manusia cinta damai yang dapat mengabaikan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina di Gaza.
Dasar gugatan lain tentu saja serangan militer Israel, IDF, di Gaza sejak 8 Oktober 2023. Hingga Sabtu (20/1/2024), sebanyak 24.297 orang tewas dan 62.388 orang lain terluka akibat serangan Israel di Gaza. Selain itu, jutaan orang terusir dan ribuan bangunan hancur akibat serangan Israel.
Baca juga: Sidang atas Tuduhan Genosida Israel di Gaza Mulai Bergulir
Karena itu, salah satu tuntutan Pretoria adalah penghentian segera serbuan Israel ke Gaza. ”Kita membutuhkan keputusan (ICJ soal penghentian serangan ke Gaza) segera,” kata Menteri Luar Negeri Afsel Naledi Pandor di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non-Blok (GNB), Sabtu (20/1/2024), di Kampala, Uganda.
Wakil Menlu RI Pahala N Mansury mengatakan, isu Palestina merupakan salah satu bahasan pokok KTT GNB di Kampala. ”Kita harus memastikan gencatan senjata segera diwujudkan. Bukan hanya untuk menghentikan penyerangan dan kekejaman terhadap warga Palestina, melainkan juga untuk memastikan penyediaan bantuan kemanusiaan,” ujarnya dari Kampala.
Peserta KTT, menurut Pahala, mendukung gugatan Afsel. Wakil Presiden Kuba Salvador Valdes Mesa menyebut, genosida di Gaza salah satu yang terburuk dalam sejarah. ”Bagaimana mungkin negara-negara Barat, yang mengklaim beradab, membenarkan pembunuhan terhadap anak-anak dan perempuan di Gaza, pengeboman serampangan pada rumah sakit dan sekolah, dan perintangan akses air bersih dan makanan?” ujarnya di Kampala.
Ikut menggugat
Sementara Bangladesh tidak hanya menyatakan dukungan. Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengumumkan, Dhaka akan ikut menggugat Tel Aviv di ICJ.
Jerman, yang pernah menjajah berbagai negara dan terbukti melakukan genosida pada abad 20, juga akan ikut menggugat. ”Pemerintah Jerman mendukung ICJ dalam menjalankan tugasnya, seperti yang telah dilakukan selama beberapa dekade,” kata juru bicara Pemerintah Jerman, Steffen Hebestreit.
Baca juga: Israel Berdalih Tak Lakukan Genosida di Gaza
Berbeda dari Bangladesh, Jerman akan mendukung Israel. ”Pemerintah Jerman dengan tegas dan jelas menolak tuduhan genosida yang kini dilontarkan terhadap Israel di Mahkamah Internasional. Tuduhan ini tidak mempunyai dasar apa pun,” ujar Hebestreit.
Pengumuman Jerman serta-merta ditanggapi Namibia. ”Tidak ada manusia cinta damai yang dapat mengabaikan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina di Gaza,” kata Presiden Namibia Hage Geingob.
Ia antara lain mengingatkan, Namibia adalah korban pertama genosida Jerman. Berlin, menurut dia, sepertinya gagal belajar dari sejarah kelamnya sendiri. Kegagalan itu membuat Jerman mendukung Israel meneruskan pembantaian di Gaza.
Jerman dianggap bertanggung jawab atas pembantaian lebih dari 70.000 penduduk asli Namibia, yaitu suku Herero dan Nama, antara tahun 1904 dan 1908. Para sejarawan mencatatnya sebagai genosida pertama di abad ke-20.
Geingob menyebut, Berlin tidak mempunyai hak moral untuk mendukung Konvensi Genosida 1948 jika mendukung pembantaian di Gaza. Pembantaian di Gaza, menurut Geingob, setara dengan holocaust yang dilakukan Jerman selama Perang Dunia II.
Kita harus memastikan gencatan senjata segera diwujudkan. Bukan hanya untuk menghentikan penyerangan dan kekejaman terhadap warga Palestina, melainkan juga untuk memastikan penyediaan bantuan kemanusiaan.
Namibia, seperti Afsel dan Bangladesh, juga pernah merasakan getirnya penjajahan. Mayoritas anggota GNB juga pernah dijajah. Karena itu, dalam KTT di Kampala ataupun forum lain, GNB konsisten mendukung Palestina. Dalam pandangan mayoritas anggota GNB, Palestina sedang dijajah Israel.
Baca juga: Bagaimana Proses Sidang Gugatan terhadap Israel sebagai Pelaku Genosida?
Organisasi Kerja Sama Konferensi Islam (OKI) juga mendukung gugatan Israel. Seperti GNB, OKI juga memandang Israel sedang menjajajah Palestina. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meminta ICJ memberikan pendapat hukum soal pendudukan Israel terhadap Palestina. Permintaan itu salah satu kasus lain terkait Israel yang disidangkan ICJ.
Dukungan pada gugatan Afsel terutama dari negara-negara yang pernah dijajah. Meski tidak ikut menggugat, Indonesia mendukung Afsel secara moral dan politik.
Indonesia tidak ikut menggugat karena bukan peratifikasi Konvensi Genosida 1948 yang jadi dasar gugatan itu. Sementara Afsel, Bangladesh, Israel, dan Jerman meneken konvensi tersebut. Karena itu, empat negara tersebut bisa menjadi penggugat dalam kasus tersebut.
Bekas penjajah
Jerman tidak sendirian mendukung Israel di ICJ. Sejumlah negara yang pernah menjajah negara lain juga mendukung Israel.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken menyebut, tudingan Afsel kepada Israel tidak berdasar. Gugatan Afsel disebutnya mengganggu upaya global mencari solusi konflik Israel-Palestina.
Tuduhan Afsel kepada Israel, menurut Blinken, menyakitkan. Hal itu mengingat Hamas dan sejumlah kelompok lain juga menyerukan pemusnahan negara Israel.
Setiap pagi saat bangun, Netanyahu berpikir apalagi yang bisa dilakukan hari ini untuk mempermalukan AS.
Menlu Inggris David Cameron juga tidak setuju Israel dituding melakukan genosida di Gaza. Adapun tokoh oposisi sekaligus Ketua Partai Buruh Inggris Keir Starmer menolak menyebut Israel melakukan genosida.
Baca juga: Dukungan Menguat agar Afsel Tangguhkan Hubungan Diplomatik dengan Israel
Di parlemen, Cameron dan Starmer berkilah bahwa politisi tidak bisa menentukan ada genosida atau tidak. Sikap Starmer berbeda kala berpendapat soal serangan Rusia ke Ukraina. Pada 2022, Starmer menyebut Rusia tengah melakukan genosida di Ukraina.
Penolakan tudingan genosida terhadap Israel juga disampaikan Perancis. Menlu Perancis Stephane Sejourne menyebut tudingan itu melanggar batas moral. ”Gagasan genosida tidak dapat dieksploitasi untuk tujuan politik,” ujarnya.
Sementara Wakil Ketua Parlemen Perancis Thomas Portes mendesak Kementerian Hukum Perancis menyelidiki 4.000 warga Perancis. Mereka, menurut Portes, bergabung dengan IDF. ”Mengingat kejahatan terhadap kemanusiaan sedang dilakukan tentara Israel di Tepi Barat dan Gaza, tidak dapat diterima bila warga Perancis terlibat,” ujarnya.
Menurut dia, ribuan warga Perancis yang menjadi anggota IDF berstatus warga Perancis dan Israel. Karena itu, mereka tidak bisa lepas dari ketentuan hukum Perancis.
Standar ganda
Direktur Quincy Institute di Washington DC, Sarang Shidore, menyebut bahwa sikap AS dan sekutunya soal gugatan Afsel menambah bukti standar ganda. Sikap AS soal Rusia-Ukraina amat berbeda dengan sikap soal Gaza.
Posisi AS di panggung internasional, dan khususnya di hadapan negara Selatan, tergerus karena Gaza. Dukungan tanpa syarat AS menjadi penyebabnya.
Bagaimana mungkin negara-negara Barat, yang mengklaim beradab, membenarkan pembunuhan terhadap anak-anak dan perempuan di Gaza, pengeboman serampangan pada rumah sakit dan sekolah, dan perintangan akses air bersih dan makanan.
Sementara dalam artikel di Foreign Policy pada 11 Januari 2024, Jon Hoffman secara lugas menyebut kebijakan AS soal Timur Tengah sudah gagal. Dosen Ilmu Hubungan Internasional pada George Mason University itu menyebut, AS layak disalahkan atas bara di Timur Tengah sekarang.
Israel, sekutu terpenting AS di Timteng, terus melemahkan kebijakan Washington soal kawasan tersebut. ”Sudah saatnya AS mengubah dukungan tanpa syarat menjadi dukungan bersyarat,” tulis akademisi yang mengajar di Virginia, AS, itu.
Perang Gaza saat ini, menurut dia, jelas tidak sesuai dengan kepentingan AS di kawasan. Butuh beberapa generasi untuk memperbaiki kerusakan akibat perang saat ini. ”Citra internasional Washington selamanya rusak karena mendukung tindakan (Israel) itu,” kata Hoffman, melanjutkan.
Alih-alih memadamkan bara, berbagai tindakan AS dan sekutunya malah semakin memanaskan keadaan. Hoffman memandang, AS tidak mau atau mungkin juga tidak mau memanfaatkan daya tawarnya untuk mendesak Israel menghentikan perang.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional pada Harvard University, Stephen Walt, juga memandang Presiden AS Joe Biden tidak berdaya menghadapi Netanyahu. ”Mungkin, setiap pagi saat bangun, Netanyahu berpikir apalagi yang bisa dilakukan hari ini untuk mempermalukan AS,” katanya.
(AFP/Reuters)