Tragedi Stalingrad Bayangi Gaza
Presiden Kennedy mengingatkan, membangun perdamaian yang tulus untuk seluruh umat manusia, untuk segala jaman...
Di hadapan nilai-nilai luhur manusia, perang adalah luka menganga. Meskipun perang turut membentuk peradaban, perang tetaplah tragedi. Setiap orang yang terlibat bersabung untuk hidupnya.
Meskipun perang menciptakan nestapa, manusia seolah sulit untuk menghindarinya. Ahli strategi militer terkenal dunia, Karl Phillip von Clauzewitz (1780-1831), berkata, perang adalah kelanjutan diplomasi. Ada ungkapan lain, yakni sejarah selalu terulang dan akan terulang ketika umat manusia melupakan peristiwa yang pernah terjadi.
Baca juga: 80 Tahun Pertempuran Stalingrad dan Bayang-Bayang Perang Ukraina
Kota-kota besar dunia, sebagian dikenang namanya karena darah para korban dan pejuang yang mempertahankan tanah kelahiran mereka. Kota Stalingrad (kini Volgograd) di Rusia demikian dikenal salah satunya karena kehancuran yang dialaminya. Sekitar 40.000 warga sipil dan 1,1 juta jiwa tentara merah melayang dalam agresi Nazi Jerman selama Perang Dunia II.
Kota Stalingrad itu menjadi pertaruhan bagi Stalin, pemimpin Uni Soviet, dan diktator Nazi Jerman Adolf Hitler. Dalam budaya populer, tragedi Stalingrad ini dikenal melalui film Enemy At The Gates (2001) yang mengisahkan penembak runduk Tentara Merah, Vasili Zaitsev (1915-1991), yang menghabisi penembak runduk andalan Nazi Jerman. Ketika Nazi Jerman menyerah, Januari 1943, penduduk Stalingrad dari 450.000 jiwa sebelum perang hanya tersisa 9.746 jiwa!
Seperti Stalingrad, kota Nanjing di China semasa Perang Sino-Jepang 1937-1945 juga luluh lantak. Bahkan, di kota itu terjadi tragedi pemerkosaan massal yang dikenal sebagai "Rape of Nanking". Ketika itu lebih dari 20.000 anak, perempuan tua-muda diperkosa dan kemudian dibunuh. Selain itu, diduga terjadi pula pembunuhan ratusan ribu warga sipil oleh tentara Jepang.
Pada peradilan Kejahatan Perang Timur Jauh tahun 1947, sejumlah perwira atau prajurit Jepang yang terlibat diadili. Mereka ditahan militer Amerika Serikat, kemudian diekstradisi ke Nanjing untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Mereka lantas dijatuhi hukuman mati.
Baca juga: Akademi Militer Huang Pu: Melawan Jepang hingga Perang Kemerdekaan Indonesia
Tragedi lain terjadi di Shanghai. Berbagai media internasional mewartakan serbuan Jepang di Shanghai. Simpati dunia mengalir terhadap rakyat China, tetapi tidak ada langkah tegas terhadap serbuan Jepang.
Liga Bangsa-Bangsa di Brussels, Belgia, bulan November 1937, mengadakan rapat dan mengecam Jepang, tetapi gagal menjatuhkan sanksi ekonomi. Wakil China di Liga Bangsa-Bangsa, Wellington Koo (menantu Raja Gula Oei Tiong Ham dari Semarang, Jawa Tengah), berulang kali mengajukan permohonan masyarakat internasional untuk mengambil langkah tegas terhadap kekejaman Jepang. Seruannya ibarat bertepuk sebelah tangan.
Sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa lahir, organisasi serupa yang lebih dulu ada, yaitu Liga Bangsa-Bangsa (1920-1946), dinilai kurang gereget. Mereka dinilai tidak mampu mengambil tindakan tegas terhadap kekerasan yang dilakukan Italia, Jepang, dan Nazi. Situasi itu dilihat turut memicu terjadinya tragedi-tragedi dalam Perang Dunia II.
Baca juga: Setelah 100 Hari Perang yang Meluluhlantakkan Gaza
Saat ini, apa yang terjadi di masa lalu itu seolah berulang di Gaza. Mirip dengan nasib Stalingrad, Nanjing, dan Shanghai, warga Palestina di Gaza terus berkalang dengan kematian dan ketidakpastian. Lebih parah, tragedi di Gaza bukanlah sekadar soal serangan Hamas tanggal 7 Oktober 2023. Penderitaan Palestina telah berlangsung lebih dari 75 tahun. Mereka menjadi korban pendudukan Israel.
Berulangnya veto AS—demi mendukung Israel—menambah panjang keperihan yang dialami bangsa Palestina. Terkait itu, ada baiknya mencecap kembali pidato Presiden John F Kennedy pada Juni 1963. Kala itu ia mengangkat isu tentang pentingnya membangun perdamaian yang tulus dan bukan berdasar pertimbangan ideologis.