Tinggalkan Kulit Alami demi Menjaga Alam
Nilai pasar industri kulit asli rata-rata 400 miliar dollar AS per tahun. Industri mode belum siap meninggalkan itu.
Semakin banyak anak muda tidak hanya ingin tampil gaya. Mereka mau bergaya sembari tetap menjaga kelestarian alam. Produk yang tidak ramah lingkungan atau dihasilkan dari proses yang dianggap menyakiti hewan akan ditinggalkan.
Kini, hampir separuh penduduk Bumi, termasuk generasi Z dan milenial. Seiring waktu, penduduk di kelompok umur ini semakin membesar.
Para pebisnis dan perancang mode menangkap fenomena itu. Rumah-rumah mode mulai meninggalkan kulit alami sebagai bahan baku aneka produk mereka. Kulit sintesis jadi pilihan.
Baca juga: Gen Z Memilih Hidup Seimbang, Bekerja, Menjadi Aktual dan Bahagia
Dilaporkan Euronews pada Selasa (22/1/2024), Chanel dan Hugo Boss menjajaki kulit sintesis berbahan nanas. Ada pun Hermes menjajaki kulit sintesis berbahan jamur.
Rumah-rumah mode tidak memakai kulit imitasi berbahan plastik. Sebab, tampilan kulit imitasi dan kulit alami memang berbeda. Ada pun kulit sintesis dibuat agar amat menyerupai kulit alami. Kulit sintesis kadang disebut pula kulit buatan laboratorium.
Hasil laboratorium
Peneliti di berbagai lembaga sedang mengupayakan pembuatan kulit sintesis. Di Amerika Serikat, tim Tuft University pernah berusaha mengembangkan imitasi dari benang ulat sutra.
Penelitian itu tidak dilanjutkan karena ulatnya bisa mati dalam proses produksi. Kematian tersebut tetap dianggap sebagai bentuk kekejaman pada hewan. Karena itu, proyek tersebut tidak berlanjut.
Sementara Vitrolabs membuat kulit hasil kloning sel. Perusahaan rintisan dari California itu mengambil sedikit sel sapi. Dari sel itu, dikembangkan kulit di laboratorium. Vitrolabs mengklaim bisa menumbuhkan kulit hanya dalam hitungan pekan.
Kini, perusahaan itu fokus pada membuat penyamakan yang ramah lingkungan dari kulit yang mereka kembangkan. Proses penyamakan saat ini menggunakan terlalu banyak bahan kimia, garam, dan air. Dampaknya, tanah dan air di sekitar lokasi penyamakan tercemar.
Baca juga: Masa Depan Kulit Berkelanjutan
Sementara di Inggris ada dua lembaga mengembangkan kulit tiruan di laboratorium. Lembaga itu adalah 3D Bio-Tissues dan Hub for Biotechnology in the Built Environment (HBBE).
Peneliti 3D Bio-Tissues membuat kulit sintesis 100 sentiemeter persegi. Perusahaan itu memperkirakan bisa menjual produk mereka mulai 2025.
Dari jamur
Ada pun peneliti HBBE membuat kulit tiruan dari jamur. Kulit tiruan itu bisa memulihkan diri seandainya robek atau berlubang.
Kemampuan memulihkan diri itu pembeda hasil riset HBBE dari kulit berbahan jamur lainnya. Di produk lain, jamur yang menjadi bahan dasar pembuatan kulit tiruan itu mati. Tim HBBE mengupayakan jamur tetap hidup sehingga memulihkan sendiri jaringan yang rusak.
Tim HBBE menguji kemampuan pemulihan diri itu di laboratorium. Mereka mengunakan cairan khusus untuk merendam kulit yang robek.
Salah satu peneliti di tim HBBE, Martyn Dade-Robertson, menyebut, ada kemungkinan metode itu bisa digunakan secara komersial. Walakin, masih butuh beberapa tahun lagi sampai metode itu bisa diakses dengan mudah oleh konsumen.
Baca juga: Gaya Trendi Kulit Garut
Salah satu pertanyaan tim HBBE adalah dapatkah kulit tiruan itu berhenti tumbuh tanpa harus mematikan jamurnya? Pertanyaan itu penting agar produk dari kulit tiruan itu tidak malah terus bertumbuh saat dipakai konsumen.
Dukungan
PETA, organisasi pembela hak hewan, mengapresiasi upaya-upaya di laboratorium itu. ”Kulit yang dibuat di laboratorium terlihat dan terasa seperti aslinya. Industri mode kini mempertanyakan bahan kulit karena dampaknya terhadap lingkungan, dan seiring dengan semakin populernya bahan-bahan vegan, kita semakin mendekati masa depan mode yang bebas hewani,” kata Manajer Proyek Korporat PETA Yvonne Taylor.
Pendiri Collective Fashion Justice, Emma Håkansson, mengatakan, produk kulit salah satu penghasil laba tinggi rumah mode. Secara spesifik, sebagaimana dikutip Vogue, hal itu berlaku pada tas dan alas kaki.
Lewat Circumfauna, Collective Fashion Justice terus mengingatkan soal dampak buruk penggunaan kulit di industri mode. Produksi kulit menghasilkan emisi karbon dan sampah dalam jumlah besar. Di sejumlah negara, peternakan salah satu konsumen air terbesar. Semua itu tidak sesuai prinsip berkelanjutan.
Lembaga lain di bidang kesejahteraan hewan, VIVA, menyebut hampir 1 miliar sapi dipotong setiap hari. Selain untuk dagingnya, sapi-sapi itu menghasilkan kulit untuk industri mode, otomotif, hingga perkakas.
Baca juga: ”Ecoprint” untuk Mode Berkelanjutan
Tidak hanya sapi, ada juga hewan-hewan lain dipotong untuk diambil daging dan kulitnya. Bahkan, ada hewan yang hanya diambil kulitnya karena alasan eksotika. Hal itu, antara lain, berlaku untuk ular dan buaya. Semakin langka hewannya, semakin mahal produk yang memakai kulitnya. Hal itu tidak lepas dari anggapan produk kulit merupakan hal prestisius.
Harganya menjadi salah satu penunjang anggapan itu. Harga setiap tas Chanel berbahan kulit ular rata-rata Rp 150 juta. Ada juga jaket dari kulit buaya berharga Rp 300 juta.
Pada beberapa jenama, harga produknya malah terus naik meski barangnya sudah lama disimpan. Orang-orang memperlakukannya sebagai sarana investasi.
”Kita perlu mengubah pola pikir seputar kulit dengan hadirnya pilihan vegan yang penuh gaya, layak, dan menarik dalam dunia mode. Ini adalah sesuatu yang sudah terjadi dan kulit yang dikembangkan di laboratorium akan membantu mewujudkannya,” kata Taylor.
Keraguan
Tidak semua pihak mendukung upaya menghasilkan kulit dari laboratorium. Kerry Senior dari Leather UK, antara lain, meragukan upaya itu benar-benar lebih ramah lingkungan.
Baca juga: Mode Berkelanjutan Menjaga Napas Bumi
Laboratorium membutuhkan listrik dalam jumlah besar. Pembangkit listrik salah satu sumber emisi rumah kaca terbesar. Belum lagi penggunaan aneka bahan kimia yang belum tentu bisa terurai dengan mudah di alam.
Sementara manajemen rumah mode belum yakin pada penerimaan pasar. Di sejumlah lokapasar khusus busana memang ada kenaikan pencarian ”kulit sintesis”. Walakin, pencarian terutama dilakukan oleh orang-orang muda.
Memang, jumlah generasi Z dan milenial kini hampir 4 miliar jiwa. Masalahnya, seperti terekam di banyak negara, kemampuan ekonomi mereka terbatas.
Di beberapa negara, genesasi Z butuh sokongan orangtua untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka jelas bukan sasaran aneka rumah mode yang harga per produknya di atas puluhan juta rupiah.
Nilai global pasar industri kulit asli rata-rata 400 miliar dollar AS per tahun. Sementara nilai pasar kulit imitasi dan sintesis baru akan menembus 30 miliar dollar AS per tahun pada 2030. Pengguna terbesar kulit imitasi masih otomotif. Industri mode belum mau karena kulit imitasi terkesan murahan.
Meski demikian, para pelaku industri menyadari pada akhirnya harus berdamai dengan pasar. Di masa depan, pasar akan diisi generasi Z yang semakin sadar menjaga lingkungan. (AFP)