Pertahankan Rezim, Korut Terus Bangun dan Uji Rudal
Korut kembali uji rudal jelajah dari kapal selam. Ini upaya mempertahankan rezim agar tidak tumbang.
SEOUL, SENIN — Korea Utara kembali menguji dua rudal jelajah strategis baru untuk kedua kalinya dalam seminggu terakhir. Rudal jelajah baru bernama Pulhwasal-3-31 yang bisa diluncurkan dari kapal selam itu terbang selama 7.421 detik dan 7.445 detik di atas Laut Timur ke titik sasaran di sebuah pulau.
Militer Korea Selatan mendeteksi rudal jelajah yang ditembakkan di dekat perairan sekitar wilayah Sinpo di Korea Utara. Namun, tidak disebutkan seberapa jauh rudal itu bisa terbang dan apakah diluncurkan dari atas atau bawah air.
Baca juga: Korea Utara Uji Coba Rudal dengan Jangkauan Pangkalan AS di Guam
Kantor berita Korea Utara, KCNA, dan harian Rodong Sinmun, Senin (29/1/2024), menyebutkan, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un ikut menyaksikan uji coba peluncuran kedua rudal ini, Minggu (28/1/2024). Uji coba sebelumnya dilakukan dari kapal yang lebih tua, bukan dari kapal selam yang sebenarnya. Pulhwasal-3-31 adalah generasi baru rudal jelajah strategis yang baru diuji pertama kali pada Rabu (24/1/2024).
Kim mengatakan, uji coba itu berhasil dan memodernisasi angkatan bersenjata Korut yang sedang membangun kekuatan angkatan lautnya. Foto-foto yang diterbitkan media Pemerintah Korut menunjukkan ada rudal yang diluncurkan ke langit dari permukaan laut dan diikuti kepulan asap yang mengaburkan jenis pelantar yang digunakan untuk menembakkannya.
Pada Maret 2023, Korut meluncurkan dua rudal jelajah yang terbang sejauh 1.500 kilometer. Ini berarti seluruh wilayah Korea Selatan dan sebagian besar wilayah Jepang berada dalam jangkauan rudal tersebut. Namun, rudal itu diluncurkan dari atas permukaan air sehingga tidak bersifat siluman.
Korut juga memiliki rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam yang disebut Pukguksong-3 dengan kemampuan jangkauan hingga 1.900 kilometer. Korut mengumumkan keberhasilan uji coba versi baru rudal itu pada Oktober 2021. Rudal jenis ini bisa diluncurkan dari bawah laut sehingga menjadikannya sulit dideteksi dan bisa dibawa ke mana-mana.
Kemampuan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam itu meningkatkan kemampuan persenjataan Korut karena bisa dilakukan dari mana saja di luar Semenanjung Korea. Berbeda dengan uji coba rudal balistik, pengujian rudal jelajah tidak dilarang secara eksplisit berdasarkan sanksi dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini. Rudal jelajah cenderung berbahan bakar jet dan terbang pada ketinggian yang lebih rendah ketimbang rudal balistik yang canggih sehingga lebih sulit dideteksi dan dicegat.
Baca juga: Korea Utara Simulasikan Serangan Nuklir Balasan untuk Bumi Hanguskan Negara Gangster
Namun, para analis mengatakan, rudal jelajah jarak menengah tidak kalah berbahayanya dengan rudal balistik. Pada tahun lalu, Korut juga meluncurkan yang disebut kapal selam serangan nuklir operasional pertamanya. Kapal selam itu merupakan modifikasi dari kapal selam yang sudah ada dan kemungkinan dirancang untuk membawa rudal balistik dan rudal jelajah.
Menurut para ahli senjata, kegunaan kapal semacam itu di dunia nyata diragukan, terutama jika dibandingkan dengan sistem rudal berbasis darat yang lebih canggih. Sebab, mesin dieselnya berisik dan daya jangkaunya terbatas. Akan tetapi, Kim tidak peduli dan tetap menyatakan negaranya akan mempercepat program pembangunan kapal selam bertenaga nuklir dan rudal balistik hipersonik berbahan bakar padat.
Rezim berakhir
”Perang bisa terjadi kapan saja di Semenanjung Korea,” begitu pesan dari Kim pada awal tahun 2024. Pernyataan Kim tersebut menentukan arah Korut pada tahun ini. Majalah Newsweek, 27 Januari 2024, menyebutkan, ada beberapa peristiwa yang bisa memicu keruntuhan Korut, khususnya rezim Kim.
Kematian Kim yang tidak terduga bisa saja terjadi atau pemberontakan rakyat juga bisa mendapatkan momentum jika didukung lembaga keamanan negara. Kekuasaan juga bisa ditumbangkan melalui kudeta terhadap pimpinan tinggi, atau jika Korut terlibat dalam peperangan. Peneliti studi Korea dan Direktur Program Kebijakan AS-Korea pada Dewan Hubungan Luar Negeri, Scott Snyder, menilai, semua skenario ini mungkin saja terjadi dan Kim menyadari akan kemungkinan-kemungkinan itu.
Akan tetapi, sampai sejauh ini tidak ada indikasi rezim Korut yang dipimpin tiga generasi Kim serta didukung China dan Rusia itu bisa ditumbangkan dalam waktu dekat. ”Korut cenderung bisa lebih tahan lama,” kata Snyder.
Kim Yo Jong berpengalaman dalam pemerintahan dan urusan luar negeri, tetapi tidak jelas apakah bisa melawan dominasi laki-laki yang kuat dalam sistem Korut.
Pakar Asia Timur Laut pada Institut Perdamaian AS dan mantan penasihat Departemen Pertahanan AS untuk Korut dan Korea Selatan, Frank Aum, menilai, kemungkinan semua skenario untuk menumbangkan Korut itu sangat kecil terjadi. Ini mengingat Kim memiliki kendali penuh atas negara, persenjataan nuklir, kedekatan dengan China dan Rusia, serta sifat mengisolasi diri.
Jika berbicara soal skenario kematian Kim (40), ini bisa terjadi mengingat Kim dikabarkan menderita masalah kesehatan. Meski semuanya hanya spekulasi, dia dikabarkan mengalami sakit asam urat, diabetes, dan Covid-19. Kematian Kim akan menggoyahkan rezim karena belum ada pengganti yang pasti.
”Jika ini terjadi, Korut mungkin akan mengambil arah yang berbeda dan bisa jadi baru,” kata peneliti di Pusat Studi Kebijakan Asia Timur pada Brookings Institution dan Guru Besar Catholic University of America, Andrew Yeo.
Baca juga: Uji Senjata Korut Tak Kunjung Surut
Korut memiliki dinasti keluarga yang mapan yang menunjukkan mereka bisa menyerahkan kekuasaan kepada generasi berikutnya tanpa hambatan. Namun, Aum mengingatkan, Korut merupakan dinasti keluarga patrilineal dan tidak ada ahli waris laki-laki yang siap menggantikan Kim. Sampai sejauh ini baru ada Kim Yo Jong, adik perempuan Kim, yang dianggap sebagai orang kedua secara de facto.
Ada pula Kim Ju Ae, anak perempuan Kim, yang tampaknya sedang dipersiapkan untuk menjadi penggantinya. Kim diyakini memiliki tiga anak, tetapi hanya Kim Ju Ae—berusia antara 10 dan 12 tahun—yang menjadi satu-satunya anak yang ditunjukkan ke publik.
”Kim Yo Jong berpengalaman dalam pemerintahan dan urusan luar negeri, tetapi tidak jelas apakah bisa melawan dominasi laki-laki yang kuat dalam sistem Korut,” kata Aum.
Baca juga: Korut-Korsel Memanas Lagi
Korut diperkirakan bisa tumbang apabila ada gejolak di dalam negeri meski peluangnya pun kecil. Pasalnya, rakyat Korut tidak akan mampu bersatu mengorganisasi diri dan melawan rezim Kim. Sistem totaliter menghilangkan kemungkinan terjadinya pemberontakan besar-besaran.
Apalagi, Korut juga lihai memerangi perkembangan teknologi yang berpotensi mengancam rezim Kim. ”Satu-satunya bentuk ancaman internal yang membuat elite Korut bisa langsung khawatir adalah skenario kudeta istana,” kata Snyder.
Namun, Kim juga sadar ada kemungkinan ini dan mengantisipasi kudeta, salah satu contohnya ketika dia mengeksekusi mati pamannya sendiri, Jang Song Thaek. Ia dianggap sebagai orang yang paling mungkin mengancam stabilitas rezim.
Ancaman dari dalam negeri bisa menjadi lebih nyata jika Kim memilih pendekatan gaya China untuk perekonomian Korut, yakni dengan merangkul pasar dan melepaskan cengkeraman besi pada perekonomian terpusat. Akan tetapi, cara itu berisiko besar bagi rezim Kim. Dengan menarik investasi asing, Korut harus menjamin investor asing mendapat keuntungan. Korut juga akan lebih banyak terpapar dunia luar sekaligus informasi yang tidak bisa dikendalikan negara.
Siap perang
Jika skenario itu tidak mungkin terjadi, kemungkinan lain adalah perang. Korut termasuk salah satu negara paling gigih memperkuat militernya, bahkan mengklaim sudah siap perang. Statista, perusahaan pengumpulan data dan visualisasi, menyebutkan belanja militer Korut mencapai sepertiga produk domestik bruto pada 2022, meningkat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Para analis mengatakan Korut juga telah memanfaatkan sumber dayanya untuk mengembangkan kemampuan sibernya di samping kekuatan militer konvensionalnya sehingga menjadikan Korut lebih berbahaya dan mengancam.
Akan tetapi, Korut tidak memiliki pengalaman pelatihan seperti yang dimiliki Korsel atau Jepang melalui latihan-latihan militer gabungan dengan negara-negara besar seperti AS. Karena itu, sebenarnya Korut tidak akan berani maju perang dengan Korsel ataupun negara lainnya.
”Perang bisa membunuh banyak orang di Korsel, tetapi juga sekaligus menjadi akhir bagi Kim dan rezimnya. Ancaman dari Korut itu hanya retorika,” kata peneliti pada Universitas Kookmin, Seoul, Peter Ward, kepada BBC.
Baca juga: Kim Jong Un Tur Pabrik Pesawat Tempur Rusia
Karena merasa tidak mampu berperang, Kim lantas mengandalkan kemampuan nuklirnya. Itu juga demi menjaga kelangsungan rezimnya. Untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kemampuan persenjataannya, kini Korut bergantung pada Rusia dan China. Karena memiliki dua sekutu yang juga menjadi ”musuh” AS, Korut percaya diri menghadapi AS dan negara-negara Barat lainnya.
Tanpa bantuan dari pihak luar, Korut tidak akan bisa bertahan hidup. ”Korut negara yang tidak bisa memberi makan rakyatnya sendiri atau bahkan mencapai target ekonomi dasar lain, seperti pembangunan infrastruktur, tanpa dukungan dari pihak luar,” kata Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Nasional Pusan, Korsel, Robert Kelly. (REUTERS/AFP)